Link Bagian I (https://www.topsumbar.co.id/berdirinya-alam-surambi-sungai-pagu-hingga-masa-empat-raja-bagian-i/)
Hai, Topers.
Ini adalah bagian kedua dari seri Berdirinya Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Setelah kemarin kita menelusuri hingga raja ketiga kerajaan tersebut, kini kita sampai pada masa kekosongan pemerintahan di Alam Surambi Sungai Pagu yang terjadi kira-kira sekitar tahun 1700-an atau pada abad ke-18 M.
Tapi sebelum itu, gimana nih kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu, ya. Tetaplah jaga kesehatan karena sebentar lagi akan lebaran. Hayo yang udah mulai bikin kue lebaran acungkan tangannya. Jangan lupa saling memaafkan di hari yang fitrah nanti ya.
Pada bagian pertama, kita sudah memaparkan tentang pembentukan pertama dari kerajaan ini, bagaimana kondisi alam, kondisi tempat tinggal, tempat peribadatan hingga pada masa raja yang ketiga, Inyiak Parendangan dengan gelar Bagombak Putiah Bajangguik Merah. Sekarang seperti yang sudah sedikit dibocorkan tentang kekosongan daulat di Alam Surambi Sungai Pagu, didapatlah kesimpulan ketika itu untuk meminta raja ke Pagaruyung.
Sebelumnya perlu digarisbawahi bahwa diksi meminta di sini bukanlah dapat diartikan secara lugas, namun meminta di sini maksudnya adalah memilih di antara raja utusan yang berempat dari masing-masing suku di Alam Surambi Subgai Pagu, yaitu Kampai, Melayu, Panai dan Tigo Lareh untuk dijadikan pengganti Inyiak Parendangan yang memegang tampuk kekuasaan.
Setelah dicari hari yang baik ditimbang tanggal yang cocok, berangkatlah empat orang utusan dari masing-masing suku tersebut ke Pagaruyung. Pada tahun tersebut, saya tidak atau belum menemukan siapa yang memegang tampuk kekuasaan di Pagaruyung. Saya sudah mengecek ranji raja-raja dan juga beberapa tambo namun belum menemukannya secara pasti. Dalam tulisan Punago Rimbun yang ditulis oleh Uda Zera Permana juga tidak disebutkan siapa yang sedang bertitah. Hal ini justru membuat saya penasaran, sebab tahun 1520 telah terjadi peperangan di Pagaruyung yang kemudian mengakibatkan pengungsian oleh Mande Rubiah ke daerah Lunang. Pada abad ke-16 saya juga menemukan catatan bahwa Pagaruyung sedang dalam masa kekosongan pemerintahan. Barangkali saja pada abad ke-17, ketika kisah empat raja ini ada, Pagaruyung sudah kembali dijabat oleh raja yang adil.
Untuk alur cerita sendiri terdapat sedikit perbedaan. Saya akan paparkan terlebih dahulu kisah yang bersumber dari buku Silsilah Kampung Dalam, Pasir Talang, Alam Surambi Sungai Pagu oleh Puti Lelo Jati dan buku Schema Alam Surambi Sungai Pagu karangan Marsalis bertanggal 9 April 1972 berikut Tambo Sutan Ali sebelum kita jejak alur kedua dari Tambo ‘Alam Surambi Sungai Pagu, Iku Lareh Kapalo Rantau, Kapak Radai Luhak Nan Tigo’ karangan Marsadis DT. ST. Mamat Puti Lenggogeni Rumah Panjang Sigintir bertanggal 7 Juli 1980.
Jadi, yuk kita let’s go!
Menurut sumber pertama yang sudah kita sebutkan, perjalanan dari Alam Surambi Sungai Pagu hanya diikuti oleh tiga orang saja berikut beberapa orang dubalang sebagai penjaga. Mereka mulai menyisiri wilayah ujung Sungai Pagu dan terus ke arah Kayu Aro, lalu ke Kubuang Tigo Baleh (Kubung Tiga Belas). Saat sampai di Kubung Tiga Belas inilah ikut seorang anak kecil (remaja kira-kura usia dua puluh tahun) namun dalam buku disebutkan anak kecil, mungkin karena standar kedewasaan yang berbeda ketika itu.
Perjalanan dilanjutkan hingga sampailah ke Kerajaan Pagaruyung dengan tanpa hambatan yang begitu berarti. Bertitahlah daulat Pagaruyung ketika itu setelah menjamu para tamunya yang datang.
“Apakah maksud tuan-tuan sekalian datang ke mari?”
Maka dicuraikanlah cerita dengan sebenar-benarnya bahwa tampuk kekuasaan di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu tengah kosong, tersebab secara alur asal-muasalnya mereka datang dari Pagaruyung, ketiganya meminta agar daulat Pagaruyung menentukan pilihan yang akan menjadi raja berikutnya di antara utusan yang bertiga tersebut.
Setelah berembuk, dikeluarkanlah sebuah mangkuto Kuala Qamar (mahkota Kuala Qamar) yang terkenal memiliki kekuatan gaib lagi keramat. Disuruhlah ketiga utusan tadi untuk mengangkat mahkota tersebut dan meletakkannya di atas kepala. Utusan pertama yang berasal dari suku Kampai berhasil mengangkat mahkota tersebut namun tidak terletak dengan baik di atas kepala. Utusan kedua dari suku Tigo Lareh hanya berhasil mengangkatnya sampai pinggang. Sementara utusan terakhir yang berasal dari suku Panai hanya terangkat hingga sejengkal saja.
Melihat kenyataan tersebut, tak ada di antara mereka yang berhak menjadi pucuk pimpinan di wilayah Alam Surambi Sungai Pagu. Tetua Pagaruyung pun menanyakan apakah tidak ada lagi yang datang bersama rombongan mereka? Maka menjawablah ketiganya saat sampai di Kubung Tiga Belas ada seorang anak kecil yang ikut dalam rombongan, kalaupun itu dapat diperhitungkan.
“Panggillah dia kemari segera,” titah nan tuo di Pagaruyung.
Alam bersinar dengan misterinya, bumi terhampar dengan pesonanya, mahkota tersebut mudah saja terangkat oleh anak kecil tersebut, membuat segala yang hadir menjadi tercengang sekaligus takjub.
Melihat hal tersebut, ditasbihkanlah anak kecil itu menjadi raja di Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, beliaulah Inyiak Samsudin Sadewano, Nan Bagombak Putiah Bajangguik Merah bersuku Melayu, yang hingga sekarang potongan rambut beliau masih di simpan dalam rumah gadang Suku Melayu Kampuang Dalam di Janjang Kambing.
Lalu menitah lagi ketika itu yang dipertuan raja Alam Pagaruyung, “Kalian akan menjadi raja keempatnya. Pucuk pimpinan Kampai yang berhasil mengangkat mahkota akan bergelar Yang Dipetuan Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Sungai Pagu, memegang Tambo Adat. Yang mengangkat mahkota hingga pinggang pucuk pimpinan Tigo Lareh akan bergelar Yang Dipertuan Tuanku Rajo Malenggang Raja Ampang Limo, sebagai penegak hukum. Yang terakhir utusan suku Panai akan bergelar Yang Dipertuan Tuanku Rajo Batuah, sebagai raja ibadat. Sementara Samsudin Sadewano akan menjadi Raja Alam Daulat Yang Dipertuan Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah, Nan Bagombak Putiah Bajangguik Merah.”
Setelah penitahan tersebut, keempat raja pulang kembali ke Alam Surambi Sungai Pagu. Harap masalah akan selesai, rupanya di sinilah awal musim buruk berkepanjangan terjadi.
Saat sampai di pertengahan jalan (ada yang mengatakan sampai Bukik Barisan, namun ada juga yang menyebutkan daerah lain seperti bukit Punggung Lading dan lainnya. Namun begitu pastinya sebelum keempat raja tersebut sampai di Sungai Pagu) berkatalah salah satu dari utusan yang tiga tadi, “Apa mungkin kita akan mengambil raja Alam seorang anak kecil, bahkan anak kecil yang datang di tengah perjalanan?”
Menimbang hal tersebut, percakapan mereka terdengar oleh Inyiak Samsudin Sadewano, beliau lalu menyingkirkan diri dan tidak ikut pulang ke Sungai Pagu. Mengingat bahwa seandainya tetap ikut, pasti akan timbul sengketa karena dia bukanlah siapa-siapa, umur pun belum sampai untuk menyandang gelar raja. Beliau lantas menyingkir hingga sampai ke Amping Parak (daerah Kabupaten Pesisir Selatan sekarang) dan di sana karena kabar sudah tersiar sementara Amping Parak masuk ke dalam wilayah rantaunya Alam Surambi Sungai Pagu, beliau dimuliakan dan disambut dengan hormat.
Sementara di daerah pusat Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, sepulangnya raja yang bertiga tadi, musim paceklik datang tanpa ampun. Yang dalam tambo diibaratkan sebagai :
Salamo tigo tahun nantun, padi indak pernah manjadi, ayam indak namuah bakukuak, buruang indak namuah bakicau, taranak indak namuah bakambang, samantaro nan bagak nan bakuaso, banyaklah rampok sarato bancano, hujan anggan andak turun, nagari garsang bakapanjangan.
Maka berembuklah kembali ninik-mamak yang ada di pusat kerajaan, mengutarakan pikirannya masing-masing. Telah nyata silap diperbuat, telah terang salah dilakukan. Maka tersadar ketika itu bahwa mereka telah membuang raja Alam yang sah, yang telah ditasbihkan di Pagaruyung.
Beberapa hari kemudian diutuslah Sutan Rajo Mamat untuk menjemput raja ke Amping Parak, arak-arakan ramai ketika itu raja pulang ke singgasananya di Alam Surambi Sungai Pagu tempatnya didaulat.
Di tengah perjalanan pulang ke Sungai Pagu, Sutan Rajo Mamat meninggal. Inyiak Samsudin Sadewano bertekad akan memberikan kebijaksanaannya dengan menikahi anak Sutan Mamat. Sejak itulah muncul istilah nan naiak ateh jambangan. Sementara orang-orang dari Amping Parak yang ikut mengantarkan rajanya ke Sungai Pagu membawa pangek bada dan gulai kacang sebagai hantaran. Itulah asal-muasalnya pangek bada dan gulai kacang di Solok Selatan sekarang.
Setelah Inyiak Samsudin Sadewano menjabat, negeri Alam Surambi Sungai Pagu pun menjadi alam yang makmur, aman sentosa. Segala kemajuan gilang-gemilang yang sudah ada sebelumnya kembali tercapai. Tanah kembali subur, air kembali mengalir, pelabuhan jalan dengan sentosanya, yang dalam tambo dikatakan sebagai :
Padi manjadi,
Jaguang maupieh,
taranak bakambang
masyarakat aman sentoso, karena …
Rajo nan Barampek duduak basamo,
saiyo sakato untuk memimpin Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.
saciok bak ayam,
sadanciang bak basi,
kahilia sahantak galah,
kamudiak sarangkuah dayuang,
saiyo, satido,
saraso sapareso,
sahino samalu.
Sekarang kita bahas pula menurut sumber kedua kita yang sedikit berbeda. Yaitu menurut buku ‘Alam Surambi Sungai Pagu, Iku Lareh Kapalo Rantau, Kapak Radai Luhak Nan Tigo’ karangan Marsadis DT. ST. Mamat Puti Lenggogeni Rumah Panjang Sigintir bertanggal 7 Juli 1980. Di sana dituliskan bahwa sejak awal mereka pergi ke Pagaruyung sudah lengkap empat orang, tidak ada tambahan lainnya selama di perjalanan seperti yang diterangkan di atas. Hal tersebut merujuk pada tambo lama yang mengatakan :
Banamo Kampuang Banuaran, yaitu Kampuang nan Tatuo dalam Alam Surambi Sungai Pagu, kedudukan Daulat maso dahulu, mulo mandapek di Kualo Banda Lakun, datang dari hilir Batang Hari nan mamudiakkan Batang Bangko,
Banuaran Kotonyo Tuo,
tampek Inyiak Syamsudin Sadewono,
kebesaran tidak dijago alamat hancua kasudahannyo,
nan tuo Puti Lipur Jajak, Babungka Ameh duo baleh tail,
pandai batenggang di nan tidak wakatu lapang jaan jaie.
Tapi apapun itu, perbedaan yang timbul hanya sedikit saja. Ujungnya tetap bermuara ke asal-muasal lahirnya istilah yang sampai sekarang masih di pakai di Kabupaten Solok Selatan, yaitu Sarantau Sasurambi. Maksudnya adalah Solok Selatan sebagai serambi bagi rantau Pesisir Selatan. Jika orang Pesisir Selatan pergi ke Solok Selatan maka disebut sebagai pulang kampung.
Demikianlah kisahnya Alam Surambi Sungai Pagu dengan empat orang rajanya. Hingga kini, jika kamu berkunjung ke Solok Selatan, tempat-tempat bersejarah tersebut masih terawat dengan baik dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kamu bisa berkunjung ke Istano Rajo Bagindo di Balun, di sana tersimpan naskah Balun yang sudah ada sejak abad ke-15, membahas hubungan Alam Surambi Sungai Pagu dengan Pagaruyung yang saat ini dijaga oleh keturunan ke-16 dari Rajo Bagindo, yaitu Puti Ros Dewi Balun. Juga tiga istana lainnya yang letaknya tidak jauh dari masjid 60 kurang aso.
Sebenarnya saya ingin tulisan ini lebih panjang lagi mengenai keistimewaan masing-masing istana tersebut, tapi setelah dipikir mungkin sebaiknya dipisahkan saja dengan judul yang baru. Terima kasih, terus tunggu update kisah terbaru dari petualangan Jelajah Solok Selatan ya.
Salam budaya,
(Haris)