Oleh : Hasbunallah Haris
Sebenarnya aku sudah sangsi akan mendirikan tenda di tepi danau Alahan Panjang itu. Lihatlah! Airnya begitu jernih menggoda, rumput hijau Jepang tumbuh subur di tepi-tepinya, lalu dengan sedikit tambahan ombak kecil, ikan-ikan sebesar empu kaki berenang-renang ria memperebutkan cacing yang bernasib naas.
Namun Ridho meyakinkanku bahwa camp kali ini akan berjalan lancar. Sudah sejak subuh tadi dia sampai di kos sambil menyandang ransel sebesar karung kentang itu, senter kepala merek dragon, dan sebatang rokok Commandore yang tertancap dalam ke bibirnya. Pipinya yang cekung itu menandakan ambisi yang sedang meletup-letup, juga tatapan kuyu yang khas orang negroid.
“Aku jamin kali ini kau tidak akan menyesal,” katanya yakin. Aku yang tengah mempersiapkan barang-barang hanya tersenyum kecil saja.
Sejujurnya aku bukan tidak ingin lagi camp bersama komunitas Gunung Tujuh, trauma terakhir kali aku camp masih membayang dalam ingatanku. Saat itu kami sepakat malam pergantian tahun lalu camp di Air Terjun Tangsi Tiga, ah … itu sungguh pengalaman yang buruk, kami diguyur hujan semalam suntuk, ditambah lagi terpal yang bocor dan kompor yang tak mau menyala. Satu paket lengkap di malam tahun baru, ditambah lagi dengan berakhirnya hubunganku dengan Wanda.
“Kau akan membawa ini?” Ridho mengangkat figura kecil di tangannya.
“Jangan coba-coba untuk mengungkit hal ini lagi, aku sudah melupakannya!” kataku ketus, menyambar figura itu dan membenamkannya ke dalam ransel.
“Kau hanya perlu mendengarkan penjelasannya, itu saja. Dia tidak benar-benar pergi, dia hanya ….”
“Meninggalkanku, terima kasih, simpan ceritamu itu.”
Dua jam kemudian persiapan selesai; Ransel, kompor, gas, matras, tenda, bahan masak, makanan kecil, pakaian, senter, obat-obatan, semuanya sudah masuk. Di luar Rian dan Juna juga sudah datang dengan motor KLX mereka. Tak mudah menekan ego dan mengikuti kemauan mereka, rencanaku untuk menonton anime ditemani secangkir kopi panas di kamar semalam suntuk amblas oleh paksaan mereka ikut camp.
Aku tidak benar-benar marah dengan gadis itu, mau dia pergi ke Paris, pergi ke Vatikan, pergi ke surgapun aku tidak peduli. Tapi apakah tidak bisa untuk berpamitan barang sebentar? Bahkan melambai dari mobil saja tidak, membalas pesan saja tidak. Aku sudah muak dengan takdir yang selalu andil dalam hidup ini, selalu saja ikut campur urusan orang lain. Wanita memang makhluk paling misterius.
“Yuk, jalan.” Ridho bersama Juna, aku nebeng dengan Rian, sementara motor Ridho dititipkan di kosku.
“Bangun jam berapa tadi?” Rian bertanya.
“Sudah agak siang, jam sembilan,” jawabku sedikit berteriak karena Rian dan Juna memacu motornya bagai dikejar setan.
Percakapan kami sama layaknya percakapan muda-mudi lainnya. Rencana setamat kuliah dan tentang pekerjaan. Sebenarnya ini adalah hal yang sangat membosankan, membicarakan rencana pekerjaan sejak sekarang namun tidak terealisasi setelah tamat. Aku berbeda dengan Rian, hidupku mungkin terlalu santai dan tanpa ambisi. Kau tahu kenapa? Setelah Wanda membawa rencana-rencana hebat kami, aku seolah menjadi mayat hidup.
“Kalau sudah tamat nanti kita akan membangun villa dan tinggal di sana, kau bisa bekerja dan aku akan mempersiapkan sarapan untuk keluarga kecil kita setiap pagi. Kau akan membacakan dongeng sebelum tidur untuknya dan aku akan merapikan selimut dan memberikan kecupan selamat malam. Ah, dia akan memanggilku bunda nanti,” ujar Wanda diiringi cekikikan khasnya yang amat merdu itu.
Apakah aku merindukannya? Jujur saja kadang bila malam tiba, aku sering duduk sendiri di balkon kamar sambil menyeruput kopi pahit, memandang ke langit seolah meminta penghakiman di sana. Hidup memang berengsek.
Pukul lima sore, kami sampai di lokasi. Pertukaran udara Kota Padang yang panas dengan Alahan Panjang yang dingin membuatku cukup kewalahan, jaket tebal langsung kupakai, ditambah rokok Surya menyala di mulut. Tak buang-buang waktu lagi, kami segera mendirikan tenda dan menyiapkan peralatan memasak. Juna yang paling jago jika urusan dapur, sedangkan aku begitu tenda siap, segera bergelung dengan selimut tebal.
“Bangunkan aku jika sudah malam,” kataku pada mereka bertiga.
***
Seperti yang dijanjikan Ridho padaku, malam itu bertabur bintang. Dengan leluasa aku dapat memandangi langit yang kerlap-kerlip, Juna sudah menyalakan api unggun dan bersiap membakar sosis dan ayam yang telah kami siapkan. Ridho memasang lampu petromaks dan Rian dengan gesit membantu merebus air. Dinginnya sungguh menusuk tulang.
“Di sini, Kal. Duduk dekat api,” ajak Juna. Aku langsung bangkit menuju tepian danau, membasuh muka dengan air sedingin es. Aku berani bertaruh flu akan segera menyerangku.
Rian mengambil gitar dari dalam tenda, kami duduk melingkari api unggun, saat itu pukul sembilan malam. Nyanyi pertama yang dibawanya Surat Untuk Wakil Rakyat, klasik dan syahdu. Malam itu begitu sunyi, sesekali hanya debur kecil ombak yang terdengar, ditingkahi klakson kendaraan di kejauhan sana. Hening, nyaman dan tenteram.
“Kau mau kopi, Kal? Acara ini khusus untukmu.”
Aku mengangguk, “Tolong, tidak pakai gula satu. Apa sosisnya sudah masak?”
“Sebentar lagi,” jawab Juna sambil membalik sosis dengan gesit. “Kau bisa berhitung sampai lima ratus dulu.”
Entah pada detik ke berapa, Rian berhenti memainkan gitarnya dengan tiba-tiba. Aku melirik Juna yang juga menatapku.
“Apa sudah waktunya?” katanya dengan nada serius.
Ridho dan Rian mengangguk. Dari kejauhan tiba-tiba tembakan lampu mobil mengarah pada kami. Seseorang berjalan mendekat, sekali lagi aku berani bertaruh itu adalah siluet seorang wanita.
Kau pernah menonton drama Korea yang judulnya Boy Black Flower? Masih kurang dramanya? Baiklah, mari kita tambahkan. Dia terus berjalan mendekat, Rian kembali memainkan gitarnya, lagu Peterpan, Pujaan Hati. Sementara Juna dan Ridho mengawasiku agar tidak lari. Sial, seharusnya aku sudah sadar kalau ini adalah rencana mereka.
Gadis itu berdiri tepat di depanku, Wanda Salsabiela, aku tidak mungkin salah tentang dirinya. Dengan raut anggun, celana putih gading dan sweeter pink hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas dariku dulu, dia menjelma bagai dewi Athena, dewi Artemis, dewi Ra, Rapunzel, Cinderella, Jelangkung, dan dewi-dewi lainnya yang tidak mungkin kusebutkan namanya. Lalu semuanya gelap bagai seseorang mematikan lampu di ruang bioskop.
Aku kembali sadar ketika Rian menepuk-nepuk pipiku. “Kal, Kal … kau tidak apa-apa? Mimpi apa kau sampai teriak-teriak begitu?”
Jadi aku hanya bermimpi? Tidak. Di tanganku ada sepucuk surat bersampul pink, begitu kudekatkan ke hidung, aromanya persis seperti parfum Wanda, vanili. Di dalamnya tertulis sebuah alamat; Villa Fortuna, km 2, Aro Suka, Solok. A.N; Wanda Salsabiela. Diwariskan kepada Haikal Pratama.
Jadi?