Padang Panjang | Topsumbar – Sebuah karya novel berjudul “114 Purnama di Hotel Prodeo” karya Rozi Mandaliko di ‘bedah’ oleh sejumlah penulis, pegiat literasi, pengamat sastra, penyair dan oleh duta baca Sumatera Barat, Minggu, (13/2/2022).
Kegiatan berbentuk diskusi itu diadakan di Ruang Baca Rimba Bulan, Padang Panjang dengan dimoderatori novelis, Muhammad Subhan.
Tampak hadir anak dari penulis nasional AA Navis yaitu Dedi Navis yang juga mengapresiasi kegiatan.
Duta Baca Sumatera Barat, Mardhiyan Novita MZ yang tampil pertama mengomentari alur novel 114 Purnama di Hotel Prodeo” dengan kalimat “Berantakan”.
Kendati demikian, gadis berkerudung ini memuji tema yang diangkat. Dia menyebut tidak mainstream lantaran berlatar di balik jeruji besi. Nama tokoh di dalam bacaan itu pun unik.
“Tidak hanya nama tokoh, tetapi penokohan dan karakternya serta gaya bahasanya yang indah,” ujar Dian ketika menjadi pemantik diskusi.
Komentar kedua datang dari Tek Nun, guru sekaligus penggiat literasi. Dimana ia sedikit khawatir dengan sejumlah gaya bahasa yang ditulis vulgar. Selaku seorang guru dia belum berani mengenalkan karya itu kepada murid-muridnya.
“Penulis sangat berani mengungkapkan hal seperti itu. Namun cerita penjara yang di dalam pikiran kita menakutkan, ternyata tidak. Kita bisa dibuat ketawa dan terhibur dengan gaya bahasanya. Analoginya sangat kaya. Pada setiap halaman saya temukan kata-kata baru. Istilah baru yang selama ini belum pernah kita dengar,” ungkapnya.
Keunikan novel karya Rozi Mandaliko juga dirasakan pengamat sastra, Pengawas Sekolah Berprestasi 2019, Mulyadi Wijaya. Dikatakannya, hal itu timbul dari karakter pengarang novel itu sendiri yang memang nyentrik dari masa kuliah.
“Penulis menyikapi kehidupan seperti itu ternyata. Bahwa segala sesuatu bisa kita buat happy atau segala sesuatu bisa kita jadikan candaan. Walapun di tempat yang tidak tepat seperti di dalam penjara. Saya yakin tokoh Kurapay itu ialah dia sendiri,” ujarnya.
Novel ini memang berangkat dari kisah penulis yang pernah mendekam di penjara karena sebuah kasus. Selama tiga tahun masa percobaan di luar penjara lahirlah novel ini. Saat ini penulis telah bebas murni.
Penulis sebenarnya adalah seorang pelukis. Mulyadi menilai cara Rozi membuat karya novel seperti melukis.
“Bagaimana karya itu muncul dan orang menikmatinya, saya rekomendasikan anak SMA membacanya. Karena mereka sudah baliqh dan berakal sehat. Silakan, jadi jika kita salah langkah pasti masuk penjara,” katanya.
Diskusi makin menarik ketika dosen ISI Padang Panjang sekaligus penulis dan penyair, Sulaiman Juned turut berkomentar. Menurutnya ia tidak setuju jika novel dengan berlatar belakang penjara disebut langka lantaran banyak novel bertemakan demikian.
“Dari tahun 19 sekian itu, banyak trilogi tentang novel, tentang puisi, tentang cerpen yang berbicara tentang penjara,” ungkap Sulaiman Juned yang merupakan pendiri dan Penasihat Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang,
Adapun Rozi yang terlihat seperti orang yang disidang justru merasa senang, bahagia dan haru.
“Lebih hebat rasanya hari ini, dibandingkan hakim yang memvonis saya sembilan tahun. Lebih hebat hari ini. Apa yang saya dambakan dan saya impikan bertemu hari ini,” sebutnya yang disambut tepuk tangan audiens.
Sementara itu, Muhammad Subhan mengatakan kegiatan sekali dalam satu bulan, di Ruang Baca Rimba Bulan milik Alvin Nur Akbar tersebut, dilaksanakan secara rutin.
“Acara ini dalam bentuk apresiasi. Memberikan motivasi dan semangat kepada penulis agar lebih bagus menulis. Bagi yang belum bersentuhan dengan karya sastra bisa lebih bersemangat untuk ikut,” ujar Muhammad Subhan yang dikenal sebagai penulis, editor, motivator kepenulisan, konten kreatif dan pegiat literasi Sumatra Barat. Sebelumnya ia juga dikenal sebagai seorang jurnalis.
(Alfian YN)