Kajian Jumat Oleh : Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
Kaum muslimin rahimakumullah.
Hak atas tanah dapat beralih/berpindah ke orang lain dengan cara haq (benar) sesuai undang-undang, dan dapat pula beralih dengan cara melawan haq atau melawan hukum.
Maka ketika peralihan dengan secara haq yang menerima dan pejabat yang megalihkan dapat pahala dan berkah, sedangkan ketika peralihannya melawan haq/ melawan hukum, misalnya merampas dengan menggunakan pengaruh jabatan dan permainan uang, maka yang mendapat tanah dan pejabat yang mengalihkan sama sama mendapatkan balasan setimpal.
Karena Alloh SWT telah berfirman: “Maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah niscaya dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah sekalipun, niscaya dia akan melihatnya pula.” (surat Al-Zalzalah ayat 7 dan 8).
Surat Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”
Dengan demikian, jika ada yang mengalihkan tanah tanpa haq atau secara melawan haq orang lain, itu adalah suatu keburukan, maka keburukan itu akan menimpanya selama hayatnya bahkan sampai ke keturunannya selama-lamanya.
Demikian juga dengan pejabat yang mengalihkan atau membantu mengalihkan hak atas tanah, maka jika dialihkan dengan melawan haq dengan menyalahgunakan jabatan atau sebagai pejabat tidak jujur dan seksama, maka akan ikut mendapatkan keburukan dari niat buruk atas orang yang ditolong dan dibantu melangsungkan cara tak baik tersebut.
Seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat di Kantor Pertanahan Nasional yang berkaitan dengan urusan peralihan hak atas tanah.
Kenapa demikian?
Perbuatan merampas hak orang lain tanpa haq dapat dilakukan dengan cara pisik seperti, menguasai tanpa hak, penyerobotan, atau diam diam menggeser pagar tapal batas atau mengambil tanah untuk mendirikan bangunan walau sejengkal, dan dapat pula dilakukan dengan cara kekuasaan dan menggunakan prosedur yang salah, sehingga hak orang beralih secara prosedur yang mana pemegang hak tidak mengetahui dan menyadarinya.
Misalnya dengan memalsukan sertipikat, lantas dialihkan, maka yang membuat sertipikat palsu juga ikut menanggung dosa dan akibat keburukan tersebut.
Cara-cara Merampas Tanah Secara Bathil, Diantaranya:
Pertama
Menguasai tanah hutan atau tanah perkebunan yang pemiliknya tinggal jauh dari lokasi, dengan cara menggarap, menempati atau menguasai untuk dimanfaatkan tanpa ijin pemilik dan lama lama diajukan surat seakan akan milik sendiri
Kedua
Melebarkan sawah dan ladang dengan menggeser pagar atau meruntuhkan tebing batas tanah sehingga sawah dan ladangnya jadi lebar dan sawah orang lain jadi berkurang, sehingga batas sepadan tanah tidak mengetahuinya.
Ketiga,
Melebarkan bangunan atau menambah tembok pagar tetapi masuk ke pekarangan orang lain, tanpa ijin.
Keempat, Menguasai tanah atau rumah atau sawah atau kebun milik orangtua yang sudah meninggal tanpa berbagi dengan saudara ahli waris yang lain.
Kelima
Menguasai tanah dan bangunan orang yang bukan nasabnya, tetapi karena tinggal bersama orang tersebut seakan akan sudah seperti anak atau saudara, tanpa persetujuan ahli waris yang sah, misal mengaku mamak ke orang lain, lantas karena berkembang dan semua jadi berhasil, maka diakuasai tanah kaum mamak tempat malakok tersebut.
Keenam
Menguasai tanah ulayat/tanah adat milik bersama/kaum secara berlebihan, tanpa berbagi dengan anggota kaum yang lain yang sama sama mempunyai hak adat.
Ketujuh
Menggugat ke pengadilan dengan dasar dan dalil yang dibuat buat dan dipalsukan, seakan akan adalah benar dan asli, sehingga tanah yang sudah dijual atau dikuasai/dimanfaatkan orang bertahun tahun, lepas atau beralih karena putusan pengadilan.
Maka jika ada melakukan perbuatan tersebut di atas, perlu diimani dan dipedomani peringatan Rasulullah SAW.
Dari Aisyah ra menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dzolim, maka kelak akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis tanah” (HR Bukhari dan Muslim).
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah: 188).
Ingatlah neraka tunangan orang yang mendapatkan harta secara bathil dan mengalihkan tanah dengan melawan haq orang lain.
Dalam hadist disebutkan “Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok harta Allah, bagi mereka adalah neraka pada hari kiamat” (HR. Bukhari ).
Kenapa disebut berolok-olok? Karena cara mereka bersikap atas bumi Alloh bermain-main dengan kebenaran diubah menjadi suatu cara yang salah untuk mendapatkan tanah.
Pemberian/Hibah Secara Adat Adalah Pengamalan Sunnah
Di berbagai daerah masih banyak tanah adat/tanah ulayat, seperti di Sumatera Barat misalnya, ada tanah Harta Pusaka Tinggi (HPT) yaitu tanah yang diwarisi dan dikuasai serta didapatkan secara turun temurun dari mamak adat (datuk/pengulu adat) yang usalli yang mempunyai SAKO dan PUSAKO.
Tanah ini diwarisi oleh kemenakan perempuan dalam kaumnya/sukunya. Harta ini sering mengenal istilah pemberian/hibah laleh yang tidak bisa ditarik berlaku untuk semua keturunan yang diberi hibah tanah tersebut, pemberian ini mempererat silaturahmi dan mempersaudarakan orang yang berbeda suku, seperti istilah “inggok mancagam tabang basitumpu” yaitu perbuatan mengaku mamak ke mamak orang lain.
Perbuatan kaum adat tersebut adalah bentuk pengamalan hadist yang menyatakan: ”Barangsiapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya.” (HR Bukhari).
Siapa yang ikhlas memberikan dialah menjalankan sunnah, dan siapa menzholimi saudaranya bahkan menghilangkan hak atas tanahnya itulah calon ahli neraka.
Contoh lain dari Nabi SAW pernah memberikan tanah bergunung dan bertambang kepada Bilal bin Al-Harits Al-Muzni (HR Abu Dawud). Ini menunjukkan tanah yang bertambang boleh dimiliki individu jika tambangnya mempunyai kapasitas produksinya sedikit.
Maka Nabi SAW suatu saat juga pernah memberikan tanah bertambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Setelah diberitahu para sahabat bahwa hasil tambang itu sangat banyak, maka Nabi SAW menarik kembali tanah itu dari Abyadh bin Hammal. (HR Tirmidzi).
Hal ini adalah contoh suatu perbuatan yang diserahkan secara baik-baik dan diambil dengan tujuan baik.
Hal ini juga sebagaimana antisipasi dalam alquran “Supaya harta itu jangan sampai beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu (QS. 59:7) . Sehingga jika islam digunakan dalam hukum tanah, maka semua anak bangsa akan mendapatkan hak yang sama, tidak ada yang tanah dikuasai oleh orang tertentu secara berlebihan.
Diperkuat dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid, Rasullulah SAW bersabda, “Seluruh umat manusia mendapatkan hak yang sama di dalam air, padang rumput, dan api” .
Karena itu, periksalah tanah yang kita tempati saat ini, apakah itu didapat secara haq atau secara bathil, jika ada haq orang lain di dalamnya walau sejengkal untuk pagar sawah atau kebun kembalikanlah.
Atau ada hak warisan yang dia kuasai sendiri, bagilah kepada saudara yang lain, atau ada Harta Pusaka Tinggi suku/kaum lain yang diambil secara melawan haq, maka kembalikanlah kepada kaum yang berhak, agar terhindar dari neraka di hari kiamat SAMBIL DIKALUNGKAN TUJUH LAPISAN TANAH.
NUUN WALQOLAMI WAMA YASTHURUN.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Sukabumi, Jumat, 01 Oktober 2021)
Penulis merupakan seorang pendakwah, dosen, penulis buku dan praktisi hukum