SAWAHLUNTO – Selasa (5/4) dini hari, Gubernur Mahyeldi Ansharullah bersama Tim Safari Ramadan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat singgah sahur ke rumah keluarga A. Hariyanto di Air Keruh, Desa Durian II, Kec. Baringin, Kota Sawahlunto. Singgah Sahur kedua di bulan Puasa tahun ini.
Kediaman Hariyanto sederhana. Berlantai tak rata. Berdinding papan kayu tua yang dicat seadanya dan dipaku tak rapi, menyisakan banyak celah di sana-sini. Karena tak rapi, siapapun yang berdiri di luar rumah akan dengan mudah dapat mengintip ke dalam, dan jika tak hati-hati, kaki bisa terperosok dengan mudah di antara celah-celah lantai. Plafon tak jauh berbeda, anyaman bambu yang sudah robek di sudut-sudutnya.
Ada satu jam dinding tergantung di atas pintu yang sepertinya memberi jalan ke halaman belakang. Kedua jarumnya berhimpitan di angka 12 saat di jam tangan salah seorang bagian Tim Singgah Sahur menunjukkan pukul empat lewat sedikit. Mungkin baterainya soak, atau boleh jadi tak ada baterai sama sekali. Di bawah jam itu ada stiker bertuliskan ‘jangan kau menangis karena miskin.’
Di rumah sederhananya, Hariyanto hidup bersama istri; Bu Umres, anak perempuannya, tiga orang cucu perempuannya yang masih remaja; Tyas, Shangrila, dan Sonya, dan satu cucu laki-laki bernama Haris. Dini hari sebelum subuh itu, semuanya berkumpul di ruang tengah, yang mungkin juga adalah kamar tidur bersama, kecuali Tyas. Tyas, kata Eyang Utinya, Bu Umres, tidak mau ke luar dari kamar kecil di samping ruang tengah itu. Malu.
Kepada Gubernur Pak Hariyanto bercerita tentang rumah dan dirinya, “Ini rumah sudah sejak tahun 60an, Pak. Sudah ada sejak zaman nenek. Nenek saya itu dari Jawa. Maaf rumahnya begini, Pak. Maaf juga kami belum masak apa-apa buat sahur.”
Kepada Pak Hariyanto Gubernur menjawab dan bercerita tentang maksud kedatangannya dan rombongan, “Rumahnya tidak apa-apa begini, Pak. Memang kami sengaja mau ke rumah Bapak ini. (Menoleh ke arah Bu Umres) Tidak perlu masak juga, Bu. Ini kami sudah bawa makanan banyak. Kita sahur bareng-bareng di sini.”
Gubernur menambahkan, “Kami dari Pemprov sama Baznas. Sengaja datang tanpa memberitahu agar Bapak sekeluarga atau orang sekampung tidak sibuk menyiapkan ini-itu.”
“Ini Pak Gubernur lho, Bu. Gubernur Sumbar,” sahut entah siapa menimpali.
Obrolan antara Gubernur dan seluruh anggota keluarga pak Hariyanto, kecuali Tyas yang pemalu, terus berlangsung setelahnya. Bu Umres, misalnya, bercerita kalau kakinya yang sejak kedatangan Gubernur itu tidak pernah ditekuk sama sekali, telah lama sakit disebabkan oleh stroke yang dirasakan pertama kali sekitar 2017 lalu. Shangrila yang kelak ingin jadi dokter dengan bangga bercerita bahwa ia adalah siswi MAN dan telah hafal 3 Juz Quran. Sonya juga punya cita-cita sama, ingin jadi dokter.
“Biar bisa sembuhin Eyang Uti,” katanya. Mulia.
Haris, bocah laki-laki yang sejak tadi tak berhenti mengunyah, lain lagi, dia mau jadi polisi.
“Wah, kalau mau jadi polisi, makan harus banyak, Ris. Harus nambah,” timpal Gubernur sambil sodorkan jeruk manis ke Haris.
Pak Hariyanto sendiri cerita kalau ia adalah seorang petani coklat. Ia tidak menjelaskan apakah ia punya lahan kebun sendiri atau bekerja di ladang orang. Betapapun, kini ia lumayan senang karena harga coklat Rp25 ribu perkilogram.
“Lagi naik ini sekarang, Pak. Biasanya 20 ribu sekilo,” ulasnya.
Gubernur lalu lempar pandangan ke anak Pak Hariyanto, yang sebelumnya disebut tulang punggung keluarga oleh Bapak dan Ibunya. “Kalau kamu, kegiatannya apa sekarang?” tanya Gubernur.
Ibu dari Tyas, Shangrila, Sonya, dan Haris itu lalu menerangkan, Ia jual kue lapis aci dan kue bolu buatan sendiri di pasar dekat rumah. Katanya, dulu sebelum pandemi bisa laku 50 sampai 60 kue sehari. Setelah pandemi, sayangnya, jual 10 saja sulit.
“Wah, kue lapis aci itu camilan kesukaan saya waktu kecil,” kenang Gubernur.
Gubernur lalu bertanya tentang Tyas ke Eyang Utinya. Kata Bu Umres, Tyas tamat SMEA sudah tiga tahun tapi tidak lanjut kuliah karena tidak ada duitnya.
Obrolan antara Gubernur dan seluruh anggota keluarga Pak Hariyanto, kecuali Tyas yang, kata Haris, ternyata tertidur alih-alih malu, hampir sampai di ujungnya ketika semua rombongan Tim Singgah Sahur dan keluarga Pak Hariyanto selesai menikmati santapan sahurnya masing-masing.
Menutup Singgah Sahur kali ini, Gubernur sembari tepuk kecil bahu Haris berpesan, “Ayo Ris kamu makan, biar kuat bantu ibunya nanti bikin kue lebaran. Karena nanti banyak yang mau pesan waktu lebaran itu. (Lalu mengusap kepala Shangrila) Kakak sekarang kelas 2 MAN IPA, kan? Dapat juara terus kata Eyang. Coba ditingkatkan hafalan qurannya. Kalau hafal 20 juz, bisa masuk kedokteran. Insyaallaah lulus kedokteran bisa dibantu Baznas atau beasiswa kita (Pemprov) juga bisa. Rajin-rajin saja belajar Shangrila sama Sonya. Biar jadi dokter, bisa obatin mbah. Nanti Haris yang jagain kakak-kakak sama mbahnya. Siapa yang berani ganggu, ndak bakal ada, kan nanti Haris jadi polisi.”
Semua di ruangan senyum. Haris malu. Sembunyi dibalik kakaknya.
Gubernur lalu secara tersirat utarakan maksudnya untuk membantu merehabilitasi kediaman Pak Hariyanto yang sederhana itu.
“Kan tidak apa-apa yang Pak kalau ini (tengadah tatap plafon dan pegang salah satu tiang penyangga rumah) kita bangun kan, Pak? Boleh kan sama PT Bukit Asam?” Tanya Gubernur.
Pak Hariyanto tak menjawab. Hanya senyum tipis dan lihat-lihatan sama Eyang Uti. Entah apa artinya itu.
Singgah Sahur Selasa pagi itu lalu paripurna dengan diserahkannya bantuan Baznas sebesar Rp25 juta untuk keluarga Hariyanto oleh Gubernur. “Kalau nanti mau sambung kuliah atau ikut kursus keterampilan, tidak apa-apa nanti melapor saja sama saya, ya? Semangat sekolah ya Sonya, Haris, Shangrila?” Pungkas Gubernur.