Penulis : Adpi Gunawan
Penyuluh Pertanian Muda
Banyak orang berharap (terutama insan pertanian) dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan akan membuat penyuluhan kita di republik ini akan berjaya, belum sempat kejayaan itu datang, tiba-tiba lahir pula Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bagaimana tidak, baru sewindu umur UU Nomor 16/2006 tentang SP3K, pada 30 September 2014 (20 hari sebelum Ir. Joko Widodo dilantik menjadi Presiden) ditetapkanlah UU Nomor 14/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang beberapa pasal dan ayat didalamnya boleh dikatakan mengandung kontradiksi dengan UU Nomor 16/2006 tentang SP3K.
Sebut saja mengenai kelembagaan, jika pada UU Nomor 16/2006 tentang SP3K kelembagaan penyuluh adalah Bakorluh (Badan Koordinasi Penyuluhan) di tingkat propinsi, Bapeluh (Badan Pelaksana Penyuluhan) di tingkat kabupaten, serta BPK (Balai Penyuluhan Kecamatan) di tingkat kecamatan.
Sementara pada UU Nomor 14/2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pembagian urusan penyuluhan kehutanan secara tegas dikelola oleh nasional serta propinsi (halaman 433), dan pembagian urusan penyuluhan perikanan malah lebih rinci lagi menjadi wewenang nasional baik itu menyangkut penyelenggaraan, akreditasi, lengkap dengan sertifikasinya (halaman 420).
Namun penyuluhan pertanian nasibnya agak berbeda dibandingkan dua saudara seprofesinya tersebut diatas, dalam UU Nomor 14/2014 tentang Pemerintahan Daerah ini, dari 7 sub urusan pemerintahan di bidang pertanian (halaman 423-428), ternyata tak satupun yang menyinggung-nyinggung mengenai penyuluhan pertanian.
Banyak penyuluh pertanian yang galau, bahkan Komisi Penyuluhan pun tak dapat banyak cakap, berbagai seminar digelar di berbagai kota, akademisi hingga praktisi kebakaran jenggot. Intinya adalah eksistensi penyuluhan pertanian harus dikembalikan.
Belum Dicabut, Tapi Disfungsi
Bagai kerakap tumbuh dibatu, kira-kira demikian perumpamaan mengenai UU Nomor 16/2006 tentang SP3K. Undang-undang ini tak pernah dicabut, namun tak bisa juga dijalankan lagi alias mogok, tak bisa didorong maupun dihela. Kelembagaan, ketenagaan, dan pembiayaannya sudah berpencar-pencar.
Kemudian lahirlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 12 tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan Klasifikasi Cabang Dinas dan UPTD yang sedikit mengakomodir kejelasan kelembagaan penyuluhan pertanian.
BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) masih eksis hingga kini itu adalah salahsatu berkat adanya Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 03/KPTS/SM.200/I/05/2019 tentang Pengelolaan Balai Penyuluhan Pertanian.
Pertanian Penyelamat Kala Pandemi
Hasil penelitian The Economist Inteligence Unit (EIU) mengenai sektor usaha yang terdampak krisis ekonomi akibat pandemi covid-19, sektor pertanian terbukti terkena dampak paling kecil dibandingkan sektor lain. Hal ini terjadi karena dampak dari pembatasan sosial relatif minimal pada sektor pertanian, walaupun masih ada risiko dari disrupsi rantai penawaran (supply chain) dan terpuruknya permintaan ( antaranews.com 24 Maret 2021 ).
Selain itu, sejarah krisis di Indonesia, misalnya krisis moneter 1997-1998 juga menyisakan catatan relatif bertahannya sektor pertanian dan bahkan menampung kembali tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di perkotaan.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), penjualan benih dan pot mengalami peningkatan sebesar 10 kali lipat dari 100 ribu unit dimasa sebelum pandemi covid-19 menjadi 1,1 juta unit selama pandemi. Nampaknya peran sektor pertanian sebagai faktor penyangga (buffer sector) dimasa krisis terulang kembali pada resesi dunia dan pandemi covid-19 seperti yang berlangsung saat ini.
Lahirnya Perpres Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian
Pada hari Selasa (15/3) saya menerima pesan whatsapp melalui grup dari seorang pejabat yang membidangi penyuluhan, isinya adalah tentang salinan lengkap Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Penyuluhan Pertanian. Entah kenapa saya sampai tidak mengetahui tentang telah lahirnya Perpres tersebut pada 4 Maret 2022 lalu, bahkan isu akan diterbitkannya Perpres pun sampai tak pernah terendus selama ini.
Hal ini berbeda jauh ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor: 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, hampir seluruh media cetak dan elektronik nasional memberitakannya. Demikian pula ketika terbitnya Keputusan Presiden Nomor: 7/M/2022 tentang Pengangkatan Kepala Badan Pangan Nasional, hampir seluruh media cetak dan elektronik nasional memberitakannya, sehingga saya pun mengetahuinya.
Tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan ketidaktahuan saya terhadap terbitnya Perpres Nomor: 35 tahun 2022 tentang Penguatan Penyuluhan Pertanian ini. Permasalahannya hanyalah bahwa media massa lebih tertarik untuk memberitakan tentang Badan Pangan Nasional ketimbang Penyuluhan Pertanian, meskipun sama-sama didasari oleh Perpres.
Kemudian pada Rabu (16/3) seorang sahabat saya yang juga lulusan terbaik di STPP Medan pada 2010 sekaligus Penyuluh Teladan tingkat Sumbar berturut-turut 2018 dan 2019 mengabari saya, bahwasanya saat ini hanya Kabupaten Sijunjung yang menganggarkan biaya operasional BPP Langsung berubah posisi duduk saya membaca pesan yang disampaikan melalui grup WA tersebut. Bagaimana tidak, belum diterbitkan Perpres saja kita sudah eksis, dengan adanya Perpres tentu akan kian eksis nantinya.
Entah suatu kebetulan atau bagaimana sepertinya nomor 35 terlanjur identik dengan penyuluhan pertanian. Tengoklah Permenpan RB Nomor 35 tahun 2020 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian, sebelumnya juga sudah ada Permentan Nomor 35 tahun 2009 tentang Juknis Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian dan Angka Kreditnya. Sekarang terbit pula Perpres Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian. Biar sajalah berapapun nomornya, karena bukan itu yang terpenting. Tetapi setidaknya kita jadi mudah mengingat kalau sudah disebut orang nomor 35, berati itu menyangkut nasib Penyuluh Pertanian.
Kita tak tahu juga, semangat apa yang membuat pemerintah pada 4 Maret 2022 lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor: 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian. Apakah selama ini fungsi penyuluhan pertanian dianggap lemah sehingga perlu penguatan? barangkali iya.
Atau jangan-jangan pandemi covid-19 yang telah meluluhlantakkan berbagai sektor perekonomian, namun sektor pertanian malah menjadi penyelamat ekonomi bangsa. Mungkin saja hal inilah menjadi berkah sehingga pemerintah kian sayang pada penyuluhan pertanian ? kita pun tak tahu juga.
Mencermati daripada semangat dasar atau ruh dilahirkannya Perpres Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan yang tergambar pada kalimat pembukanya adalah untuk meningkatkan ketersediaan, akses, dan kualitas konsumsi pangan diperlukan upaya strategis peningkatan produksi dan produktivitas, pengaturan distribusi, serta keamanan dan kualitas pangan yang memiliki nilai tambah dan daya saing.
Upaya untuk mewujudkan tercapainya cita-cita tersebut membutuhkan penguatan sumber daya manusia pertanian dan penerapan inovasi teknologi pertanian tepat guna, efektif, dan efisien dilakukan melalui penyuluhan pertanian yang berfungsi memberikan dukungan kuat dalam pencapaian ketahanan pangan nasional.
Belajar dari UU Nomor 16 tahun 2006 tentang SP3K yang nyata-nyata menyatakan bahwa kelembagaan penyuluhan pemerintah sebagaimana tertuang melalui Pasal 8 terdiri atas Bakorluh (Badan Koordinasi Penyuluhan) di tingkat propinsi, serta Bapeluh (Badan Pelaksana Penyuluhan) di tingkat kabupaten. Implementasinya di lapangan tidaklah demikian, tidak semua propinsi di Indonesia membentuk Bakorluh, dan tidak semua kabupaten/kota di Sumbar yang membentuk Bapeluh termasuk kabupaten/kota lainnya di Indonesia.
Perpres Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian ini mengatur mengenai kebijakan 6 hal pokok sebagaimana tertuang pada Pasal 2, antara lain:
1. Penguatan hubungan kerja,
2. Penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian kecamatan dan desa,
3. Penyediaan dan peningkatan kapasitas ketenagaan penyuluh,
4. Materi penyuluhan pertanian,
5. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dan
6. Jaminan ketersediaan prasarana dan sarana.
Apa Kabar Posluhdes ?
Dalam berbagai diskusi dengan pemerintahan nagari selama satu dekade terakhir, katakanlah demikian, tatkala kita menyinggung mengenai keberadaan Posluhdes (Pos Penyuluhan Desa) jika kita sudah membicarakan angko-angko alias anggaran maka sering terbentur pada regulasi. Pemerintahan nagari, baik Wali Nagari maupun BPN selalu mengaitkan aturan yang akan menjadi payung sebagai pelindung dalam menganggarkan sesuatunya menyangkut baik itu Poskesri, Posyandu, Pos Kamling, maupun Posluhdes.
Dengan adanya Perpres Nomor 35 tahun 2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian maka kebuntuan tersebut telah dijawab pada Pasal 13 yang mengatakan Posluhdes ditetapkan oleh kepala desa/lurah dan diketahui oleh camat dan bupati/walikota.
Kedepan tidak ada lagi keraguan wali nagari/kepala desa/lurah sebagai pemerintahan terendah di Sumatera Barat sekaligus pemilik anggaran dana desa terhadap penumbuhan dan pemberdayaan Posluhdes karena regulasinya telah jelas.
Pemberdayaan Posluhdes antara lain melalui: pengembangan Penyuluh Swadaya, penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, serta pendampingan oleh BPP. Dalam hal ini Wali Nagari/kepala desa/lurah kebagian tugas yaitu penetapan Posluhdes, kelengkapan sarana prasarana penyuluhan pertanian (baik itu metode, media, maupun alat bantu), dan pengembangan Penyuluh Swadaya.
*) Penulis berdomisili di Kabupaten Sijunjung