Salah-satu sebab kecintaan saya di bidang kebudayaan selain menjaga tradisi dan sejarah leluhur adalah orang-orang penggiat kebudayaan yang selalu ramah jika bertemu orang baru, murah memaparkan sejarah, dan selalu mengajak diskusi. Hari ini, Minggu, (24/04/2022) saya berkunjung ke Sungai Asam untuk memenuhi undangan Bincang Karya Sendratari Pahatan Abadi Rasuna Said. Jujur saja, saya belum pernah bertemu sekalipun dengan pimpinan Sanggar Umbuik Mudo, Bundo Dewi Wisanti, kebetulan saja beberapa bulan yang lalu kami berkenalan di dunia maya karena sama-sama membahas pahlawan Minangkabau tersebut, Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Dalam gerimis sore di penghujung bulan April, saya terlambat datang, Bundo menerima kedatangan saya dengan ramah, menanyakan kesibukan saya akhir-akhir ini dan kami sama-sama menyaksikan pemutaran karya Sendratari Pahatan Abadi Rasuna Said.
Ingatan saya terbang ke tahun 2017 lalu di galeri Indonesia Kaya, di mana pernah ditampilkan monolog: Singa Betina karya Wawan Sofyan. Tak ayal, kisah hidup pahlawan nasional yang lahir tahun 1910 di Maninjau ini sudah cukup sering bersinggungan dengan saya.
Selain memupuk semangat anak muda Minangkabau, kehadiran sendratari Rasuna Said ini juga sebagai wujud napak tilas perempuan spektakuler Minangkabau pada era penjajahan dan era setelah merdeka. Rasuna Said yang dikenal sebagai singa podium seakan tak ada yang bisa menghentikannya, bahkan PID (polisi intelijen Belanda) harus kewalahan menghadapinya.
Dalam karya tersebut lebih ditonjolkan bagaimana perjuangan dan gejolak batin yang dirasakan oleh Rasuna Said, harus memilih berjuang untuk negerinya atau tinggal di rumah sebagai seorang ibu yang asih terhadap anaknya. Sementara suaminya, Duski Samad, adalah pria yang pengertian, dia memberikan kebebasan terhadap Rasuna untuk mengorbankan dirinya dalam perjuangan.
Menyaksikannya, saya seolah tersedot ke dalam zaman di mana gejolak perjuangan masih berkibar indah. Di mana perempuan-perempuan Minangkabau yang sepemikiran dengan Rasuna memperjuangkan haknya. Layaknya RA Kartini, Rasuna Said adalah pelopor kesetaraan, singa podium yang sangat ditakuti Belanda.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, bapak Syaifullah, yang juga turut hadir dalam acara tersebut sangat mengapresiasi karya anak negeri dalam seni sendratari. Senada dengan kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) bapak Unri, dan beberapa seniman lainnya yang hadir seperti Joni Andara, koreografer, dan Kamal Guci, budayawan, seniman senior Minangkabau.
Setelah bincang karya tersebut acara dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama, lalu shalat maghrib berjama’ah.
Sementara di luar, rinai terus berjatuhan.
(Haris)