PADANG (26/3/2022) – Kekerasan seksual sangat dekat kemiskinan. Rendahnya tingkat pendidikan dan pemahaman nilai-nilai keagamaan, merupakan faktor pemicu dominan lainnya, yang membuat terus berulangnya kejadian kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat.
Demikian pengantar diskusi disampaikan Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Hj Lisda Hendrajoni saat menghimpun masukan, tanggapan dan saran bersama Pengurus Daerah Jaringan Media Siber Indonesia (Pengda JMSI) Sumatera Barat, di Padang, Sabtu siang.
“Saya pernah menemukan kejadian kekerasan seksual di sebuah rumah tangga. Pelakunya adik kakak. Setelah saya telusuri, mereka bukan lah korban terpapar pornografi atau sejenisnya. Handphone seharga ratusan ribu saja mereka tak mampu membeli. Televisi juga tak punya. Mau terpapar dari mana, tinggalnya di kampung pula,” ungkap Lisda.
“Saya telusuri, kekerasan seksual itu terjadi karena faktor melihat langsung orang tuanya berhubungan badan. Memiriskan memang. Tapi, ini terjadi karena kediaman mereka tak ada kamarnya. Mereka sangat miskin, yang kemudian berefek negatif pada tumbuh kembang kejiwaan anak-anaknya,” tambah Lisda, anggota Fraksi Partai Nasdem yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Diketahui, RUU TPKS ini telah jadi RUU inisiatif DPR RI seiring ditetapkannya dalam sidang paripurna pada 18 Januari 2022. Kemudian, pemerintah juga telah menindaklanjutinya seiring terbitnya Surat Presiden (Surpres) RI No R.05/Pres/02/2022 tanggal 11 Februari 2022 perihal Penunjukan Wakil Pemerintah untuk Membahas RUU TPKS dan Daftar Invetarisasi Masalah (DIM).
“Di tingkat Panja RUU TPKS, juga masih belum memutuskan, kementrian mana yang akan jadi leading sector setelah disahkan nanti. Apakah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan atau Kementrian Hukum dan HAM,” ungkap Lisda.
Menjawab tanya peserta diskusi, Helmi Boy, seputar belum tersosialisasikannya dengan baik RUU TPKS ini ketengah masyarakat sebagaimana rilis survei Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyebutkan, baru 39 warga yang tahu atau pernah mendengar RUU tersebut, Lisda menyebut, hal itu disebabkan DPR RI yang tidak memiliki anggaran khusus untuk menyosialisasikan kerja-kerja kenegaraan yang tengah dilakukan.
“Hampir semua angota DPR RI, termasuk saya, selalu menyempatkan diri untuk menyosialisasikan kerja-kerja kenegaraan yang dilakukan melalui berbagai pertemuan yang digelar di daerah pemilihan terutama selama masa reses (istirahat sidang-red). Seperti sekarang bersama JMSI Sumbar, saya menghimpun masukan dan saran terkait RUU TPKS,” ungkap Lisda yang juga anggota Dewan Pakar Pengda JMSI Sumbar seputar tak massifnya informasi tentang RUU TPKS.
Di dalam pertemuan itu, berbagai masukan diterima Lisda. Seperti yang disampaikan Rudi Antono, founder media siber scintia.id. “Panja RUU TPKS ini harus memastikan, tidak ada defenisi multi tafsir, terhadap pasal-pasal yang disusun. Terutama terkait dengan penggunaan frasa ‘tidak dipaksa,’ ‘suka sama suka,’ dan frasa frasa lainnya yang berkemungkinan multitafsir,” ungkap Rudi.
Pentingnya mendudukan perspektif RUU TPKS terhadap pelaku dan korban kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak, juga disorot penanggungjawab media siber valoranews.com, Al Irman. Juga penting didudukan persepktif pembuat undang-undang terhadap pelaku LGBTQ.
“Dalam UU Narkoba, pelakunya adalah korban. Untuk RUU TPKS ini, DPR sebagi inisiator RUU, seperti apa memandangnya. Apakah pelaku kekerasan seksual atau LGBTQ ini dianggap korban juga,” terangnya.
“Kalau dianggap korban, tentunya diperlukan lembaga konselingnya di daerah. Lembaga konseling itu, nantinya apakah berada dibawah koordinasi sebuah lembaga seperti halnya Komisi Informasi (KI) atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan amanah UU tersendiri pula,” tambah dia.
“Kalau memang akan berada di sebuah lembaga khusus, pertanyaan lainnya yang muncul yakni soal penanggungjawab anggaran dan keberadaannya apakah di tingkat provinsi saja atau sampai ke kabupaten/kota. Lalu, anggarannya apakah bersumber dari APBN atau APBD di masing-masing daerah nantinya,” jelas dia.
Sementara, peserta diskusi lainnya, Marzuki menyampaikan harapan, agar RUU TPKS ini tidak membuat masyarakat makin penasaran untuk melakuan pelanggaran undang-undang.
Atas berbagai masukan berharga ini, Lisda mengungkapkan terima kasih. “Pembahasan RUU TPKS ini baru akan dibahas Senin (28/3/2022) besok. Semoga masukan berharga yang disampaikan ini, bisa diterima dan diakomodir dalam pembahasan nanti,” ungkap Lisda.
Tentang JMSI
Sekretaris Pengda JMSI Sumatera Barat, Aguswanto mengatakan, JMSI adalah organisasi pemilik media siber. Secara nasional, telah berdiri di 31 provinsi di Indonesia. Pada 6 Januari 2022, Dewan Pers secara resmi menyatakan memenuhi syarat sebagai anggota bersama 10 organisasi pers lainnya yang telah lebih dulu diakui.
“Untuk Sumatera Barat, JMSI beranggotakan 20 media siber. Sebanyak 5 media berstatus Terverifikasi Administrasi dan Faktual Dewan Pers, 10 media berstatus Terverfikasi Administrasi Dewan Pers dan sisanya dalam proses pendaftaran secara daring,” ungkap Aguswanto.
Sementara, Wakil Sekretaris Pengda JMSI Sumbar, Hanny Tanjung sebagai pemantik diskusi mengatakan, Sumatera Barat secara umum sudah berada dalam status darurat kekerasan seksual. Karena, kejadiannya tak hanya melibatkan pihak ketiga, bahkan telah melibatkan sesama anggota keluarga.
“Adanya RUU TPKS ini, diharapkan bisa jadi efek jera bagi pelaku kekerasan seksual nantinya,” ungkap Hany. (*)