Komisi Penegak Etika Pemerintahan Daerah (KPEPD) Kota Solok sebagai pelaksana Perda Nomor 1 Tahun 2008 tentang Etika Pemerintahan Daerah Kota Solok, semenjak tahun 2018 lalu mengalami kevakuman dengan belum terbentuknya Dewan Komisioner KPEPD.
Hal tersebut, menarik perhatian salah satu mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Fakulas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang (UNP) guna dijadikan sebagai bahan penelitian dengan judul Penegakan Etika Pemerintahan Daerah Pasca Pembekuan Komisi Penegak Etika Pemerintah Daerah.
Kedatangan salah seorang mahasiswa tersebut, diterima langsung oleh Ketua Badan Kehormatan DPRD Kota Solok, Deni Nofri Pudung serta didampingi oleh Kepala Bagian Persidangan dan Perundang-undangan, Sekretariat DPRD Kota Solok, Deni Hariatis, SH, MH, Selasa (19/10/2021).
Ketua Badan Kehormatan DPRD Kota Solok, Deni Nofri Pudung saat diwawancarai oleh mahasiswa tersebut mengemukakan bahwa untuk membantu mewujudkan Good Local Governance di Kota Solok, serta dalam menjalankan Perda Nomor 1 Tahun 2008, Pemerintah Kota Solok membentuk sebuah Komisi Penegak Etika Pemerintahan Daerah.
KPEPD bertujuan untuk meningkatkan disiplin ASN terkait dengan Tupoksinya sebagai pelayan masyarakat di Kota Solok dan KPEPD itu sendiri berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap norma-norma hukum, sosial, dan norma lainnya yang mengatur dan mengikat ASN dalam bertindak.
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, permasalahan yang akan diselesaikan oleh KPEPD adalah berdasarkan laporan masyarakat, informasi yang terinvestigasi maupun temuan langsung di lapangan.
Sebelum melakukan sidang atau pemanggilan terhadap ASN yang diduga melanggar Perda No.1 tahun 2008 maka pihak komisioner KPEPD terlebih dahulu melakukan klarifikasi terhadap masalah yang ada dan selanjutnya hasilnya dilaporkan kepada Wali Kota Solok.
Unsur komisi Penegak Etika Pemerintah Daerah (KPEPD) di Kota Solok terdiri dari lima orang komisioner yang berasal dari lima unsur yaitu, salah satu unsur dari anggota DPRD Kota Solok, unsur tokoh masyarakat, unsur perguruan tinggi, unsur dari tokoh agama dan unsur pemerintahan, serta dalam pelaksanaan dibantu oleh tenaga ahli.
Sedangkan untuk memilih komisioner KPEPD melalui sebuah proses penyeleksian yang dilakukan oleh panitia seleksi yang berasal dari lima unsur masyarakat yang sama.
Deni Nofri Pudung menambahkan, terkait dibekukannya KPEPD akan berdampak terhadap penyelenggara pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih di Kota Solok.
“Saya selaku Badan Kehormatan DPRD Kota Solok sangat menyayangkan dibekukannya KPEPD semenjak tahun 2018 lalu, padahal produk hukum Perda No.1 Tahun 2008 tersebut dibuat menelan biaya cukup besar, bahkan anggaran pembuatannya terbilang yang terbesar, mencapai anggaran 600 juta rupiah,” ujarnya.
Ia menambahkan, akibat dibekukannya KPEPD akan berdampak terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan di Kota Solok, dimana KPEPD sangat berkaitan erat dengan birokrasi sebagai sebuah sistem yang vital dalam menentukan arah untuk pencapaian keberhasilan dari tujuan pemerintah itu sendiri.
Dengan kondisi dibekukan saat sekarang ini membuat masyarakat tidak dapat melihat sebuah birokrasi itu benar-benar memiliki keterkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam menjalankan tupoksinya sebagai pelayan masyarakat.
“Birokrasi yang ada tidak sesuai untuk mewujudkan pemerintah daerah yang bersih, responsive, serta bertanggung jawab, dalam melakukan interaksi dan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” pungkasnya.
(gra)