Oleh : Hasbunallah Haris
Insafi duduk merenung di taman alun-alun kota, merunduk, menatap sepatu talinya yang sekarang sudah lusuh. Telapak sepatunya sudah menipis, tiap kali dia berjalan, tiap kali itu pula kakinya perih karena kerikil-kerikil jalanan seakan tembus ke dalam. Malam itu untuk ke sekian kalinya dia menerima telfon penolakan pekerjaan. Di tengah dunia yang semakin maju, ternyata berdampak pada tenaga kerja yang semakin dipangkas dan dikurangi, pekerjaan-pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh manusia sudah berganti dengan mesin. Jika dulu di Inggris ada profesi membangunkan orang lain tiap subuh, sekarang pekerjaan itu tak ada lagi, juga profesi menyalakan lampu jalan, barangkali sebentar lagi seluruh dunia akan diisi oleh robot saja. Dunia terlalu kejam untuk orang-orang seperti Insafi, yang tamat kuliah S2 dan menjadi pengangguran, kuliah di tempat yang bagus dan menghabiskan puluhan juta tak menjaminnya mendapatkan pekerjaan yang layak setelah tamat. Sayangnya Insafi baru menyadari itu.
Sudah dua belas kali Insafi mengirimkan surat lamaran, dan dua belas kali pula dia ditolak. Malam itu dia keluar dari rumah dan duduk di tengah alun-alun kota, orang-orang lalu-lalang dengan pasangan mereka tak terlalu dihiraukannya. Malam Minggu yang nyaman, tak ada rintik hujan setitik pun, langit sempurna cerah dengan semburat bintang-gemintang yang berkedip-kedip, juga disisipi bulan sabit yang timbul-tenggelam di balik awan. Apakah dunia ini adil? Tidak bagi Insafi, dia yang lahir dari keluarga kelas bawah berharap akan menjadi penopang keluarga setelah tamat, namun ternyata hingga sekarang dia masih saja mengemis kepada orang tuanya di kampung.
“Kalau belum nemu pekerjaan juga sebaiknya pulang dulu, Nak, di rumah saja dulu, nanti bisa dicari lagi toh pekerjaan.” Begitu ibunya memberi nasehat. Namun Insafi yang terlalu naif tak mengindahkan, dia menunggu hari demi hari, berharap akan menerima telfon pemanggilan sesi wawancara. Nihil, ponselnya bahkan berdering dan selalu memberitahukan penolakan. Alasan karyawan sudah terlalu banyak, belum sesuai spesifikasi dan belum memiliki pengalaman adalah hal yang paling sering didengarnya. Bah, bagaimana mungkin dia akan punya pengalaman jika dia terus-terusan ditolak?
Sempat terpikir dalam benaknya untuk meminjam dana dari pinjaman online, namun setelah dipikir-pikir lagi, opsi tersebut terlalu beresiko. Dia tak memiliki barang mewah untuk dijadikan jaminan, Insafi yang malang tak punya mobil, dia tak punya motor, tak punya rumah, satu-satunya barang mewah yang dia miliki hanya ponsel genggam yang dibelinya dua tahun lalu, itu pun kredit selama enam bulan. Tempat tinggal? Sampai sekarang dia masih kos di rumah susun, berdampingan dengan keluarga yang ramai, menyatu dengan para nelayan, pedagang bakso, dan rumah-rumah lain yang sama memprihatinkan dengan kehidupannya. Pemerintah tak pernah melirik mereka, bahkan pernah melintas di kawasan itu saja tak pernah. Siapa yang akan rela masuk ke dalam pencampuran kelas pekerja seperti itu? Yang semua bau bercampur di sana? Polusi dari asap kereta api, bau ikan-ikan hasil tangkapan nelayan, pun tempat pembuangan sampah yang tak jauh dari lokasi pemukiman mereka, sebuah paket komplit yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus.
Sedang duduk merenung seperti itu, seorang perempuan muda, berpakaian kantoran dengan rok pendek dan sepatu tinggi berjalan cepat, menghentakkan kakinya saat berjalan dan melemparkan map besar di tangannya. Dia kemudian duduk di bangku yang sama diduduki Insafi, barangkali karena teramat marah perempuan itu tak menyadari kalau sudah ada orang lain yang duduk di bangku ujungnya.
“Pekerjaan setan, pekerjaan berengsek,” umpat perempuan itu membuka sepatu dan melemparkannya jauh-jauh. Lalu sesaat kemudian dia menunduk dan terisak.
Pemandangan itu tak lepas dari pantauan Insafi. Apa yang telah terjadi dengannya?
“Sebaiknya aku bicara,” batin Insafi. Namun sebelum dia membuka mulut, perempuan muda itu bangkit dan terkejut saat menyadari ada orang lain yang duduk di sana, cahaya remang-remang alun-alun kota memang kadang menyesatkan, ditambah lagi dengan kondisinya yang tidak stabil.
“Sejak kapau kau duduk di situ?” sengit perempuan itu kepada Insafi.
“Aku memang sudah duduk di sini sejak tadi, kamu tak menyadarinya.”
“Bohong, pergi dari sini!”
Insafi hanya bengong, jelas-jelas dia yang lebih dulu datang, mengapa pula dia yang disuruh pergi? Perempuan memang aneh.
“Aku lebih dulu duduk di sini,” tekan Insafi sekali lagi. “Kamu yang baru datang yang tak menyadari keberadaanku.”
Perempuan itu tak mau berdebat, dia kembali duduk di ujung bangku taman, sesekali masih sesegukan. Beberapa saat kemudian dia menghapus air matanya dan mulai tenang, namun begitu pandangannya tetap kosong ke arah kerumunan anak-anak yang sedang asyik naik istana balon nun di ujung sana.
“Dunia sudah gila, dunia sudah tak adil lagi,” bentak perempuan itu.
Insafi hanya diam, dia menaksir kalau perempuan itu pasti sedang ada masalah di kantornya. Pakaiannya yang rapi, dengan riasan di wajah yang meskipun sudah pudar membuat Insafi menyimpulkan perempuan itu pasti bekerja di tempat yang bagus, ruangan tertutup dengan AC menyala sepanjang waktu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tiba-tiba perempuan itu berpaling, menatap Insafi yang sedang murung.
“Aku ditolak lagi,” jawab Insafi. “Ini kali ke dua belas aku menerima penolakan dengan dua belas perusahaan berbeda. Rasanya mencari kerja sekarang bagai mencari gagak putih saja.”
“Kau baru melamar kerja?”
“Iya.”
Perempuan itu tersenyum miring. “Bagus, aku baru saja dipecat dari pekerjaanku, setidaknya nasib kita sama, sama-sama pengangguran.”
Insafi tak tahu harus bereaksi seperti apa, apakah perempuan itu sedang bergurau atau sedang mengejeknya, Insafi tidak tahu. Dia hanya diam dan memandang ke bawah, ke arah sepatunya yang kian hari kian menipis.
“Kau punya rencana lain?” perempuan itu kembali bertanya, penasaran dengan kehidupan Insafi yang dipecundangi takdir.
“Mungkin pulang kampung saja, ibu kota terlalu kejam bagiku.”
“Bukan ibu kota, dunia yang memang kejam. Lulusan apa?” Perempuan itu menggeser duduknya, megulurkan tangan kepada Insafi dengan bersungguh-sungguh. “Panggil saja Febi, Febi Rahmadani.”
Insafi menerima uluran tangan itu dengan kikuk, menyebutkan namanya.
“Aku lulusan S2 teknik.”
Percakapan mereka merambat ke seputar dunia kerja, di mana persaingan sangat ketat. Dunia sekarang menuntut semuanya sempurna, baik penampilan, otak, juga orang dalam yang akan memuluskan alur pekerjaan. Jangan coba-coba nekat melamar pekerjaan di tempat asing jika tak memenuhi kriteria itu.
“Tinggal di mana?” tanya Febi. Sekarang dia bergitu malu karena telah menunjukkan sisi rapuhnya kepada Insafi meskipun tidak sengaja.
“Aku tinggal di gang sembilan, tak jauh dari sini. Kamu tinggal di mana?” Febi menunjuk gedung di depan taman alun-alun kota, yang cahayanya gemerlap, kadang-kadang satu warna, kadang berkedip bagai bintang di langit sana.
“Di apartemen itu, tapi aku akan pindah dari sana, aku tak tak akan mampu membayarnya lagi.”
“Semuanya sudah ada yang ngatur, kita kan tinggal berusaha saja.” Insafi memberikan opsi. Namun Febi hanya memberengut, gajinya yang delapan juta perbulan hangus dalam sekejap. Tidak bekerja pusing, sudah bekerja pun pusing.
“Kau mau kita tinggal bersama?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulu Febi, yang membuat Insafi ternganga lebar. Dia menyangka perempuan cantik itu pasti sudah tidak waras.
“Maksudku ayo kita menikah dan membuka usaha. Kau mau?”
Insafi masih tak percaya apa yang didengarnya, tatapannya kosong macam orang kena tenung. Dilihatnya Febi dari atas sampai bawah, dengan tampilan yang necis, mewah dan berkelas seperti itu akan mau dengannya. Oh ayolah, mereka baru saja berkenalan beberapa menit yang lalu.
“Aku punya tabungan di bank, walau tidak banyak tapi cukup untuk kita hidup sekitar dua bulan. Sambil memikirkan usaha apa yang akan kita buka, kita bisa pakai uang itu untuk kebutuhan sehari-hari. Bagaimana?”
Insafi langsung berdiri, dia pergi dari sana begitu saja tanpa menanggapi sepatah kata pun. Namun Febi mengejarnya, dia mencopot satu sepatunya dan membuangnya, sekarang dia lebih leluasa mengejar Insafi tanpa mengenakan alas kaki.
“Hei, tunggun, aku serius … kau mau manikah denganku dan kita buka usaha bersama? Jika kau terus melamar pekerjaan dan menjadi bawahan, kau akan selalu stres dan menjadi kacung mereka. Meski usaha kita kecil, namun kita adalah bosnya. Tunggu aku, Insafi … dengarkan aku dulu.”
Pria berbaju kemeja lengan pendek itu berhenti, menghempaskan nafas berat dan berpaling ke belakang. Ditatapnya Febi yang tepat berdiri di depannya, perempuan secantik dia? Akh, hanya mimpi saja.
Insafi Kembali berjalan, dia hendak pulang saja, mendamaikan hati dan besok akan berusaha lebih keras lagi mencari pekerjaan yang cocok, uangnya juga semakin menipis. Jika dalam seminggu dia tak mendapatkan pekerjaan juga, bukan berarti tidak mungkin hidupnya akan berakhir menjadi pemulung atau apalah itu.
“Hei, Insafi, tunggu aku. Jangan mengabaikanku.” Kali ini Febi meraih lengan pemuda itu dan memintanya berhenti. “Aku serius, jangan pandang aku seoalah aku bukan perempuan baik-baik. Ayo ikut denganku sekarang.”
Insafi ditarik dengan paksa, mereka kembali berjalan ke kursi taman tadi, Febi mencari-cari berkas yang tadi dibuangnya, juga mengambil sepatu yang sudah dilemparkannya itu.
“Baca! Ini semua riwayat pendidikanku, juga daftar sekolah, pengalaman kerja dan semuanya, data-dataku lengkap semuanya di sini. Lihat, ini surat keterangan berkelakuan baik, kau bisa mengeceknya satu-persatu.”
Insafi masih tetap bengong. Dia memeriksa semua dokumen yang ditunjukkan Febi. Benar, dia perempuan yang baik, seorang pekerja keras yang tangguh dan mandiri. Tapi menikah? Mimpi apa dia semalam.
“Kamu sedang frustasi, Bi, jangan membuat keputusan saat kondisimu tidak stabil. Kita bahkan baru berkenalan.”
“Tidak, aku baik-baik saja. Ayo kita menikah di kampungmu saja dan buka usaha di sana, kita tinggalkan kota ini dan hidup dalam damai. Aku bukan perempuan cengeng yang tidak bisa bekerja kasar, kau mau aku jadi apapun akan kusanggupi.”
Insafi mengeluarkan ponselnya, meminta Febi bicara pada orang tuanya. Ponsel itu langsung disambar dan Febi bicara dengan lancar, meminta restu mereka dan dalam dua hari akan pulang ke kampung, menikah dan bekerja. Insafi yang pada mulanya hanya memberikan gertakan sekarang benar-benar terperangah. Dia mengira Febi tak akan sanggup melakukannya, namun perempuan itu diluar perkiraan.
“Ibumu terkejut, itu pasti, dua hari lagi kita akan pulang. Ayo, sekarang kau pulang dan dua hari lagi kita akan pulang kampung. Kuselesaikan semua keperluanku dan selanjutnya aku adalah milikmu.”
“Bagaimana dengan orang tuamu, mereka tidak akan menerimaku sebagai pengangguran.”
Febi menggeleng. “Mereka sudah tidak ada lagi, aku anak yatim piatu. Tapi jika mereka masih hidup pun, mereka pasti akan memberikan restu. Sekarang izinkan aku menyalami calon suamiku untuk pertama kalinya.”
Insafi mengulurkan tangannya, perempuan itu mencium punggung tangan Insafi dengan bergetar. Labih daripada itu, hatinya lebih berdentam hebat.
“Dunia memang adil,” gumamnya sendiri. “Tuhan maha adil.”