(BAGIAN I)
Sejujurnya sudah lama tema ini akan sahabat budaya angkat, namun karena sulitnya mencari sumber serta keterbatasan akses informasi, tema ini menunggu di daftar list untuk rentang waktu yang cukup lama. Dan sekarang, sudah saatnya kita sedikit menjabarkannya. Bismillah.
Mengenai tulisan ini mungkin akan sama seperti tulisan jelajah budaya sebelumnya yang mengalami kontroversi karena sahabat budaya menolak mitos Sang Sapurba yang datang dengan pedang Cura Simanjakini-nya dalam Tambo karya Dt. Sanggono Dirajo dan juga tentang asal-usul Minangkabau yang berasal dari adu kerbau. Bukan tidak menghargai Sulalatus Salatin, sama sekali tidak, namun hanya saja sahabat budaya mencari sumber yang bukan merupakan karya sastra. Bahkan Dr. Raudha Said, ketua Bundo Kanduang, dalam tuturannya juga memaparkan keraguannya mengenai hal tersebut. Beliau mengatakan dengan diksi, “Apakah selicik itu nenek-moyang kita dalam bertanding? Dan apakah sebodoh itu utusan dari Jawa (yang membawa kerbau besar) tersebut?” Tapi kita sudah tuntas membahas itu, sekarang mari beralih ke tema selanjutnya yang barangkali lebih menarik.
Let’s go!
Uli Kozok adalah seorang laki-laki berkebangsaan Jerman yang datang ke Indonesia hanya untuk meneliti budaya, bahasa dan sastra Batak, dia lantas menikah dengan seorang perempuan Melayu dan dalam perjalanan hidupnya di tahun 2002, dia bersinggungan dengan naskah kuno yang digadang-gadang sebagai naskah Melayu tertua di dunia.
Dalam bukunya yang berjudul The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript (Kitap Undang-undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua) dia menuliskan : Buku ini mengenai sebuah naskah yang pertama kali saya lihat di tahun 2002 di sebuah kampung yang terletak di pinggir Danau Kerinci. Di kemudian hari menjadi nyata bahwa naskah sederhana yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk Tanjung Tanah merupakan naskah Melayu yang tertua di dunia.
Kunjungan pertama saya ke Kerinci merupakan kenangan tersendiri. Kolega saya di Universitas Auckland, Drs. Eric van Reijn, telah memperkenalkan saya dengan Bapak Sutan Kari, seorang tokoh terkemuka di Kerinci. Setiba di stasiun bus di Sungai Penuh di tahun 1999 saya dijemput oleh Sutan Kari dan pada pagi hari itu juga beliau langsung mempertemukan saya dengan Bupati Kerinci, Fauzi Siin.
Kedatangan saya ternyata disambut hangat oleh Pak Bupati. Ketika saya beritahu bahwa maksud kedatangan saya untuk meneliti aksara Kerinci yang disebut surat incung, beliau secara spontan menawarkan uluran tangan pemerintah daerah untuk membantu kami dalam penelitiannya. Bupati menyediakan mobil dinas, dan pemerintah daerah juga sepenuhnya menanggung biaya penginapan kami selama dua minggu.
Selain bantuan material yang kami peroleh dari pemerintah daerah Kerinci, lebih penting lagi adalah kesediaan bupati beserta stafnya untuk senantiasa membantu kami dalam segala urusan. (Hal;vii)
Buku tersebut secara nyata mematahkan klaim sebelumnya yang mengatakan bahwa naskah surat raja Ternate adalah naskah Melayu tertua. Uli Kozok, saat menemukan naskah tersebut membawanya ke Wellington, Selandia Baru, untuk diperiksa di laboratorium menggunakan metode penanggalan radiokarbon. Hasil pengujian ini memperkuat dugaan Kozok bahwa naskah Tanjung Tanah adalah naskah Melayu yang tertua.
Baiklah, cukup untuk openingnya dan mari menganalisis. Serangkaian sejarah yang kabur, akan dapat disusun dengan metode analisis jika terdapat sumber yang hilang atau rumpang. Kita mulai dari pertanyaan mengapa namanya Undang-undang Tanjung Tanah?
Dari berbagai sumber yang dikumpulkan, kita akan meramunya di dalam sebuah kuali analisis untuk menghasilkan kesimpulan yang kuat dan kokoh. Kebanyakan penemuan biasanya dilabeli secara langsung menurut nama orang atau nama tempat sesuatu yang bersejarah tersebut di temukan. Seumpama Hukum Newton oleh Sir Isaac Newton, teori atom Dalton oleh John Dalton, hukum Kepler oleh Kepler, dan lain-lain. Demikian juga dengan penemuan spektakuler yang merujuk kepada nama tempat, seperti Batu Bangkai di Batu Bangkai, Sungai Janiah di Sungai Janiah, dan ya, naskah kuno Tanjung Tanah yang sedang kita bahas.
Lantas, kalimat undang-undang-nya muncul dari mana?
Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah adalah naskah kuno yang diperkirakan telah berusia 600 tahun lebih yang isinya menjabarkan tentang undang-undang yang harus dipatuhi oleh para depati yang berkuasa ketika itu. Di halaman 29-30 tertulis dengan cukup jelas:
… sakian bunyi (29) nyatnya titah Maharaja Drammasaraya // yatnya yatna sidang mahatmia saisi Bumi Kurinci silunjur Kurinci // samasta likitam Kuja Ali Dipati di Waseban di Bumi Palimbang di hadappan Paduka Sri Maharaja Dra (30) mmasraya. Barang salah silihnya, suwasta ulih sidang mahatmia samapta.
Terjemahan : Demikianlah bunyinya titah Maharaja Dharmasraya, diperhatikan dengan saksama oleh sidang mahatmia se-isi Bumi Kerinci sepanjang Kerinci. Semuanya ditulis sendiri oleh Kuja Ali Dipati di Paseban di Bumi Palimbang, di hadapan Paduka Sri Maharaja Dharmasraya.
Jadi, jelas bahwa naskah tersebut berisi undang-undang yang harus dipatuhi dan selesailah satu persoalan kita mengenai nama naskah tersebut. Untuk Tanjung Tanah sendiri letaknya sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci, Jambi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah Uli Kozok orang pertama yang menemukannya? Sama sekali tidak, Topers. Pada tahun 1941, Petrus Voorhoeve yang merupakan seorang ahli bahasa Belanda menemukan naskah tersebut di tangan penduduk setempat dan langsung didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 di dalam Tambo Kerinci. Barulah pada tahun 2002, Uli Kozok membawa sampel naskah tersebut ke Wellington, Selandia Baru, untuk diperiksa di laboratorium menggunakan metode penanggalan radiokarbon dan mengumumkan bahwa naskah tersebut lebih tua dari naskah surat raja Ternate. Itu berarti naskah kuno Undang-undang Tanjung Tanah secara mengejutkan menjadi naskah Melayu tertua di dunia.
Pada Oktober tahun 2004, Naskah Tanjung Tanah telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center dan hasilnya menunjukan bahwa bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera) yang juga di sebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis.
Untuk daluang sendiri kita mengetahui merupakan tumbuhan endemik Asia. Banyak digunakan sebagai bahan dasar tulisan (sebelum kertas Eropa masuk) dan juga sebagai pakaian. Tercatat bahwa di Jawa pada abad ke-7 penggunaan daluang dalam media surat-menyurat sudah umum digunakan.
Sekarang kita masuk ke bagian terabsurd-nya. Di dalam naskah seperti yang telah sahabat budaya tuliskan, terdapat nama seseorang yaitu Kuja Ali. Dialah yang menulis naskah tersebut sebagimana telah disebutkan. Jika kita runut dalam dialek sintaksis, Kuja sendiri berasal dari kata ‘Khoja’ yang dalam bahasa Persia berarti pemimpin. Sementara Ali berasal dari suku kata Arab yang berarti ‘Tinggi’. Jika digabungkan akan memperoleh makna pemimpin yang tinggi. Tapi di sinilah bagian terbaiknya. Naskah tersebut berdasarkan uji radiokarbon di labolatorium Rafter menghasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M). Dan bukankah kita sama-sama berpikir bahwa pada tahun tersebut orang-orang Persia dan Arab sudah mengakar di Melayu?
Selanjutnya tertulis di sana dalam sidang mahatmia, apa itu sidang mahatmia?
Berdasarkan penelusuran yang sahabat budaya lakukan, sidang mahatmia adalah sidang tertinggi dalam kerajan Dharmasraya. Dan Undang-undang Tanjung Tanah berlaku untuk daerah Kerinci yang berada di bawah kuasa kerajaan Dharmasraya. Karena itulah naskah Tanjung Tanah ditulis menggunakan aksara Melayu, Incung dan Pasca-Pallava atau Pallawa. Kita juga mengetahui bahwa pada masa itu Dharmasraya menjadi induk kerajaan (setelah kemunduran Sriwijaya karena serangan Rajendra Chola di tahun 1025 M) namun di berbagai penjuru terdapat banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil yang menjamur dalam naungannya.
Hal yang sama juga dapat kita saksikan saat masa Kesultanan Pagaruyung Darul Qarar. Pagaruyung sebagai induknya dan banyak kerajaan-kerajaan kecil di dalam naungannya yang memakai sistem kekerabatan, bukan atas bawah. Itulah makna dari kalimat; Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun).
Pada satu kali, datangkah utusan dari Kerajaan Indrapura ke Pagaruyung, mereka katakan bahwa maaf, sekarang kami tidak membawa buah tangan, karena Pagaruyung sudah kaya. Kami akan berikan kepada kerajaan lain yang lebih membutuhkan. Namun dalam terjemahan kolonial Belanda kata ‘buah tangan’ malah diartikan sebagai ‘upeti’ atau pajak yang harus dibayarkan. Padahal bukan seperti itu.
Hal yang menarik lainnya yang sahabat budaya temukan bahwa gelar Sri Maharaja Diraja dipakaikan kepada kerajaan induk (Dharmasraya) Maharaja untuk kerajaan di Pagaruyung di Saruaso, raja untuk kerajaan Kerinci, Jambi, lalu berturut-turut kepada dipati (parpatiah) dan tumenggung (tumangguangan) dan lainnya.
***
Hari Sabtu, 5 Februari 2022 lalu, Utusan Tiga Luhak Tanjung Tanah, Negeri Sakti Alam Kerinci menyambangi Sutan Riska Tuanku Kerajaan, bupati Kabupaten Dharmasraya untuk menjalin kembali persaudaraan tua yang berabad-abad terlupakan. Mereka datang dan mengundang sanak-saudara di Dharmasraya untuk hadir ke perhelatan Kenduri Sko Tigo Luhak Tanjung Tanah, Kerinci. Mereka tahu antara Dharmasraya dan Kerinci telah terjalin erat persaudaraan tua yang telah lama terjalin.
“Kami ini diutus atas permintaan dari anak jantan anak betino Tiga Luhak Tanjung Tanah. Luhak Depati Talam, Luhak Depati Bumi, Luhak Depati Sekumbang. Mengundang kehadiran Tuanku Kerajaan di acara Kenduri Sko Tanjung Tanah, pertengahan Mei 2022 ini,” kata Zakaria Abdullah al-Kurinci, selaku juru bicara. Zakaria, datang dari Kerinci, Jambi ke Dharmasraya, Sumatra Barat bersama Sulaiman Jalil dan Afrizal Marbawi.
Wah, semoga acara tersebut dapat mengeratkan persaudaraan yang sudah terjalin sejak dulunya ya, Topers. Untuk pembahasan selanjutnya akan kita teruskan di BAGIAN II.
Salam budaya.
(Haris)