Catatan: Kamsul Hasan, SH, MH
Kamis, adalah waktu check up kaki kiri saya yang bengkak dan infeksi, sehingga sempat dirawat pada dua rumah sakit. Begitu juga hari ini, sedang menunggu antrian, HP saya menerima pesan WA “Apa prostitusi online korban ?”
Bila melihat dari sudut KUHP, bisa diposisikan sebagai korban. Begitu juga bila pakai UU Perdagangan orang.
Pertanyaan, apakah Indonesia hanya memiliki UU itu ? Adakah UU lain yang memungkinkan untuk menjerat pidana ?
Indonesia ternyata memiliki UU Pornografi yang lahir Tahun 2008. Definisi pornografi dan jasa pornografi diatur Pasal 4.
Pertanyaan berikutnya apakah prostitusi online itu termasuk jasa pornografi yang memiliki ancaman hukum pidana ?
Jawabannya iya, silakan anda baca Pasal 4 ayat (2) huruf d, di sana dikatakan setiap orang dilarang menawarkan diri.
Mengiklankan layanan seksual, baik langsung maupun tidak langsung diancam minimal 6 bulan sampai 6 tahun.
Bagaimana “hidung bilang” tahu seseorang bertarif Rp 30 juta atau Rp 25 juta sekali kencan.
Jawabnya dia berhubungan dengan mucikari. Pertanyaan apakah germo menetapkan harga sepihak ?
Sudah barang tentu “harga jual” dan “harga bersih” sudah disepakati sejak awal. Artinya ada penawaran atau iklan baik langsung maupun tak langsung.
Sebagai orang yang menekuni dunia hukum komunikasi, saya belum pernah melihat Pasal 4 ayat (2) huruf d UU Pornografi diterapkan di Indonesia.
Wartawan Setuju ?
Apakah wartawan setuju bahwa selebgram yang terlibat prostitusi online adalah korban. Sebagai korban terkait kesusilaan maka dia harus dilindungi Pasal 5 KEJ.
Saya adalah orang yang tidak setuju, alasan sudah jelas ada pada UU Pornografi. Dia bukan korban, jadi saya bisa terlepas dari jerat Pasal 5 KEJ.
Apakah saudara mau terbebas dari jerat Pasal 5 KEJ ? Bila jawabnya iya, maka sebagai wartawan saudara harus selalu ingatkan pada penyidikan ada UU lain.
Jakarta, 23 Desember 2021
Kamsul Hasan merupakan Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014