SIMPANG AMPEK | TOP SUMBAR–Hampir sebulan sudah bencana gempa 6,2 SR yang mengguncang Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, berlalu dengan segala pengalaman buruk, traumatis dan catatan negatif yang menyertai situasi penanganan tanggap darurat bencana oleh pihak terkait.
Kondisi terkini, penanganan pada masa transisi kebencanaan masih berlangsung dengan fokus kegiatan adalah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat terdampak bencana seperti hunian sementara, menjaga ketersediaan stok pangan dan kebutuhan mendesak lainnya yang dibutuhkan.
Terlepas dari itu semua, ada catatan kecil yang tersisa terkait penanganan tanggap darurat bencana di daerah itu, yang menurut sebagian pihak ditangani secara tidak maksimal dan semrawut dalam penerapan sistem mitigasi sebagaimana mana diatur dalam regulasi penanganan bencana di Republik Indonesia.
Salah satunya datang dari salah seorang ahli gempabumi yang juga seorang akademisi dari Universitas Negeri Padang, Pakhrur Razi PhD.
Menurutnya, sebab utama ketidaksiapan pemerintah daerah dan masyarakat setempat dalam menghadapi bencana adalah karena minimnya pengetahuan para pengendali pemerintahan terkait upaya mitigasi kebencanaan.
“Berdasarkan data yang diterbitkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memang di Pasaman Barat sudah lama tidak terjadi gempa sehingga membuat semua pihak lalai menyiapkan upaya penanganan kebencanaan secara lokal, ” sebutnya saat menjadi pemateri Kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi (SLG) yang diselenggarakan pihak BMKG di Aula Kantor Bupati Pasaman Barat, Rabu (23/03).
Hal itu, ulasnya, terlihat dari banyaknya rumah hunian masyarakat dan gedung-gedung fasilitas umum milik pemerintah mengalami rusak berat hingga rubuh rata dengan tanah.
Menurutnya, kondisi itu terjadi lebih disebabkan oleh kekuatan bangunan yang dibuat tidak disesuaikan dengan standar bangunan tahan gempa.
“Bahkan banyak bangunan milik pemerintah dan fasilitas umum lainnya tidak memiliki akses keluar masuk yang mengacu pada standar keselamatan kebencanaan dalam ruangan,” ungkapnya.
Sementara itu, salah seorang pemateri lainnya utusan dari BMKG, Syamsir, menyoroti tentang pentingnya membangun Komunitas Informasi Siaga Bencana di tingkat bawah, khususnya pada titik lokasi permukiman bantaran sungai dan daerah rawan bencana lainnya.
“Pada dasarnya tidak sulit membangun sistem peringatan dini kebencanaan bagi masyarakat, jika bersedia maka bisa saja memanfaatkan sarana komunikasi tradisional seperti kentongan dan lain sebagainya, ” sebut Syamsir.
Ia mengatakan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dibudayakan adalah memastikan cerita tentang bencana dan langkah mitigasi dilakukan secara turun temurun agar generasi berikutnya tetap memahami bahaya yang mengintai setiap saat di permukiman dengan potensi kebencanaan.
“Ada 19 titik besar bencana gempa di pulau Sumatera, sebanyak delapan diantaranya tersebar di Provinsi Sumatera Barat termasuk Pasaman Barat, ” ujarnya.
Menurutnya, selain faktor alam ada potensi kebencanaan lainnya yang selalu mengintai di sekitar kaki Gunung Talamau, yakni kerusakan hutan cukup parah dengan kemiringan cukup terjal di hulu sungai.
Kondisi itu, lanjutnya, telah memicu terjadinya longsoran dengan material tanah, pasir dan potongan kayu diduga sisa hasil pembalakan liar oleh oknum tidak bertanggungjawab dan hanya ingin memperkaya diri sendiri.
‘Ini harus menjadi perhatian semua pihak, karena saat ini potensi bencana sudah didepan mata jika curah hujan tinggi dan menghanyutkan material sisa gempa 6,2 SR tersebut, ” tegasnya.
Ia mengimbau kepada seluruh masyarakat yang bermukim di sepanjang bantaran sungai berhulu ke Gunung Talamau agar mempersiapkan sistem peringatan dini meskipun harus dengan cara tradisional.
“Amati kondisi sungai dan jika menunjukkan tanda-tanda akan terjadinya bencana banjir bandang, segera mengungsi dan lakukan langkah tanggap darurat untuk memperkecil risiko kerugian dan jatuhnya korban jiwa, ” tutupnya. ***