Hai, Topers.
Ayo udah lebaran ke mana aja? Bagi yang masih membujang tahun ini sudah ada rencana singgah ke rumah calon mertua apa belum? Hihihi. Terlepas dari itu semua, semoga di hari yang istimewa ini kita kembali kepada fitrah dan mendapatkan penghargaan berupa taqwa amiin.
Hari ini kita jalan-jalan ke kampung Jawa di Solok Selatan yukk, pada hari-hari besar seperti lebaran, acara sunat rasul atau pernikahan, biasanya ada acara kuda lumping nih. Ayo siapa yang belum pernah nonton kuda lumping?
Indonesia adalah negara dengan beragam suku dan budaya, beragam kesenian dan pertunjukan. Jika kamu hanya bersinggungan dengan panjat pinang, bola lunau dan pacu batang pohon pisang juga buayan kaliang, kali ini kita akan bertualang ke desa Jawa di ujung peradaban Minangkabau, letaknya tak begitu jauh dari pusat kabupaten Solok Selatan.
Yup, ini dia Sanggar Seni Sinau Budoyo, sebuah sanggar seni yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa khususnya kuda lumping. Tapi sebelum itu yukk tilik sebentar bagaimana sejarah kuda lumping ini.
SEJARAH KUDA LUMPING
Kuda Lumping, atau yang bisa disebut juga sebagai jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisional Jawa yang ditampilkan secara berkelompok. Menurut sejarah, tarian ini berasal dari Yogyakarta kemudian menyebar ke seluruh pelosok Jawa.
Ada sejibun referensi yang bisa kita temukan untuk menyebutkan bagaimana tarian ini bermula; ada yang menyebut bahwa tarian ini sudah sangat tua (tak bertahun) sebagai wujud tarian sakral pemujaan terhadap dewa. Ada yang menyebut tarian ini berasal dari peristiwa pasukan berkuda Pangeran Diponegoro yang berjuang mengusir penjajah, dan juga versi lainnya seperti perjuangan kuda kekar Kanjeng Sunan Kalijaga, pasukan berkuda (kavaleri) kuat bentukan Mataram, juga tentang pasukan berkuda dari Sultan Hamengkubuwono pertama. Ada pula versi yang menyebutkan bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah pasukan pemuda cantik bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas, berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan Bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan Lodaya pada serial legenda reog abad ke-11.
Terlepas dari asal-usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.
Sedangkan kata jathilan sendiri oleh masyrakat Magelang berasal jath yang berarti banyak atau amat, dan thil-thilan yang bermakna gerak. Jika dihubungkan dalam terjemahan bebas, kata jathilan berarti banyak gerak seperti kuda yang selalu bergerak.
CATATAN JELAJAH
Malam ini hujan turun rinai-rinai, alam seakan memberikan pertanda bahwa jika keluar rumah jangan melupakan payung atau jas hujan. Sebenarnya sudah sejak siang tadi Solok Selatan diguyur hujan, awal bulan Mei yang penuh dramatis dengan hujannya yang penuh keromantisan; jalanan akan ditutupi kabut tebal, burung balam dan tekukur akan berkicau ria di atas nyiur kelapa yang melambai, juga itu … denting gamelan yang menawan hati untuk tidak memedulikan hujan yang turun.
Sejak 2005 sebenarnya saya sudah tertarik dan mengagumi kesenian kuda lumping ini, yang secara absurd mengambil tempat di sana dan sangat jarang absen menontonnya. Meski berdarah Minangkabau, namun Indonesia dengan segudang budayanya membuka pintu yang sangat lebar untuk mengagumi kesenian suku lain, salah satunya adalah kuda lumping.
Di tempat acara, orang-orang mulai ramai berkumpul membentuk lingkaran yang makin padat. Gendang dan gamelan terus bergema seakan memanggil orang yang masih diperjalanan untuk mempercepat langkahnya. Di atas pentas, para musisi itu berkumpul, memukul gamelan yang berlaras slendro dan pelog, gendang kulit dan juga gong berbagai ukuran, tak lupa dengan bonangnya yang bunyinya begitu sopan masuk telinga.
Di tengah lapangan, kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan diberi hiasan berupa umbul-umbul dan ekor serta dicat dengan warna putih, merah dan hitam disandarkan dua-dua. Penari muda pria berdiri di sebelah kudanya dengan pakaiannya yang khas; selendang, rompi, penutup kepala dan gelang. Pandangan saya tertumpu pada seorang anak kecil yang ikut dalam anggota tersebut, yang memakai topeng kayu merah nyala dengan hidung yang panjang. Dalam hati saya berujar, “Dialah yang akan melanjutkan kesenian ini nantinya.”
Beberapa saat kemudian, dua orang yang tersembunyi di dalam barongan singa berwarna kuning terang keluar dari rumah ganti, menari kecil sambil mengelilingi pasukan berkuda tersebut. Lalu sesekali membuka mulutnya dan mengangguk-angguk. Musik berhenti dan seorang pemuda di atas pentas mengambil pengeras suara. Dia bicara sebentar memberikan kata sambutan, berterima kasih kepada hadirin yang datang, juga bantuan dari masyarakat yang ikut menyukseskan acara berikut para perantau yang pulang.
Benar, setelah pandemi, mungkin ini adalah pergelaran pertama dalam dua tahun terakhir setelah terkungkung dalam keterbatasan akses tak boleh mengadakan kerumunan. Antusias warga tentu saja sangat tinggi karena menurunnya angka kasus Covid-19 sehingga dapat berkunjung dan mengadakan kegiatan di luar ruangan.
Tiga jam penuh saya berdiri menyaksikannya, dan tak letih sama sekali. Penari-penari kuda lumping secara berkelompok memerankan fungsinya masing-masing. Barongan memutari tarian pasukan berkuda dan anak kecil yang memakai topeng tadi eksis dengan kekhasannya sendiri. Akulturasi tarian yang lembut, lincah sekaligus penuh filosofi tersebut benar-benar memanjakan mata. Hingga puncaknya terjadi saat penari membuat formasi berputar dan musik berdentam sangat cepat dan cepat. Bunyi cemeti dan suitan mengikuti kemudian diiringi puncak penampilan dimana penari akan berpencar secara acak dan mulai kerasukan.
Kuda lumping adalah kesenian dua alam. Inilah yang sangat menarik dari kuda lumping, kita diperlihatkan dengan keanggunan dan kelenturan khas Jawa kemudian kekuatan supranatural yang sangat kental. Penari mulai memakan bunga, menari dengan tarian bebas dan juga melecuti temannya dengan cemeti. Semua hal itu tentu saja dilakukan atas pengawasan sang pawang. Penonton mulai menikmati keseruan mereka dan menunjuk-nunjuk jika ada yang berprilaku sangat lucu, seperti mengusili temannya, memakan kacang dengan melemparnya ke udara dan berebutan kelapa muda.
Saat ada salah satu di antara pemain yang membawa kotak untuk meminta sumbangan, penonton sangat antusias mengulurkan tangan dan memasukkan uang ke dalam kotak tersebut. Pemain akan menyalami mereka sambil berujar, “Suwon,” dengan suaranya yang khas dan unik.
Pikiran saya berkelana pada Jawa di masa lalu dengan segala kemegahannya. Majapahit yang melegenda, Mataram dengan kekuatannya yang sangat kuat, Demak dengan kavaleri ciptaan Sultan Trenggono yang masyhur, juga semangat cinta tanah air yang dicipratkan Sultan Agung. Hal yang begitu bijak dan nyata saat saya kembali mencoba membaca karya luar biasa, epos sejarah yang dituturkan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Arus Balik-nya, di mana seorang pemuda Kadipaten Tuban berkelana hingga ikut mengusir Portugis di Malaka pada tahun 1511.
Jika Italia bangga dengan Fiesta de la Musica-nya, Paris bangga sebagai Kota Mode, maka Jawa memiliki penari-penari yang anggun dengan gerakan yang sarat makna. Saya ingat dengan Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemo Wardhani yang menari di hadapan ratu Wilhelmina yang mana tarian tersebut dipersembahkan sebagai kado pernikahan anak Ratu Wilhelmina, Putri Juliana dengan Pangeran Bernhard di tahun 1936. Saya teringat dengan cerita-cerita lama tanah Jawa yang mengisahkan kepahlawanan (ksatria) atau dalam pewayangan. Bagaimana Sunan Kalijaga menyebarkan Islam yang dikemas dalam epik Mahabharata dan Ramayana. Saya teringat dengan kisah romantik Galeng dan Idayu, juga deretan nama lainnya yang mewakili Jawa sebagai tanah yang menjunjung tinggi kebudayaan.
Ingatlah, negara yang maju, negara yang makmur, negara yang berperadaban, adalah negara yang menghormati dan melestarikan kebudayaannya.
Salam Budaya,
(*)