Hai, Topers.
Setelah vakum cukup lama dalam jelajah budaya, kini kita bertemu lagi dalam tema ‘Tambo Alam Surambi Sungai Pagu’ dengan judul ‘Jelajah Makna Sarantau Sasurambi’ Namun sebelum itu, kita sama-sama berdoa semoga sahabat budaya selalu dalam keadaan sehat wal afiat, amin.
Hadirnya tulisan ini berawal dari keinginan pribadi untuk menjajak kembali sejarah kampung halaman yang barangkali bagi sebagian orang dianggap hanya sebatas masa lalu yang tak perlu diungkit-ungkit kembali. Kami mencoba untuk menyajikannya secara akurat berikut data-data yang telah terkumpul. Dengan bercermin kepada ‘Jelajah Budaya’ sebelumnya yang menuai kontroversi, kami tetap membuka pertanyaan dan masukan dari pembaca jika data yang kami terima kurang tepat.
Selasa lalu, (19/04/2022) saya berkunjung ke rumah salah seorang dosen sejarah di fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang untuk bersilaturahmi. Beliau, bapak Firdaus Dt. ST. Mamat menyambut kedatangan saya dengan hangat, hingga obrolan kami berlanjut ke tema sejarah, khususnya sejarah Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Beliau menunjukkan kepada saya perpustakaan pribadinya dan menyodorkan buku dengan judul ‘Alam Surambi Sungai Pagu, Iku Lareh Kapalo Rantau, Kapak Radai Luhak Nan Tigo‘ karangan Marsadis DT. ST. Mamat Puti Lenggogeni Rumah Panjang Sigintir bertanggal 7 Juli 1980 dan juga tulisan beliau dengan judul ‘History And Culture Of The Kingdom Of Alam Surambi Sungai Pagu, South Solok‘ dan beberapa buku kecil lainnya seperti peta lama Kabupaten Solok Selatan.
Lalu timbullah pertanyaan dalam diri pribadi mengapa sekarang tidak diulang lagi kaji lama itu? Mengapa tidak diadakan lagi napak tilas sejarah nenek moyang orang Solok Selatan itu? Saya pun berusaha untuk menghubungi Pemerintah Kabupaten untuk diberikan izin menuliskan sejarah lama tersebut, meminta akses ke tempat bersejarah, dinas kearsipan, pariwisata dan menemui orang-orang tuo, alhamdulillah keinginan pribadi tersebut terjawab sehingga saya dapat menuliskannya sekarang.
Jadi, mari kita let’s go!
Tanpa melebihkan kata mengagungkan moyang, terlebih dulu saya mohon izin untuk menyebut moyang dan cerita lama. Yang dalam Tambo Alam Surambi Sungai Pagu disebutkan sebagai:
Maaf kapado nan tuo–tuo,
Baiek nan ado maupun nan tiado,
Karano kito kan mambaco sajarah Nagari Kito, dan akan manyabuik dan mamaki namo niniak kito,
Asa usuanyo kito barado,
Ulu pusako nan kito warisi.
Kok umua baru satahun jaguang,
Kok darah baru satampuak pinang,
Pangalaman kurang dalam bagaua
Tolong tunjuak ajari nak tarang jalan ka muko
Konon, (kamu harus tahu bahwa penggunaan kata konon berarti dalam kondisi abu-abu atau belum jelas tanggal dan tahunnya. Hal ini juga memberatkan karena tradisi Minangkabau menitikberatkan kepada tradisi lisan, bukan tulisan) penghuni Solok Selatan sekarang dahulunya datang dalam tiga gelombang.
GELOMBANG PERTAMA
Gelombang pertama yang datang adalah orang-orang Mesir yang mencari wilayah baru (dalam keterangan Jamal Abdul Nasir, A.MA, Dt. Rajo Mantari yang berfungsi sebagai Camin Taruih di Alam Pauah Duo dari Suku Tigo Lareh menyebutkan hal tersebut diperkirakan sekitar 450 SM, wallahualam) Mereka adalah rombongan Inyiak Samiek dan Inyiak Similu Aie yang menyusuri hulu Batang Hari. Keduanya membawa sebuah kendi yang berisi air sungai Nil yang nanti akan ditimbang dengan air yang mereka jumpai. Jika air tersebut sama berat dengan air yang mereka bawa, maka tanah tersebut akan mereka bangun permukiman, namun jika tidak, mereka akan terus melanjutkan perjalanan.
Setelah lama berjalan, sampailah rombongan di muara dua buah sungai (Batang Bangko dan Batang Suliti), rombongan tersebut setelah bermufakat akan meneruskan perjalanan menelusuri Batang Suliti, hingga mereka bertemu dengan daerah berpasir halus dan indah, mereka menamakan daerah tersebut sebagai Pasir Talang (Pasia Talang).
Kedua inyiak tersebut lalu menimbang air Batang Suliti dengan air sungai Nil yang mereka bawa namun ternyata berat sebelah. Hal tersebut dinilai bahwa bukan daerah tersebut yang mereka cari. Perjalanan kembali dilanjutkan dengan kembali memutar ke dua muara sungai tadi, mereka menelusuri Batang Bangko terus ke atas dan pada satu kali mereka menangkap ikan di sana menggunakan Lakun/Lapun (tangguk ikan) sekaligus memberi nama daerah tersebut sebagai Muaro Banda Lakun.
Perjalanan kali ini membutuhkan lebih banyak energi karena daerah yang sangat rapat dengan tanaman, hutan lebat yang coba mereka tembus seakan tak berujung. Hal tersebut mereka ungkapkan sebagai:
Kayu gadang basilek banyie
Rotannyo bajalingke
Bakuangnyo basingguang daun
Lagi samak lagi samun
Hal tersebut mengungkapkan betapa susahnya membuat jalan ketika itu disebabkan hutan lebat yang begitu rapat, kayu-kayu besar yang menghalangi, juga tanaman rotan yang menjalar ke sana-kemari.
Hal ikhwalnya orang zaman dulu, jika membuka lahan atau tempat baru akan meninggalkan nama bagi tempat tersebut. Menurut Jamal Abdul Nasir, A.MA, Dt. Rajo Mantari hal inilah yang melatar belakangi nama tempat tersebut; Bangko, yang berasal dari kata lubang iko (lobang ini, artinya karena jalan yang dibuat dalam hutan rindang tersebut saking rapatnya membentuk sebuah lubang).
Lama berjalan, rombongan tersebut sampai di tepian sungai yang berlumpur, airnya tenang dan sedikit jarang tanaman merambat, mereka namakan tempat tersebut sebagai Pulakek, yang berasal dari kata lengket. Entah berapa lamanya rombongan tersebut melakukan perjalanan, tidak ada yang tahu. Bisa jadi berbulan-bulan, bisa jadi beberapa minggu saja. Namun dalam hal ini, yang lebih dicondongkan adalah muasal nama-nama daerah yang mereka jumpai tersebut yang sampai sekarang masih dipakai dan tak diubah sebaitpun.
Letih berjalan menyusuri sungai, rombongan tersebut berhenti di tepian anak sungai kecil dan menimbang air tersebut, yang ternyata sudah hampir sama berat. Hal tersebut tentu membuat mereka bersemangat, kabar baru tersebut seakan menjanjikan bahwa perjalanan mereka sudah hampir sampai. Rombongan tersebut kembali melanjutkan perjalanan, namun sebelum itu memberi nama sungai kecil tersebut dengan nama Batang Malinteh (kamu bisa mengecek nama-nama tersebut yang masih ada sampai sekarang di Solok Selatan).
Mempersingkat cerita, perjalanan dilanjutkan dengan lebih bersemangat, hingga pada sebuah tanah yang datar, gembur dan aliran sungainya yang cukup deras namun berlubuk, kedua inyiak tersebut kembali menimbang air dalam kendi yang mereka bawa, kali ini sudah sama berat. Maka diumumkanlah tempat tersebut bernama Ujung Jalan, artinya itulah tempat yang mereka cari, itulah ujung dari perjalanan panjang mereka. Maka dibangunlah pemukiman di daerah tersebut; kayu mulai ditebang, batang Bangko mulai dibuat pemandian, rumah tempat tinggal sederhana dan hal-hal lainnya yang dirasa perlu.
Inyiak tersebut lantas memberi nama tiga daerah baru yang mereka buka, yaitu: Taratak Paneh, Taratak Baru dan Taratak Bukareh, sedangkan kepada mereka disematkan nama Pauah Duo (sekarang menjadi salah satu nama Kecamatan di Kabupaten Solok Selatan) yang berarti inyiak yang berdua. Pauah dalam artian paruh yang akan menyelesaikan bulu yang kusut, artinya segala masalah yang ada dalam nagari harus diselesaikan oleh orang yang berdua tersebut.
Saat mengetahui semua ini, saya pribadi termenung cukup lama, ternyata begitulah orang dahulu dalam memberi nama, selalu punya sejarah dan filosofi. Terlepas dari cerita tersebut belum diuji kelayakan, namun saya percaya tuturan orang Minangkabau adalah tuturan terbaik yang pernah ada.
Selain itu, ada sumber lain yang saya temukan bahwa ketika inyiak Samilu Aie dan inyiak Samiek sampai di daerah Taratak Paneh, ternyata sudah ada yang menghuni daerah tersebut namun dari bangsa jin, mereka dinamakan si Tatok, si Taraan, si Anja dan si Pilian atau disebut juga Inyiek Garagasi, atau sama dengan Raksasa (juga diceritakan ayah saya saat usia saya lima tahun, tapi percayalah saya masih ingat ceritanya secara utuh) Saat itu terjadilah pertarungan yang sangat dahsyat antara dua golongan tersebut (jin dan manusia) yang akhirnya dikalahkan oleh Inyiek Sikok Simajolelo dan Inyiek Alang Palaba dari golongan Inyiak Samiek dan Inyiak Samilu Aie.
Karena murka, golongan Inyiak Garagasi mengancam akan menjadikan daerah tersebut kembali menjadi danau seperti purbakala. Mereka (raksasa tersebut) mengambil sebidang tanah di Taratak Paneh dan membawanya ke Ambayan, di sana tempat muara dua buah sungai (Batang Suliti dan Batang Bangko) yang melewati celah bukit batu. Namun karena kesiangan dan takut ketahuan oleh dubalang/pendekar golongan Inyiak Samiek dan Inyiak Samilu Aie, Inyiak Garagasi meninggalkan tanah tersebut begitu saja di daerah Koto Baru dan kemudian dinamakan sebagai Bukit Pematang (sampai sekarang masih ada, letaknya di dekat MAN 1 Solok Selatan).
Inyiek Garagaasi kemudian lari dari daerah tersebut ke arah Bukit Barisan, Si Anja dan si Taraan lari ke daerah Lubuk Gadang, sedangkan si Tatok lari ke laut, konon mati di pulau Carocok dan si Pilian lari sampai ke Aceh. Wallahualam, dunia begitu luas dengan segala misterinya.
Yang terpikir oleh saya ketika itu adalah benar, Muara Labuh adalah cekungan besar yang menyerupai kuali raksasa, bisa jadi zaman purbakala tanah seluas itu adalah sebuah danau. Jika kamu berkunjung ke bagian atas (Pekonina dan Pinang Awan) kamu akan melihat dengan jelas daerah Muara Labuh yang cekung seperti kuali.
Demikianlah gelombang pertama yang datang ke daerah tersebut, untuk gelombang kedua akan kita sambung di artikel selanjutnya. Jika ada tambahan silakan kita diskusikan di wa +62 822 8385 5009.
Salam Budaya,
(Haris)