Bupati Pesisir Selatan, Drs. Rusma Yul Anwar, M.Pd memilih pendekatan persuasif dengan mengajak elemen masyarakat ninik mamak, imam khatib dan bundo kanduang untuk mengambil peran dalam pemberlakuan perda 01 th 2016.
Pemberlakuan batasan hiburan malam di Pesisir Selatan beranjak dari semakin mengkhawatirkan pertumbuhan pemakai narkoba khususnya dilakangan anak muda disamping semakin merosotnya nilai – nilai budaya akibat serangan budaya negatif dari luar yang masuk melalui berbagai cara termasuk salah satunya melalui budaya orgen sampai tengah malam.
Musik yang hingar – bingar mengganggu lingkungan sekitarnya, kebiasaan sawer menyawer yang vulgar, mempertontonkan joget/tarian erotis/pakaian yang tidak pantas secara terbuka. Sementara kita sebagai masyarakat Minang yang hidup dilingkungan “mamak rumah – sumando, mamak – keponakan, ipa – besan”, tentu akan sangat terganggu. Belum lagi kebiasaan orgen tengah malam dengan mabuk – mabukan. Kegiatan ini juga patut diduga dimanfaatkan oleh oknum para bandar narkoba mengedarkan narkoba ke kalangan anak – anak muda.
Dan ironisnya kegiatan – kegiatan yang “merusak” ini seolah – olah menjadi kebiasaan. Karena dilaksanakan pada saat pesta perkawinan anak keponakan. Tentu hal ini harus segera diambil tindakan. Jangan sampai peristawa sakral pernikaham dan perkawinan bercampur dengan kegiatan negatif berupa pornoaksi/peredaran narkoba.
Atas dasar itu Bupati mengajak semua pihak untuk bersama – sama bergandengan tangan mengatasi masalah – masalah sosial yang sedang terjadi.
Bupati menyatakan bahwa kecemasan dan kegelisahan kita bersama menyaksikan pemerosotan Akhlak anak-anak kita, kemenakan kita, mereka telah terbuai dgn kemajuan tekhnologi sementara kita sendiri ikut terlena dan terkesan diam terhadap semua pergeseran dan perubahan nilai-nilai budaya, adat istiadat yg kita agungkan keluhurannya. Sikap Diam kita hanya akan mempercepat pengrusakan sendi-sendi budaya kita yg sedang berlangsung di halaman rumah kita sendiri.
Pesta pernikahan adalah bagian dari budaya kita, untuk itu Para Ninik Mamak, Imam Khatib, Cadiak Pandai dan Bundo Kanduang bahkan Para Pemuda memegang peranan penting utk membatasinya thdp anak kemenakan dan sanak saudara.
Hal ini bisa disampaikan ketika maetong hari atau duduk baropok.
Seperti yang dilakukan oleh Kerapatan Adar Nagari SUNGAI TUNU. KAN Sungai Tunu membuat aturan jika ada Datuk/Anak Kemenakan Datuk yg melanggar batas waktu organ tunggal, maka baju datuknya akan di gantung, artinya keberadaannya di KAN tidak diperhitungkan dan tidak akan dilibatkan dalam rapat-rapat adat.
Upaya partisipatif seperti ini hendaknya tentu dapat juga diikuti oleh KAN lainnya di Pesisir Selatan.
Pemerintah Daerah sebagai “Undang” bagian dari tali 3 sapilin dan tunggu 3 sajarangan mengajak semua elemen untuk dapat menguatkan tali silaturrahmi, bersama – sama memberantas “penyakit sosial” yang sudah menjalar dan sampai di fase yang mengkhawatirkan.
Pada kesempatan yang sama Bupati juga mengajak semua pihak untuk menyatukan persepsi melihat situasi yang terjadi dan secara bersama – sama jalin – menjalin bergandengan hati dan tangan mengatasi keadaan agar kualitas budaya masyarakat kita kembali “sehat”.