Oleh Kolaborasi: Yang Junchu dan Muhammad Irsyad
Matriarki, sebuah kata yang jarang didengar oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena mayoritas suku dan bangsa di dunia menganut sistem patriarki. Dalam sistem patriarki, lelaki merupakan pemimpin dan pemegang otoritas dalam segala aspek kehidupan.
Kebalikan dari patriarki, matriarki adalah sebuah sistem sosial dimana wanita sebagai pemegang otoritas utama dalam kehidupan. Baik itu keluarga, sosial, dan politik. Kelompok masyarakat matriarki biasanya menganut garis keturunan ibu atau matrilineal.
Matriarki dan matrilineal merupakan dua hal yang berbeda. Matriarki merupakan sebuah sistem sosial yang dikuasai oleh wanita, sedangkan matrilineal adalah sebuah sistem keturunan berdasarkan garis keturunan ibu.
Di indonesia terdapat beberapa suku yang dikenal menganut sistem matrilineal seperti suku Sakai, Aneuk Jamee, Petalangan, Enggano, dan yang paling terkenal adalah Minangkabau.
Suku Minangkabau merupakan suku semi-matriarki yang menganut matrilineal. Dalam kehidupan keluarga dan sosial, posisi seorang wanita sangat dihargai dan dijunjung tinggi. Namun karena tidak sepenuhnya matriarki, pria pada kehidupan sosial masyarakat Minangkabau masih memiliki peranan penting. Seorang pria ditunjuk sebagai pemimpin adat, pemimpin agama, dan pimpinan politik.
Mosuo, adalah sebuah suku berdiam di pinggiran danau Lugu, kawasan Yongning, Yanyuan, provinsi Yunnan dan Sichuan, dekat dengan Provinsi Tibet. Desa ini dikenal sebagai “kerajaan wanita” atau tempat matriarki terakhir di China. Mereka tetap bertahan dengan nilai matriarki disaat dunia dikuasai oleh nilai patriarki.
Di dalam masyarakat Mosuo, wanita berperan sebagai kepala keluarga, pekerja, dan sekaligus ibu rumah tangga. Wanita Mosuo bekerja mengurus rumah, mengumpulkan kayu bakar, memberi makan ternak, membuat baju, dan mencari nafkah.
Setiap anggota keluarga wanita diwajibkan untuk menghasilkan uang dan memiliki pekerjaan. Wanita memiliki otoritas tertinggi di dalam masyarakat Mosuo. Setiap keputusan harus diambil oleh wanita tertua atau ah mi di dalam sebuah keluarga.
Seorang ah mi memiliki kunci gudang sebagai bentuk tanda bahwa dialah orang yang memiliki otoritas tertinggi. Ketika seorang ah mi ingin memberikan otoritasnya kepada penerus lain, ia akan menyerahkan kunci gudang ini kepada penerus tersebut sebagai tanda penyerahan hak kepemilikan dan tanggung jawab akan harta.
Para pria Mosuo tidak memiliki tanggung jawab besar di dalam kehidupan masyarakat Mosuo. Mereka tidak diwajibkan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Tanggung jawab finansial bukan kewajiban dari seorang pria, bahkan mereka tidak diwajibkan untuk memberi dukungan finansial kepada anak kandung mereka sendiri.
Tanggung jawab utama pria Mosuo adalah membantu membesarkan anak saudara wanita. Sebagai seorang paman, merekalah yang bertugas untuk mendidik anak dari saudara wanita. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab untuk membantu keluarga dalam pekerjaan kasar, seperti bekerja membajak lahan, membangun rumah, mengurus ternak, dan memancing.
Rumah keluarga Mosuo terdiri dari beberapa generasi, dari buyut sampai ke cicit. Tidak ada orang asing selain garis keturunan keluarga tersebut. Mereka tinggal dalam satu atap tanpa memiliki kamar pribadi, kecuali untuk anak wanita.
Seorang anak wanita dianggap dewasa jika telah beranjak ke usia 13 tahun. Pria yang ada di dalam sebuah rumah merupakan anak atau saudara. Masyarakat Mosuo tidak mengenal konsep pernikahan dan perceraian.
Tidak ada suami istri yang tinggal dalam satu atap seperti halnya pernikahan pada umumnya. Nilai yang sudah dibangun lebih dari 2000 tahun ini melekat erat kepada setiap individu yang tergabung di dalam masyarakat ini.
Matriarki menjadi faktor utama adanya perbedaan nilai yang di anut masyarakat Mosou. Selain menjadi pengambil kebijakan absolut, otoritas para wanita ini memberikan mereka hak untuk memilihi siapa yang akan menjadi “partner” mereka.
Inilah kenapa setiap anak wanita yang dianggap dewasa (13 tahun) memiliki kamar pribadi. Mereka berhak menentukan pria mana yang diperbolehkan untuk memasuki kamar mereka.
Jika seorang wanita menemukan pria yang dianggap sebagai pasangan potensial, ia akan memberikan izin kepada pria tersebut untuk mengunjunginya di malam hari dan keluar pada pagi hari. Praktek ini disebut sebagai walking marriage atau zou hun dalam bahasa China dan axia dalam bahasa Mosuo.
Walking marriage atau zou hun hanya berlaku kepada pria dari komunitas Mosuo. Seorang wanita Mosuo tidak bisa memberikan izin kepada pria diluar komunitas ini. Izin yang diberikan merupakan bentuk ketertarikan dan cinta seorang wanita terhadap pria.
Walking marriage tidak diikat oleh sebuah perjanjian layaknya pernikahan pada umumnya. Sebuah komitmen yang dibentuk atas dasar ketertarikan, dan perasaan cinta, tanpa adanya unsur ekonomi dan status sosial. Komitmen ini bersifat pribadi dan tidak diizinkan untuk disebutkan nama yang menjadi pasangannya.
Jika mereka merasa sudah tidak cocok, mereka bisa mengakhiri hubungannya kapan saja dengan tidak lagi mengizinkan pria untuk mengunjunginya. Wanita Mosuo akan mengirimkan bingkisan yang berisikan arang, kertas, dan bulu ayam sebagai peringatan untuk mengakhiri hubungan.
Kebanyakan wanita Mosuo akan memilih pasangan mereka didua lokasi, yaitu di walking marriage bridge atau Zou Hun Qiao dan pada saat perayaan (pesta dan festival).
Tempat pertama adalah zou hun qiao atau walking marriage bridge. Jembatan ini adalah tempat kencan bagi muda mudi Mosuo. Jika seorang pemuda atau pemudi merasa tertarik, mereka akan berjalan mendekati lawan jenisnya.
Kedua yaitu pada saat perayaan, muda-mudi Mosuo akan melakukan jiancuo dance atau tari kebahagiaan. Mereka menari mengitari api unggun dengan saling berpegangan tangan. Tarian ini mengikuti ritme dari hentakan kaki, tepuk tangan, yang diikuti oleh seruling bambu atau lusheng.
Pemuda atau pemudi Mosuo dapat menunjukan ketertarikannya pada saat berpegangan tangan dengan menyentuh telapak tangan lawan jenis dengan jari sebanyak tiga kali. Jika sentuhan dibalas, maka itu adalah sebuah tanda persetujuan untuk memulai zou hun atau walking marriage.
Hubungan ini dilanjutkan dengan kedatangan pria ke rumah wanita. Pria hanya boleh mengunjungi mereka setelah hari benar benar gelap dan setelah aktivitas dirumah itu berakhir.
Pria akan memasuki kamar wanita dengan cara yang berbeda beda. Ada memanjat dan masuk melalui jendela, dan ada yang masuk melalui pintu. Kedatangan pria ini ditandai dengan adanya topi yang tergantung di depan kamar wanita, pertanda bawah kamar ini sedang dikunjungi.
Pada pagi hari sebelum matahari terbit, sebelum ada aktifitas di rumah tersebut, pria ini harus kembali kerumah orang tua nya.
Anak yang terlahir dari walking marriage akan tinggal bersama ibu dan keluarga matrilineal nya. Mereka akan tinggal di satu rumah yang sama untuk selamanya.
Ayah dari anak tersebut tidak memiliki tanggung jawab untuk ikut membesarkan dan mendidik anak kandungnya. Keluarga laki-laki dari ibu seperti paman akan menjadi figur pengganti ayah. Tugas mereka adalah mejaga dan mendidik anak ini. Namun jika ayah kandung ini ingin mengurus anaknya, ia bisa memberikan hadiah atau bekerja membantu pekerjaan rumah.
Jika mereka masih berada di dalam walking marriage, pria ini bisa saja diberikan status khusus oleh keluarga wanita. Namun semua tergantung kepada kesepakatan keluarga wanita.
Tradisi yang sudah dijaga ribuan tahun ini, mulai mengalami perubahan. Pada awal 1990-an, dunia mulai mengenal budaya masyarakat Mosuo. Antropolog dan wisatawan mulai berdatangan untuk melihat zun hun qiao dan tradisi itu sendiri.
Hal ini memberikan dampak bagi masyarakat Mosuo. Secara pembangunan dan ekonomi, mereka berkembang. Adanya pembangunan bandara, jalanan beraspal, sekolah dan pekerjaan baru bagi masyarakat. Namun hal ini membuat adanya pengikisan nilai bagi masyarakat Mosuo terutama anak muda.
Mereka mulai berfikir bahwa nilai yang sudah dijaga ribuan tahun ini tertinggal. Mereka mulai tertarik dengan pria han (etnis mayoritas di China) lalu menikah dan tinggal di kota untuk mencari pekerjaan, meninggalkan generasi tua untuk melanjutkan tradisi ini.
Wanita muda Mosuo mulai berkeinginan untuk menikah. Memiliki keluarga “normal” sesuai standar barat. Mereka ingin hidup sesuai dengan standar normal mayoritas.
Hadirnya teknologi modern seperti televisi, handphone memberikan alternatif bagi generasi muda Mosuo tentang pilihan hidup. Mereka ingin hidup bebas, seperti layaknya anak muda diluar sana. Meninggalkan matriarki untuk partiarki.
Cukup ironis jika mengingat saat ini dunia sedang dihebohkan oleh gerakan feminis yang menginginkan kesetaraan dan memerangi stereotip gender masyarakat patriarki.
Perlahan-lahan matriarki mulai menghilang dari danau Lugu. Keinginan untuk menjadi modern dan menyelami dunia patriarkat untuk kehidupan yang bebas yang dikuasai oleh status sosial dan pekerjaan.
Melupakan esensi utama dari tradisi yang dijaga ribuan tahun oleh leluhur mereka, mencintai seseorang atas perasaan tulus tanpa memandang status sosial dan pekerjaan. (*)
Yang Junchu adalah Kandidat Doktor di Beijing Foreign Study University, China. Sedangkan Muhammad Irsyad adalah Guru SMPN 6 Padang Panjang, Sumatra Barat, alumni Huaqiao University Xiamen University Xiamen