Penulis : Adpi Gunawan
Pemerhati Sosial
Bagi masyarakat Indonesia, bagi masyarakat Minang sebagai salah-satu suku bangsa di Indonesia, sudah tidak asing lagi mendengar kata silaturahmi. Silaturahmi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Indonesia.
Silaturahmi tidak hanya meliputi keluarga dekat, dunsanak dekat, dunsanak jauh, anak pisang, maupun bako, dalam kehidupan bernagari, di pedesaan silaturahmi juga meliputi kehidupan bakorong bakampuang. Dalam kehidupan modern silaturahmi juga telah membudaya terhadap teman kerja, mitra kerja, alumni kuliah, alumni SMA, alumni SMP, alumni SD, hingga alumni TK maupun alumni PAUD, bahkan hubungan antar tetangga terkadang lebih akrab melebihi kekerabatan.
Bagi masyarakat yang telah “hijrah” ke kota atau merantau jauh atau merantau dekat lah namanya, silaturahmi bersama keluarga di kampung, memohon maaf dan basimpuah kepada kedua orang tua yang masih hidup, atau berziarah ke makam orang tua yang telah tiada sembari mendoakan keselamatan dunia hingga akhirat adalah merupakan sebuah ritual yang lazim dilaksanakan tahun ke-tahun di (hari baik bulan baik) hari nan fitri.
Bersimpuh serta memohon maaf kepada ibu dan bapak, siapapun orangnya, apapun jabatan dan pangkatnya sekarang, entah dia manajer, entah dia CEO, entah dia politisi, entah dia youtuber, entah dia ASN, entah dia pak lurah atau Koordinator BPP sekalipun, memohon maaf secara langsung adalah cara untuk menghilangkan kesombongan, ego, dan ke-aku-an menjadi hilang. Karena ibu dan bapaklah, kita menjadi apa dan siapa seperti hari ini.
Meskipun sudah ada berbagai aplikasi seperti fasilitas zoommeeting, mapun panggilan melalui video yang bisa diakses dengan hanya bermodalkan paket data dua puluh lima ribu barangkali, dan tentu saja orang tua telah memaafkan segala kesalahan anaknya sebagai bukti kecintaan kepada anak, tetap saja kerinduan terhadap orang tua belum tergantikan.
Bagi masyarakat Minang, ada beragam jenis rumah yang menjadi sumber kerinduan dalam bersilaturahmi, ada rumah tempat tinggal, ada rumah ibadah, ada rumah adat, ada rumah sawah (ada juga yang menyebutnya dangau sawah dan ada juga yang menyebutnya pondok), rumah sakit apalagi rumah tahanan negara bukanlah yang dimaksud disini.
Rumah Tempat Tinggal
Rumah tempat tinggal bukanlah hanya sekedar tempat tinggal, dari rumahlah nilai kehidupan terbentuk, nilai-nilai agama tertanam kepada seorang anak juga berawal dari rumah tempat tinggal, dari rumah terbentuk budaya-budaya luhur, makan bersama, tolong-menolong dan menerima resep masakan di dapur yang kelak akan menjadi cikal-bakal saudagar Minang pemilik (lapau nasi) rumah makan di perantauan.
Dari rumah pula tertanam bagaimana menghormati orang yang lebih tua, menyayangi orang yang lebih kecil, bagaimana bersikap terhadap semenda yang merupakan laki-laki dewasa sebagai orang datang belakangan dalam rumah dan semenda ini pulalah yang akan menjadi manajer terhadap sawah dan ladang setelah ditaruko oleh orang-orang tua terdahulu lalu diperuntukannya kepada cucu kemenakan.
Rindu terhadap rumah tempat tinggal orang tua serta tempat tinggal dunsanak perempuan bersama kemenakan dan semenda membuat orang rela menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer dan bermacet-macet menuju pintu tol (bagi propinsi yang punya tol tentunya) untuk bersilaturahmi dengan orang tua dan dunsanak.
Rumah Ibadah
Bagi masyarakat Minang yang berfilosofikan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato, Adat Mamakai” keberadaan rumah ibadah adalah suatu keharusan. Saat meresmikan mesjid di Bukittinggi beberapa waktu lalu, Pak JK (mantan Wapres) dalam sambutannya mengatakan, Kalau ingin mencari orang Minang mudah saja, cari saja di pasar dan di mesjid, demikian urgennya rumah ibadah bagi kita.
Meskipun di rantau ada juga mesjid dan mushallah, kerinduan terhadap surau di kampung tempat pertama kali mengenal huruf hijaiyah, alif diate a, alif dibawah i, alif didopan u, hingga tamat kaji, tetap belum tergantikan. Bagaimana dulu orang tua mengantarkan anak ke surau dengan menyertakan lidi yang akan dijadikan sebagai sarana funishment, bagaimana orang tua dulu menjunjung padi setelah panen tiba guna membayar iuran minyak lampu serta pembeli gula kopi bagi guru ngaji karena memang dana desa belum memadai kala itu dan juga tak ada BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan sosial bagi guru ngaji, kerinduan itu tetap tak tergantikan.
Rumah Adat
Orang awak, meskipun menyandang gelar adat dengan seluas dan sebanyak apapun harta pusakanya bila dikatakan tak beragama, marah ia. Demikian pula engku haji ataupun ulama bila dikatakan tak tahu adat, marah ia. Begitu korelasi agama dan adat bagi orang awak.
Rumah Gadang, meskipun telah lapuk dimakan usia dan banyak yang tak lagi terawat namun kerinduan terhadap rumah adat ini tetap ada. Kita patut berterimakasih karena ada juga yang menganggarkan renovasi rumah adat melalui APBD maupun APBN.
Demikian pula dengan perantau, saking rindunya terhadap rumah adat sampai ada yang bergotong-royong bahkan bersedia membiayai sendiri pembangunan ataupun renovasi rumah adat milik kaum di kampungnya. Anak dan cucunya dari rantau kagum dan takjub akan rumah adat, sehingga menjadikannya objek untuk ber-swaphoto. Namun tak sedikit juga perantau, yang karena keterbatasan ekonomi belum mampu melanjutkan eksistensi fisik rumah adat ini, dari tahun ke tahun kepulangannya ke kampung tak lepas dari menjadi saksi lapuknya rumah adat.
Rumah Sawah
Sebagai negara agraris dengan potensi pertaniannya yang luar biasa, sehingga grup musik Koes Plus menjadikannya inspirasi dalam pembuatan lagu “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat, kayu dan batu jadi tanaman”, pertanian telah menjadi sumber dalam berbagai aktivitas sosial, budaya, dan seni.
Sebagai masyarakat sosial dengan adagium “Kaba baiak bahimbauan, kaba buruak bahamburan” beras telah menjadi komoditas sosial dalam kehidupan di kampung. Pergi baralek maupun pergi menjenguk disaat handai taulan kemalangan, beras selalu menjadi bahan utama sebagai wujud kepedulian sosial.
Kemudian budaya bakaua sebelum turun ke sawah, gotong royong dalam membersihkan jaringan irigasi, budaya batobo dalam bertanam padi hingga bersiang, semuanya tak lepas dari aktivitas bertani.
Lahirnya seni musik tiup pupuik batang padi, sasaran randai, dan suling bambu adalah kegiatan selingan penghilang penat tatkala seharian berusaha di lahan pertanian sawah maupun menggembala kerbau di padang rumput.
Meskipun ada juga sawah yang beralih fungsi menjadi lahan tambang illegal, toh kerinduan itu tetap ada terhadap sawah serta Rumah sawah yang terletak di pinggir sawah ataupun di tengah-tengah hamparan biasanya berdekatan dengan pematang sawah menjadi tempat untuk beristirahat dari teriknya matahari tropis dikala panas serta berteduh di saat hujan tiba.
Rumah sawah juga menjadi tempat meletakkan bahan pangan seperti nasi, air minum, kopi, gula, dan makanan tradisional lainnya sekaligus menjadi lokasi makan bersama selama siklus usahatani padi di sawah. Memori itulah yang tak bisa dihapus dari ingatan yang membuat orang ingin kembali ke kampung dihari baik bulan baik.
Rumah sawah dijadikan objek ber-swaphoto oleh perantau bersama keluarga, meskipun bukan rumah sawah miliknya, karena bisa saja sawah pusakanya telah tergadai karena sesuatu hal. Kerinduan terhadap rumah sawah pula yang membuat orang dimana-mana membuat berbagai objek wisata maupun sekedar tempat makan dengan konsep kembali ke alam “back to nature” namanya.
Silaturahmi antara sesama oleh para perantau dengan warga di kampung bukan hanya kegiatan kultural semata, tapi juga bernilai spiritual. Melalui “mudik” pulang kampung, kita disadarkan dari mana kita berasal, kemana kita akan kembali. Dengan melihat rumah sawah, kita diingatkan bahwa sumber utama penghidupan serta ekonomi di kampung adalah “sosok jarami” berupa sawah dan ladang sebagai harta komunal yang harus diwariskan kepada cucu kemenakan. Dengan berziarah ke “pandam pakuburan” kita dingatkan bahwa yang datang daripada tanah akan kembali ke tanah.
*) Penulis berdomisili di Kabupaten Sijunjung