Oleh : Hasbunallah Haris
Tangan berbuku-buku berlumur darah itu gemetar dalam pekatnya malam, masih sempat terpikir olehnya akan makan malam bersama sambil mendengarkan celoteh istri tentang kelakuan tetangga yang sembrono; membuang sampah sembarangan, anak tetangga yang menguntil mangga di pekarangan rumah, dan sesekali istrinya juga mempersoalkan biaya hidup yang makin naik sementara kebutuhan sangat-amatlah banyaknya, belum lagi si bungsu yang dua bulan lagi akan mendaftar masuk Sekolah Dasar. Semuanya berputar bagai gambaran babak-babak film dalam layar tancap di depan rumah Pak Ogah.
Dicobanya kembali berdiri atau menjangkau apa saja yang didapatkan dalam gelap, namun tangan tuanya yang mulai keriput itu hanya menjangkau kegelapan kosong. Napasnya mulai terengah-engah di tengah rasa panik yang makin mendera. Kembali dirabanya perut yang basah oleh cairan panas itu, rasanya perih sekali. Entah sepanjang apa celurit yang tadi berhasil mencabiknya, yang dia ingat hanya saat berlari menjauh dari kerumunan orang yang sedang tawuran, mencoba menyelamatkan diri namun naas malah mendapatkan satu sabetan sambil lari, lebih malangnya lagi saat itu dia berlari ke sumur tua hingga terpesosok ke sana, luka celurit itu bertambah dengan luka lebam yang membiru.
“Kalera …” umpatnya membenturkan kaki ke dinding sumur yang berlumut.
Pandangannya dialihkan ke atas, tepat pada bintang yang tengah bersinar redup karena guruh sudah menyahut tanda akan hujan deras. Tak adakah yang mendengar teriakannya dari dalam sini? Tak adakah orang yang melongokkan kepala memeriksa sumur tua yang sudah kering ini? Bahkan dalam keaadan begitu, dia masih memikirkan bagaimana cara melunasi iuran sekolah si sulung yang sudah menunggak tiga bulan lamanya.
“Ah, orang miskin yang sekarat,” ratapnya sambil mengumpulkan napas dan mencoba duduk dengan menyandarkan punggung ke dinding sumur yang dingin. “Di mana-mana sama saja orang miskin ini, selalu dipermainkan takdir. Lihat saja orang yang kaya itu, enak-enak saja hidupnya. Orang miskin selalu menjadi beban, dapat duit sedikit habis untuk keperluan dapur, mana lagi istri yang minta ini-itu, anak yang minta mainan ini-itu, belum lagi mertua yang memandang sebelah mata karena tak bisa membahagiakan anaknya. Aduh, nasib …”
Dalam sumur tua yang sudah kering itu, sambil memegangi perutnya yang perih, Rajab mencoba membuka lembar demi lembar kisah hidupnya yang tak pernah bahagia, atau mungkin pernah bahagia namun dia sudah lupa. Satu-satunya kenangan terindah yang masih dia ingat adalah saat dia mendapatkan restu untuk menikahi Rosinah, gadis desa yang sudah diidam-idamkannya selama enam tahun, hari-hari dalam dapur rumah-tangga pun dijalaninya dengan ikhlas. Pekerjaannya berjualan batagor hanya mampu memberikan makan dua kali sehari kepada keluarganya, itupun sudah ditambah dengan penghasilan Rosinah dari usaha menjual pisang goreng yang juga tidak seberapa. Mau pulang kampung malu, mau tetap tinggal anak malah tambah besar, si sulung, Amir, sebentar lagi tamat SMP, entah akan lanjut sekolah atau akan dicarikannya pekerjaan, si tengah sudah kelas lima SD, sedangkan si bungsu beberapa bulan lagi akan masuk SD pula, dari mana uang sebanyak itu akan didapatkannya?
Rajab mengangkat tangannya dan membawanya ke hidung, cairan hangat itu masih keluar namun dia sudah sedikit tahan, rasa sakit yang dideritanya sekarang belumlah seberapa dibandingkan dengan kejadian dua belas tahun lalu, saat Rajab ditabrak ambulan ketika hendak menyeberang dari SD Kartika. Kejadian itu membuatnya koma selama lima hari, dan dalam masa komanya itu dia bermimpi mendapatkan keberkahan yang sangat banyak, dia memiliki rumah pribadi dan kendaraan yang cukup mewah. Namun apalah itu hanya ilusi semata, nyatanya tiap pagi hingga maghrib dia masih mendorong gerobak batagor sambil mengelap keringat yang membanjiri tubunya.
“Andai aku pulang kampung saja apa yang akan kulakukan? Bekerja di rumah sebagai petani? Bah, sudah delapan belas keturunan keluargaku semuanya bertani saja, tak ada yang berhasil sekolah atau menjadi pegawai, nihil.”
Rinai-rinai mulai berjatuhan, Rajab memperbaiki duduknya dan kali ini mencoba berdiri. Baru beberapa detik dia berdiri sambil berpegangan pada dinding sumur, dia kembali ambruk dan umpatan serta-merta keluar dari mulutnya. Siapa peduli padanya sekarang? Bahkan ketika sehat pun tak ada yang peduli.
Ditelannya air liur sekedar penenang diri karena sayur bayam buatan istrinya kembali melintas dalam angan-angan.
“Kalau aku mati di sini sekarang mungkin Amir bisa melanjutkan usahaku berjualan batagor, dia anak yang patuh pada ibunya dan bisa bertanggung jawab. Si tengah Dian juga bisa membantu ibunya berjualan, semuanya akan baik-baik saja tanpaku,” batin Rajab lagi.
Dia memikirkan mati, baru kali ini seorang Rajab Nur Solihin memikirkan mati. Bagaimana rasanya? Apakah sangat sakit? Apakah dia akan mendapatkan surga atau neraka seperti yang biasa didengarnya dalam ceramah Jum’at sore di radio RRI. Orang bilang mati itu sakit, apakah sebentar lagi dia akan merasakannya?
Angannya kembali melayang kepada seorang ustadz yang memberikan ceramah saat acara didikan subuh gabungan di desa Sungai Dua, bahwa orang yang tidak taat pada aturan yang sudah ditetapkan Tuhan akan mendapatkan azab, dan siapa yang mengerjakan amal baik akan mendapatkan balasan kebaikan pula berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Selama hayatnya hanya semasa di kampung saja Rajab pernah sembahyang, selebih itu waktunya habis untuk mencari uang saja. Sudah berpuluh tahun merantau, belum sekalipun dia pulang kampung. Apakah mak bapaknya masih hidup sekarang? Rajab tidak tahu.
“Ah, andai saja di saat seperti ini ada saja mukjizat yang datang.” Rajab berangan-angan, setengah pakaiannya sudah basah oleh rinai yang makin melebat.
Pria kurus itu kembali mencoba menggapai-gapai, dia baru ingat saat itu baru pukul sebelas malam, berarti masih jauh pagi dan jika dia tidak berusaha sendiri untuk keluar, tidak akan ada yang menolongnya.
Tiba-tiba tangannya menggenggam sesuatu, Rajab tertegun sebentar, dirabanya lagi benda apa yang didapatnya, sebuah batu kecil yang keras, diangkatnya lalu diamatinya dalam gelap, batu itu berkilau dalam pekatnya malam.
“Ah, batu biasa,” batin Rojab, namun begitu dia tetap saja mengantonginya karena perutnya makin sakit. Zaman dulu sangat banyak mitos yang beredar terkait batu, jika ingin BAB namun tidak menemukan wc, maka genggamlah batu maka sakit perut akan hilang untuk sementara. Itulah yang kini dilakukan Rajab, dia ingin sakit perutnya hilang karena batu tersebut, nampaknya rasa putus asa telah membuatnya sedikit teler.
Lolongan anjing malam terdengar sahut-sahutan, mungkin anjing kampung sini dan kampung sebelah, dicoba lagi oleh Rajab berpegang pada dinding sumur dan merangkak naik, kali ini dia menemukan sebuah tangga tua yang sudah licin, sedikit tinggi di atas kepalanya namun dia harus berusaha keras jika memang ingin keluar dari sana malam ini juga.
“Akh, sial …” dia sudah mencoba tiga kali dan gagal, pegangannya terlepas dan kembali terhempas ke dasar sumur yang lembab itu.
Entah pada kali yang ke berapa akhirnya pria tua itu berhasil mencapai anak tangga paling atas dan hampir kembali tercebur ke dalam karena tersandung papan. Rajab terjerembab dan pandangannya berkunang-kunang seketika, barulah beberapa saat kemudian sebuah sorot lampu mengarah tepat padanya, disusul suara teriakan orang memanggil bantuan karena telah menemukan sesuatu.
Dua hari sejak kejadian itu, Rajab pulang menggunakan tongkat, Amir membantunya naik ke atas rumah susun sedangkan istrinya sibuk membikinkan air kopi di dapur. Si tengah senang benar melihat kedatangan ayahnya, dan si bungsu yang tengah bermain robot-robot usangnya yang ditemukannya di TPA seketika itu melemparkan mainannya dan mendekati Rajab.
“Akhirnya,” ujar Rajab begitu duduk di atas kursi rotan reyot yang sengaja diletakkan menghadap ke jendela. “Apa yang sedang kau bikin itu, Rosinah, kemarilah sebentar.”
Istrinya kembali sambil membawakan minum, Rajab begitu bahagia melihat keluarganya yang akur, istrinya yang tabah, dan anaknya yang tak mudah mengeluh akan nasib mereka yang papa.
“Tahun ini kita akan pulang kampung bersama,” ujar Rajab diiringi senyum dibalik kumisnya yang makin menebal, diusapnya kepala si bungsu sambil didekapnya erat-erat. “Kalian akan bertemu dengan nenek kalian di kampung,” lanjutnya dengan yakin.
“Jangan mengada-ada, Bang, uang rumah sakit saja entah bagaimana cara kita melunasinya,” lirih Rosinah. “Yang penting sekarang abang yang banyak dulu istirahat, itu juga pesan dokter.”
Rajab menatap istrinya, gadis yang sejak dulu dicintainya itu kini sudah sedikit ubanan, akar kecantikan yang melekat padanya sudah diwariskan kepada Dian, anak tengah mereka, namun begitu tak secuilpun menyurutkan rasa sayang dan cinta Rajab kepada wanita bernama Rosinah itu, malah makin hari makin dia jatuh cinta dengan ketabahannya. Di sini, di rantau orang, apapun bisa terjadi, namun perempuan itu memilih setia seiya-sekata, tak ada membantah satu pun akan kebijakan yang diambil oleh suaminya, padahal dahulu semasa di kampung, keluarga Rosinah adalah keluarga yang cukup berada dibandingkan dengan keluarganya.
“Lebaran besok kita akan pulang kampung menjenguk abak dan amak,” ulang Rajab. “Sudah datang kepadaku rezeki yang tak diduga, Ketika terjatuh ke dalam sumur tua kemarin, kutemukan sebongkah kecil emas di sana yang semula kukira batu karena ingin meredakan sakit perutku, baru setelah sampai di rumah sakit kuperiksa celanaku dan sudah kuserahkan kepada Rais untuk dijual, aku yakin tak lama lagi dia akan datang mengantarkan hasilnya.”
Semua yang mendengar penuturan Rajab terbelalak seketika, taka da yang mampu menanggapi dalam beberapa detik, baru kemudian Rosinah lah yang pertama kali berujar, “Betul kah yang abang ceritakan ini? Bagaimana pula bisa bertemu emas di dalam sumur tua itu?”
“Ah, aku pun tak tahu, yang jelas sebentar lagi kita akan melunasi semua biaya rumah sakit dan bergegas pulang kampung. Aku sudah tak tahan pedih hidup di rantau orang ini, biarlah kita pulang sehabis-habisnya dan memulai usaha yang baru. Bagaimana pendapatmu, istriku?”
Rosinah baru akan menjawab ketika pintu rumah diketuk dan seorang laki-laki berpakaian rapi masuk ke dalam sambil membawa koper.
“Ini uangnya, Rajab, sudah kujumlahkan semuanya, totalnya ada tujuh puluh enam juta.”
Dibukanya dan diambilnya seikat uang itu dan diletakkannya ke genggaman Rais.
“Ini ganti uangmu karena sudah meminjamkanku uang untuk membayar biaya rumah sakit,” diambilnya seikat lagi dan diberikannya kepada Rais. “Ini untukmu karena sudah banyak membantuku, dan ini seikat lagi, tolong berikan kepada orang pertama yang menemukanku malam itu, kalau tidak salah namanya Ponimin, tolong berikan padanya.”
Tak lama kemudian, Rajab tertegun dan rasa nyeri di perutnya kembali kambuh, kali ini pandangannya sempurna gelap, kunang-kunang beterbangan di sekelilingnya dan samar-samar, sebelum dia benar-benar tak dapat melihat lagi, masih melihat Rosinah yang datang memeluknya dan memanggil namanya … untuk terakhir kali.