Kajian Jumat Oleh: Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
Pembaca Topsumbar yang setia, dengan keimanan dan senantiasa merindukan kebenaran senantiasa tersampaikan ketika ada yang menggantinya dengan kesalahan dan menyembunyikan dibalik penampilan dan jabatan serta kepopuleran.
Pada kajian jum’at ini, pembaca akan diajak untuk membaca fenomena yang terjadi dikaanngan umat islam khususnya diminangkabau Sumatera Barat yang oleh orang diperantauan sering di sebut “ URANG AWAK” atau ORANG MINANG, sehingga tidak dipopulerkan nama Minangkabau tetapi lebih popular kata-kata: ORANG AWAK ATAU ORANG PADANG.
Tetapi kajian kali ini tidak membahas soal di atas, hal tersebut untuk mengingatkan kita bahwa orang minang di perantauan dikenal oleh orang diperantauan dengan berbagai sebut-sebutan dan termasuk mengenal adanya pendapat” HARTA DIWARISI OLEH PEREMPUAN’ tetapi tidak dapat menjelaskan Harta yang mana yang diwarisi oleh perempuan.
Sebelumnya kami mengutip suatu tulisan dari http://blog.umy.ac.id yang memuat pendapat dari Dr.Amir Syarifuddin tentang pewarisan menurut adat minangkabau. , bahwa pewarisan menurut adat bukanlah berarti peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris, tetapi peralihan peranan atas pengurusan harta pusaka itu yaitu:
Pertama ;
Harta pusaka melekat pada rumah tempat keluarga itu tinggal dan merupakan dana tetap bagi kehidupan keluarga yang tinggal di rumah itu. Harta itu dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada di tangan mamak rumah.
Hal tersebut di atas berbeda sama sekali dengan bentuk pewarisan dalam hukum Islam. Dalam Hukum Islam pewarisan berarti peralihan hak milik dari yang mati kepada yang masih hidup. Yang beralih adalah harta. Dalam bentuk harta yang bergerak, harta itu berpindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan dalam bentuk harta yang tidak bergerak, yang beralih dalam status pemilikan atas harta tersebut.
Kedua
Harta pusaka tinggi bukan milik perorangan dan bukan milik siapa -siapa secara pasti. Yang memiliki harta itu ialah nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara mencancang melatah. Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya.
Menurut Syekh Dr.H.Abd.Karim Amrullah. Murid beliau Syekh Rasul ( H.Abdul Karim Amrullah ) ulama yang belakangan ini melihat harta pusaka dalam bentuk yang sudah terpisah dari harta pencarian. Berpendapat bahwa harta pusaka itu sama keadaannya dengan harta wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlkukan oleh Umar ibn Kattab atas harta yang didapatnya di Khaybar yang telah dibekukan tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan harta pusaka dengan harta wakaf tersebut walaupun ada masih ada perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat diwariskan. Sehingga tidak diperlakukan atas harta pusaka tinggi hukum faraid.
Bahkan sejarah mencatat bahwa ada Keputusan pada Seminar atau Musyawaratan Alim Ulama, Niniak mamak dan cadiak pandai Minangkabau pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di Bukittinggi salah satu isinya adalah: Terhadap “HARTA PENCARIAN” BERLAKU HUKUM FARAIDH, SEDANGKAN TERHADAP “HARTA PUSAKA” BERLAKU HUKUM ADAT.
Maka sampai saat ini terhadap Harta Pusako (pusaka) berlaku HUKUM ADAT MINANGKABAU yaitu harta jatuh (digarap dan dimanfaatkan hasilnya oleh keturunan perempuan secara turun temurun untuk membiyai kehidupan anak-anak mereka. Dan jika perempuan dalam kaum adat sudah bersuami maka ‘SUAMI” ikut menggarap dan mengelola tanah pusaka dan manfaatnya diberikan kepada semua keluarga yang ada dirumah tersebut, tanpa membedakan laki-laki atau wanita.
Hal ini sesuai dengan firman Alloh swt: Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang telah Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Bani Israil: 33) karena telah berperilaku kaum jahilyah MEMBUNUH ANAK-ANAK perempuan oleh kaum jahilyah, karena sebab yang dibangun kaumnya yaitu menganggap WANITA SEBAGAI PEMBAWA AIB BAGI KELUARGA, di ayat lain Alloh firmankan:“Dan ketika bayi-bayi perempuan ditanya, atas dosa apakah mereka dibunuh.” (QS. Al-Takwir: 8-9).
Sehingga ketika ADAT MINANGKABAU memuliakan dan menghormati kaum perempuan dengan mendapatkan harta pusaka tinggi adalah suatu PENGAMALAN TERHADAP PERINTAH ALLOH SWT untuk memuliakan kaum wanita. Sehingga ketika anak wanita lahir, orang minang sangat gembira karena ada penyambung keturunannya kelak. Karena Alloh firmankan: “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita (QA Ali Imran [3]:36).
“Dan (demi) penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya keadaan (dan usaha) kamu sungguh berbeda.”(QS al-Lail [92]: 3-4).
Menurut Dr. Drs. Rohidin, S.H., M.Ag dalam https://www.uii.ac.id berpendapat bahwa:, “Agar perempuan mampu memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang lain, maka dari ini diperlukan upaya pemberdayaan perempuan”. perempuan berkewajiban membungkam mitos-mitos filsafati bias laki-laki, seperti pandangan bahwa hidup perempuan hanya sekedar di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak. Yang dianggap membuat kaum perempuan tertindas bahkan menjadikan perempuan manusia terbatas.
Maka Alloh menjadikan LAKI-LAKI sebagai pemimpin wanita, sebagaimana firman Alloh SWT:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (surat an nisa’ ayat 34).
Maka diminangkabau LAKI-LAKI dijadikan MAMAK (bukan emak/ibu) tetapi sebutan untuk saudara laki-laki ibu atau sebutan umum adalah “Om”. Oleh hukum adat minangkabau menempatkan LAKI-LAKI adalah sebagai PENGURUS HARTA PUSAKA TINGGI, bahkan disebut pewaris Harta Pusaka Tinggi tersebut, sehingga PEMILIK ASAL HARTA PUSAKA TINGGI DIMINANGKABAU adalah MAMAK yang dahulu kala menjadi datuk atau pengulu adat yang juga sebagai MAMAK dari kemenakan baik laki-laki maupun perempuan.
APAKAH TERDAPAT PERTENTANGAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM ADAT MINANGKABAU? JAWABANNYA TIDAK ADA PERTENTANGAN DENGAN AJARAN ISLAM, sebaliknya HUKUM ADAT MINANGKABAU MENGAMALKAN AJARAN ISLAM SECARA SEMPURNA.
Sering dipertanyakan oleh kalangan masyarakat diperantauan atas adanya hukum adat matrilineal yang menjadikan ‘WANITA” sebagai pewaris harta pusaka tinggi diminangkabau. Padahal Islam menentukan bagian dari harta warisan,salah satunya wanita mendapatkan ½ dari bagian laki-laki, bahkan selain wanita juga ada ahli waris lain dalam ajaran islam?
ANTARA LAKI-LAKI DENGAN WANITA SALING TOLONG MENOLONG DALAM SISTEM ADAT MINANGKABAU
Yaitu terjalin kehidupan yang harmonis dalam sistem hukum adat laki-laki manyumando (bertempat tinggal di keluarga perempuan ) dan mengusahakan harta benda untuk anak dan isterinya bahkan untuk kemenakan dan keluarga asalnya.
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain(QS. At-Taubah ayat 71) sebagaimana firman Allah swt: “Para suami (adalah qawamoon) harus menjaga istri mereka dengan baik, dengan (karunia) yang telah Allah berikan kepada mereka (suami) bagian yang lebih qtas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (suami) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa ayat 34).
BUKTI-BUKTI NYATA FIRMAN ALLOH DAN HADIST YANG MENJADI INSPIRASI HUKUM ADAT MINANGKABAU ADALAH:
“….. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula……” (QS. Al-Baqarah ayat 233).
Maka dengan adanya TIDAK DAPAT DIBAGINYA HARTA PUSAKA TINGGI tetapi dimanfaatkan secara turun temurun oleh keturunan perempuan sebagai penerus generasi adalah bentuk pengamalan dari firman Alloh swt dan sunnah rasulullah SAW.
Dalam beberapa hadist Rasulullah sabdakan tentang bagaimana memuliakan perempuan, HUKUM ADAT MINANG MEMULIAKANNYA DENGAN MENJADIKAN SEBAGAI HUKUM ADAT, Allohuakbar.
Dalam suatu riwayat dikisahkan:
Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah saw.. Laki-laki itu bernama Jahimah. Lalu laki-laki itu bertanya, “Wahai Rasulullah, aku ingin berperang, aku ingin meminta pendapatmu.”
Rasulullah pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau punya ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Iya.” Kemudian Rasulullah memberinya arahan, “Tetaplah bersama ibumu, karena surga ada di bawah kedua kakinya.” (HR. Imam Baihaqi di hadist lain rasulullah saw bersabda: “Paling baiknya kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku paling baik untuk keluargaku. Tidak memuliakan perempuan kecuali laki-laki yang mulia. Tidak menghinakan perempuan kecuali laki-laki hina.” (HR. Imam Hakim).
Yang lebih penting lagi adalah Laki laki Minang menjadi penanggungjawab atas nafkah kepada perempuan sebagaimana dalam hadist: “Barang siapa yang menanggung nafkah tiga anak perempuan, lalu dia mendidik mereka, menikahkan mereka, dan baik kepada mereka, maka dia akan mendapatkan surga.” (HR. Imam Ahmad bin Hambal).
Maka berdasarkan uraian di atas petutlah dikatakan harta pusaka tinggi diminangkabau adalah HARTA YANG DIHALALKAN oleh hukum adat untuk dimanfaatkan secara turun temurun yang keturunan tersebut dinisbatkan dari perempuan, itulah KETURUNAN KAUM MINANGKABAU, dan hukum adat tidak menghapus NASAB kepada laki-laki, DIMINANGKABAU TETAP seorang anak BIN…nya adalah ayah/bapak BUKAN IBU, dan bahkan ada bapak adat dikenal diminangkabau yaitu MAMAK, faktanya ketika seorang anak minang ditanya yang ditanyaa siapa mamak? Atau KEMANAKAN SIAPA? Bukan ditanya anak siapa?(BAPAK DAN IBUNYA) ini menunjukkan adanya Bapak adat, atau tetap NASAB ADATNYA kepada laki-laki tetapi laki-laki dari saudara Ibunya.
Sehingga terjadinya pembauran hukum adat minang pada harta pusaka tinggi dengan harta pencarian kedua orangtua TIDAKLAH ADA hal yang patut dipertentangkan karena dua sumber harta yang berbeda cara perolehannya, sehingga pendapat yang menyamakan semua harta diminangkabau adalah suatu kekeliruan yang akan terselesaikan dengan mendalami hukum adat minangkabau langsung dari sumbernya.
Sehingga diminangkabau jelas mana harta pencaharian kedua orangtua dan jelas diwarisi oleh anak dan isteri secara turun temurun bahkan oleh ornagtua. Tetapi terhadap HARTA PUSAKA TINGGI tidak diwarisi tetapi dimamfaatkan bersama sama anggota kaum adat secara turun temurun karena umumya harta pusaka tinggi itu SAWAH DAN LADANG.
KAPAN HARTA PUSAKA TINGGI MENJADI HALAL?
Maka harta Pusaka tinggi AKAN MENJADI HALAL apabila dimanfaatkan sesuai hukum adat minangkabau, YAITU DIMANFAATKAN UNTUK KEPENTINGAN BERSAMA KAUM ADAT secara turun temurun dengan dikelola dan dimabil mamafaatnya secara bersama-sama, jika dikuasai oleh suatu keturunan harus atas kerelaan kaum yang lainnya,jangan sampai mereka anggota kaum terzolimi apalagi melarat hidupnya karena tidak ada berbuat sawah dan lading untuk makan sehari-hari, sementara anggota kaum yang menikmati harta pusaka sudah menjadi kaya raya dan berbangga diri dengan harta pusaka yang dimanfaatkan sepihak.
KAPAN HARTA PUSAKA TINGGI MENJADI HARTA HARAM?
Yaitu ketika tidak dimanfatkan sesuai ketentuan hukum adat yang membuat harta pusaka tinggi menjadi halal, seperti dimanfaatkan OLEH MAMAK SAJA, atau oleh satu keturunan SAJA, tanpa berbagi manfaat dengan anggota kaum adat yang berhak menerima manfaatnya.
Atau karena berkuasa dan kedudukan sosial yang tinggi HARTA PUSAKA TINGGI DIJUAL (KECUALI ADA LASAN SECARA HUKUM ADAT), sementara anak kemenakan tidak ada lagi tempat tinggal atau tidak mempunyai swah dan lading lagi di kampong asal, tentu sikap begini bertentangan dengan PAHAM DAN PRINSIP MAMAK YANG TELAH MEWARISKAN HARTA PUSAKA TERSEBUT UNTUK SEMUA ANAK CUCU KETURUNAN MEREKA.
Maka ketika tanah pusaka tinggi dijual tanpa hak,,, maka sikap itu telah menghilangkan hak-hak anak keturunannya sampai hari kiamat, dan mendapatkan cercaan dari orangtua sebagai pewaris harta tersebut kata orang kena sumpah ninik moyang, oleh karena itu marilah kita mentaati hukum adat yang berlaku ditempat kita masing-masing karena pasti banyak manfaat atas hukum adat itu jika kita laksanakan, dan banyak jua mudharat jika dilanggar dan tidak dilakukan. Bahkan jua hukum Alloh akan berlaku atas orang yang berlaku dzolim pada saudaranya yang lain.
NUUN WALQOLAMI WAMA YASTHURUN.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Sukabumi, Jumat, 27 Mei 2022)
Penulis merupakan seorang pendakwah, dosen, penulis buku dan praktisi hukum