Hei hei hei, untuk Kamis, Jum’at dan Sabtu kita punya sesi Biografi ya Topers. Senin, Selasa, Rabu seperti biasa kita akan bertualang ke seluruh Sumatera Barat untuk melihat bentang alam dan juga sejarahnya.
Mmm, kali ini sepertinya kita punya tamu spesial nih, seorang pahlawan nasional asal Sumatera Barat yang kontroversi. Tapi tenang saja, Topers, kita tidak akan fokus kepada kontroversinya. Yuk, kita let’s go!
Apakah kamu pernah membaca buku Dari Leiden ke Sawahlunto? Aduh, buku genre misteri sejarah tersebut benar-benar akan membuat mata terjaga sepanjang malam. Diceritakan ada seorang PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang datang ke Indonesia di tahun 1920 untuk memantau perkembangan komunis di Indonesia. Nah, kamu pasti tahu bahwa paham komunis mulai masuk ke Indonesia di tahun 1920, Topers. Jadi si orang Belanda ini ditugaskan untuk memata-matai pergerakan komunis di Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Tengah. PID sendiri adalah sebuah organisasi intelijen bentukan Belanda di tahun 1916-1945, kalau sekarang ya seperti KGB, FBI dan CIA gitulah.
Nah yang serunya, selain memata-matai orang-orang dengan paham komunis seperti Tan Malaka, si orang Belanda ini juga mendapatkan tugas untuk mencari lokasi tempat penyimpanan harta karun Belanda, lho. Jadi, melihat gejolak Perang Dunia II, Belanda sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri jika seandainya nanti kalah, maka harta yang telah menggunung mereka kerus dari rakyat Indonesia akan tetap tersimpan dengan aman. Namun ternyata si orang Belanda malah mengkhianati negerinya sendiri, dia mengubur harta-harta itu dan tidak melaporkannya kepada gubernur jendral dimana harta itu disimpan. Waduh, berani sekali ya.
Sekarang kamu bertanya apakah harta itu masih tersimpan di sana? Silakan baca bukunya saja ya, hehehe.
Di dalam Madilog, Tan Malaka menyebutkan bahwa; “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”
Dalam perspektif linguistik, sangat jelas bahwa Tan Malaka, yang memiliki nama asli Sutan Ibrahim ini adalah sosok yang sangat berpendidikan, punya wawasan yang luas, tegas dan peduli akan nasib bangsa Indonesia. Hal tersebut terbukti dengan berbagai prestasi yang diraihnya.
Lahir pada tahun 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Tan Malaka tumbuh menjadi sosok anak yang sangat cerdas. Pada tahun 1908, Tan Malaka didaftarkan di sekolah Kweekschool Fort de Kock. Seorang gurunya, GH Horensma, yang melihat ada sesuatu yang istimewa dari diri Tan Malaka mengusulkannya untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Dilahirkan dengan darah Minangkabau, darah petualang dalam jiwanya langsung menerima tawaran tersebut. Tahun 1912, Tan Malaka terbang ke Belanda. Sejak saat itulah Tan Malaka berkenalan dengan paham komunisme yang diusung Marx, Lenin dan Engels. Tan Malaka pun terbersit dalam hatinya untuk mengadakan revolusi.
Salah satu usahanya dalam memajukan Indonesia setelah kembali adalah dengan menjadi guru bagi anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Selain aktif juga dalam berbagai organisasi dan menulis di berbagai surat kabar.
Pada Desember 1921, saat dilangsungkannya kongres, Tan Malaka pun diangkat sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Pergolakan pun terjadi dan Tan Malaka yang condong ke sayap kiri mendapatkan perlawanan habis-habisan.
Terakhir, Tan Malaka bersama pengikutnya meninggal dunia setelah ditangkap di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Di sana mereka dieksekusi.
Atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka pun mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
(Haris)