Hai Topers, gimana kabarnya? Semoga sehat selalu ya. Hari ini sepertinya kita akan membahas hal yang agak berat nih, tapi tenang saja. Mari duduk dengan secangkir kopi dan mulai membaca, nikmati alunan musik dari gramofon dan kicauan burung ketilang. Let’s go!
Apakah kamu pernah membaca Tambo? Dijelaskan bahwa asal muasal nenek-moyang orang Minangkabau dari negeri atas angin yang berlabuh di pucuk gunung Merapi, sebelum kemudian membuat perkampungan setelah air laut surut.
Namun, di beberapa buku sejarah dan catatan lama, ada sedikit paradoks yang muncul. Generasi muda Minangkabau mulai mencari-cari kebenaran hal tersebut dan menanyakan tahunnya. Namun jawaban yang diperoleh dari sumber selalu merujuk kepada satu kerajaan; Kerajaan Pagaruyung.
Dalam buku Budaya Alam Minangkabau (BAM) kita menemukan bahwa sistem pemerintahan Minangkabau adalah Serikat, dengan induk kerajaannya adalah Pagaruyung. Sedangkan puluhan kerajaan-kerajaan sekitarnya tumbuh dengan otonomi daerahnya masing-masing. Ini adalah hal yang sangat spektakuler sekali, bukan? Ada satu sistem yang bisa bekerja secara bersamaan dengan berbagai komponen di dalamnya.
Sekarang mari kita buka pintu ke mana saja dan bongkar paradoksnya. Disebutkan bahwa pada 250 SM, nenek-moyang orang Minangkabau yang disebut sebagai Dapunta Hyang masih berdiam di puncak gunung Merapi. Jika kita mencari sumbernya, istilah hyang sendiri dalam kebudayaan asli Nusantara merujuk kepada keberadaan spiritual supernatural tak kasatmata yang dikaitkan dengan roh leluhur atau dewata, sehingga diduga Dapunta Hyang melakukan perjalanan “mengalap berkah” untuk memperoleh kekuatan spiritual atau kesaktian. Dengan begitu sebutan tersebut bukanlah merujuk pada sebuah nama, melainkan gelar.
Metika turun dari puncak Merapi, Dapunta Hyang melewati Minanga Tamwan, yaitu muara sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri untuk meneruskan perjalan suci mendirikan sebuah kerajaan. Minanga Tamwan atau Minanga Kabwa adalah tempat pemberangkatan perjalanan suci. Penamaan kerajaan Minangkabau terambil dari Minanga Kabwa, yang berkedudukan di Gunung Merapi (Parhyangan) atau Pariangan. Lalu terus turun ke Pulau Punjung, punjung sendiri berasal dari kata pujou artinya puja. Itulah cikal bakal Kerajaan Melayupura.
Dikatakan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam salah satu video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis”. Menurutnya, salah satu kesalahan adalah pengertian mengenai tokoh Dapunta Hyang yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Kesalahan itu disebabkan kekhilafan para ahli yang menyangka prasasti itu berbahasa Melayu Kuno. Padahal prasasti itu berbahasa Armenia.
“Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca oh ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia. Akibatnya, tokoh Dapunta Hyang dikira para ahli sebagai seorang prabu, padahal itu artinya image Tuhan,” kata Ridwan.
Waktu pun melesat dengan cepat, kita dihadapkan pada tahun 683 M, ketika Sri Jayanaga meluaskan kekuasaannya ke wilayah chen-pi (red: Jambi) sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa Sri Jayanaga telah memakai gelaran Sri Maharaja Sri Wijaya atau Dapunta Hyang. Baginda telah berjaya menakluk Segenting Kra, Dvaravati (Thailand-Kemboja-Laos) dan Arimadana (Myanmar). Hal ini tercatat pada Batu Bersurat Kedukan Bukit. Terdapat padanya bahwa baginda telah menyerang kawasan Palembang dengan 20.000 tentara. Dari Palembang, baginda menyerang Melayu yang terletak di Jambi dan menguasai seluruh Sumatera.
Sebentar, Topers, bukankah ada sedikit kejanggalan di sini? Kalau Sri Jayanaga berasal dari Melayu, alasan apa lagi yang membuatnya menyerang wilayah kekuasaannya sendiri? Kita mulai mereka-reka bahwa ada kesalahan fonem di sini, seperti Dapunta Hyang tadi.
Jelas sekali bahwa bentrokan dan pelintiran arus sejarah terjadi sangat sengit. Satu dari Sriwijaya dan satu lagi dari Melayu. Kesalahan fonem yang kita khawatirkan tadi benar-benar terjadi.
Mari kita telusuri Jayanaga dan siapa Jayanasa. Bukankah kedua nama itu sangat mirip, Topers? Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Jayanasa, sementara di sisi lain, ada Dapunta Hyang Jayanaga. Jayanaga yang tadi asalnya dari puncak Merapi harus bergabung sebentar kepada Sriwijaya sebelum bangun kembali pada masa kerajaan Dharmasraya, ketika Rajendra Chola menyerang di tahun 1007 M.
Lalu kapan Pagaruyung hadir? Sangat jauh sekali, Topers. Di tahun 1347 M. Arus sejarah mempermainkan orang-orang di dalamnya, kita harus jeli menyeleksinya terlebih dahulu.
Wah, perjalanan kita cukup panjang dan rumit ya, Topers. Mari tenangkan pikiran sejenak dengan secangkir kopi panas tadi sebelum kembali bertualang.
(Haris)