Catatan: Kamsul Hasan, SH, MH
Masih soal prostitusi online. Bila perempuan atau mungkin juga ada lelaki menawarkan diri untuk layanan seksual, disebut korban, maka pelacuran merajalela.
Dibutuhkan sosok wartawan yang kritis pada saat jumpa pers kasus prostitusi online. Bukan hanya wartawan yang “mingkem” mencatat atau merekam kata-kata polisi.
Saat dikatakan bahwa si selebritas bertarif Rp25 juta sampai Rp30 juta. Statusnya korban perdagangan orang dari mucikari atau masih saksi.
Wartawan kritis harusnya tidak menerima jumpa pers menjadi kegiatan “satu arah”. Anda harus mewakili pembaca atau pemirsa, seperti saya.
Terkait prostitusi baik online maupun offline ada hukum positif “baru” di Indonesia yaitu UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pasal 4 UU ini mendefinisikan tentang apa itu pornografi dan jasa pornografi. Ternyata ada hal “baru” pada Pasal 4 ayat (2) huruf d yang berbunyi ;
“Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Apakah unsur menawarkan diri belum terpenuhi dalam proses prostitusi ? Padahal ancamannya minimal 6 bulan dan paling lama 6 tahun.
Harapan lain selain dari wartawan kritis adalah dari JPU Cerdas yang menangani kasus ini. Kita tahu antara penyidik dan JPU ada proses yang biasa disebut P-19.
Terkait hal ini, saya jadi ingat kasus Prita Mulyasari yang menghebohkan. Polisi hanya menyidik dengan KUHP. Saat P-19, JPU minta dilengkapi, sehingga UU ITE pun masuk.
Apakah dalam kasus prostitusi online, JPU saat konsultasi nanti akan meminta dilengkapi dengan UU Pornografi ?
Jumat 24 Desember 2021
Kamsul Hasan merupakan Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014