Jalan-jalan ke kerajaan
Jangan lupa membeli baju
Kepala pusing karena kerjaan
Ke benteng Capellen kita dahulu
“Asiik,” kata Susanti.
Hai, Topers, gimana kabarnya? Semoga sehat dan bahagia selalu ya. Hari ini kita akan menjelajah ke sebuah tempat bersejarah yang … um, gimana ya, sebuah tempat yang mempunyai begitu banyak nilai-nilai sejarah hingga penulis sendiri bingung dari mana hendak memulainya. Tapi bismillah. Yuk kita let’s go!
Pada awal abad ke-19, ada tiga orang haji yang baru pulang dari tanah Arab, mereka adalah Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin. Ketiganya disambut oleh ulama Minangkabau ketika itu termasuk juga Tuanku Nan Renceh, bahkan Tuanku Imam Bonjol yang kala itu baru berusia 20 tahun ikut berguru kepada tiga orang haji tersebut.
Inilah awal dari proses panjang modernisasi Minangkabau yang dilakukan oleh tiga orang haji yang berbuntut panjang pada perang saudara atau Padri. Padri sendiri adalah sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syariat agama Islam dalam tatanan masyarakat di Minangkabau.
Ketika ketiga haji tersebut pulang, mereka melihat bahwa Minangkabau sudah meninggalkan kiprahnya sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Banyak di antara mereka yang suka berjudi, mabuk-mabukan, menyabung ayam dan perbuatan dosa lainnya. Hal inilah yang mendorong mereka untuk melakukan gerakan revolusioner bagi tanah Minangkabau.
Irwan Setiawan menjelaskan dalam Biografi Tuanku Nan Renceh (1762-1832) yang dimuat dalam Diakronika vol.17 no.2 tahun 2017 bahwa pasukan padri digambarkan sebagai berikut. “Kelompok kaum Padri menggunakan pakaian putih, mencukur rambut kepalanya, menggunakan sorban putih, rosario (tasbih) di satu tangan dan pedang di sisi lain, dan bagi para imam salinan Qur’an selalu dalam kantong, Rooden dikenakan leher. Wanita menggunakan rok, mereka lama dalam berganti pakaian dan menutupi kepala dengan kerudung. Arah di dalam pembaharuan bermula di Kamang, menjalar ke Lintau, Alahan Panjang, Bonjol, dan Rao”.
Namun banyak sekali kontroversi yang timbul dalam hal ini, Topers. Seperti dalam tulisan Mangaradja Onggang Parlindungan dengan sebuah judul Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: terror agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 Yang keluar tahun 1964 tentang pembelokan sejarah. Dalam bukunya yang berjudul Tuanku Rao juga ditemukan riset prematur yang dengan lantang menyebutkan bahwa ketiga haji tersebutlah yang telah berjasa mengusir pasukan Napoleon Bonaparte saat menggempur Mesir dengan kavaleri dan infantrinya yang gagah perkasa. Buku tersebut langsung mendapatkan kritikan yang tajam dari Buya Hamka.
Kuatnya gerakan Tuanku Nan Renceh dan kelompok Padri mendorong Kaum Adat untuk meminta bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek kepada Kompeni Belanda. Perjanjian penyerahan wilayah darek itu ditandatangani di Padang.
Belanda yang seakan mendapatkan angin segar karena Pagaruyung akan menjadi wilayah kekuasaan mereka segera membangun benteng di Batusangkar. Benteng ini diberi nama van der Capellen yang berasal dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen.
Tidak tanggung-tanggung lho, Topers, bangunan benteng tersebut memiliki ketebalan dinding 75 cm dan tinggi 4 meter. Di sekitar dinding bagian luar parit dan tanggul perlindungan yang terdapat di sekeliling bangunan.
Pada bagian depan benteng terdapat gapura/pintu masuk yang kompleks van der Capellen. Di depan benteng terdapat dua buah meriam peninggalan Belanda pada tahun 1790. Tepat setelah melewati pintu di bagian depan benteng, terdapat sebuah lorong berbentuk setengah lingkaran dan terdapat empat penjara.
Sekarang benteng tersebut sudah termasuk ke dalam situs cagar budaya, lho, Topers. Ayo, siapa yang mau berkunjung ke sana? Selain mendapatkan pemandangan dan kesejukan, kita sekaligus dapat menyaksikan kemegahan masa lampau yang sarat akan sejarah lho, Topers.
Sekarang, benteng tersebut menjadi saksi bisu masa lalu Belanda yang kurang beruntung. Hal tersebut diungkapkan oleh seorang penulis tanpa nama dalam catatannya. Disebutkan bahwa seorang Belanda di tahun 1920 yang bernama Houtman menceritakan kekejaman tentara Padri kepada sahabatnya, Alex.
“Masa dulu, sewaktu Perang Padri, beratus-ratus Belanda tumpas di negeri itu. Licik betul, sudah dimintainya bekerja sama, berbalik pula mereka menyerang.” Houtman mulai bicara dengan nada menyumpah-nyumpah. “Theodore Raaff, yang masa itu menjabat sebagai Letnan Kolonel mati di tangan mereka, juga beberapa yang berpangkat Mayor seperti Mayor Frans Laemlin, Mayor Cornelis du Bus, Mayor Fredeicus Prager, dan lainnya. Uh, uh, naas betul. Tapi apa hendak dikata, semua sudah terjadi.” (hal.50)
Yups, sampai di sini petualangan kita kali ini ya, Topers. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya. Ingat, jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
(Haris)