Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian tujuh)
Link bagian enam : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-6/
Mereka yang berlayar terlalu jauh, akan menemukan manusia yang memangsa sesamanya.
Catatan asli dari naskah yang ditulis Alex van Helsing, bertanggalkan ... Oktober 1920.
Namaku Alexus van Helsing, dari Leiden. Namun ayah dan pamanku lebih suka memanggil dengan sebutan Alex saja. Catatan ini kutulis sejak aku meninggalkan Leiden di tahun 1920, musim dingin. Aku naik ke kapal … (nama kapal disamarkan) dan sampai di Batavia. Ya, namanya Batavia, diambil dari suku Jermanik yang bermukim di tepi sungai Rhein pada zaman kekaisaran Romawi, bangsaku keturunan bangsa ini. Nama kota ini kemudian juga diabadikan menjadi nama sebuah kapal yang cukup terkenal di zamannya.
Harus kuakui aku bukan tergolong ke dalam deretan penyair hebat, catatan ini kubuat hanya untuk sekedar mengabadikan peristiwa saja, kuusahakan lengkap bertanggal dan bulannya. Namun kepada siapa saja catatan ini jatuh kelak, tolonglah untuk tidak menuliskannya secara lengkap lagi jika ingin menceritakannya kepada khalayak ramai, karena mungkin aku akan menceritakan beberapa rahasia atau tragedi aneh yang akan aku alami.
Aku sampai di Hindia Belanda pada tahun baru 1921. Kota yang sangat ramai sekali, seperti yang diceritakan pamanku, Hoycot, Batavia adalah Ratu dari Timur, bangunan-bangunannya disulap layaknya di Eropa. Auto-auto dan sepeda berlalu lalang, diselingi kuda-kuda yang dihias dan lembu pengangkut gandum, namun mungkin di sini digunakan untuk mengangkut beras dan padi. Sesekali terdengar olehku peluit kereta api dan trem, lalu denting-denting roda besinya yang bertambah cepat.
Yang saat itu kulihat bukan ingin menikmati segala kemewahannya. Namun yang terpancar dariku adalah penderitaan orang-orang Hindia Belanda yang harus terus memenuhi kerakusan bangsa yang menjajahnya. Sebagai PID, aku ditugaskan untuk ke Sumatra, entah apa pula yang aku lihat di sana nantinya. Kudatangi kantor atasanku di salah satu sudut Batavia, kantor itu bergaya bangunan Eropa, bundaran-bundaran depannya sangat indah, ditambah tiga buah tangga putih yang panjang, pintu tarik kepang dua, dan papan nama yang bertuliskan ukiran Jepara. Mungkin saja itu ukiran Jepara, karena itu yang kutahu.
Bagian dalamnya sangat mewah. Bersih. Banyak barang-barang buatan Prancis, beberapa lukisan dan mozaik kaca yang antik. Aku terus mengamati ruangan itu sambil berjalan, beberapa orang yang lalu lalang di sana mengangkat topinya sambil sedikit mengangguk padaku. Di sebuah pintu yang bertuliskan Herman van den Berg (disamarkan), kuketuk pelan dan seseorang membukanya dari dalam, seorang serdadu Belanda berpangkat kopral.
“Pagi.” Aku menyapa. “Apakah ini ruangan meneer Herman van den Berg?”
Kopral itu menjawab tegas, lantas menyilakanku masuk ke ruangan besar itu. Terdapat satu meja dengan bendera Belanda di sana, juga potret beberapa pembesar Belanda di bagian atasnya, yang kukenal hanya beberapa saja seperti Daendels dan Bosch yang berpakaian kebesarannya. Ada potret ratu Wilhelmina di bagian paling atas dan paling besar, kupandang takjub potret yang paling atas itu sejenak.
“Duduk,” seru seorang yang berpakaian ketat di balik sebuah meja panjang. “Kapan sampainya di sini?”
“Siap. Kemaren sore, Meneer.” Aku menjawab, menyalaminya dan duduk. Kopral yang membukakan pintu tadi datang lagi membawakan minum.
“Teh Liki, cobalah,” katanya.
Aku meminumnya. Masih terlalu panas, namun rasanya manis, harum. Baru kali ini aku merasai teh yang sangat enak dan harum macam begini. Aku kembali meneguknya beberapa kali. Udara di Hindia Belanda benar-benar sangat berbeda.
“Dua hari lagi ada kapal berangkat ke Emmahaven,” ujarnya lagi, menekankan kedua sikunya ke meja dan mencoba menilaiku. “Ada beberapa orang yang harus diselidiki.” Dia menarik laci mejanya, mengeluarkan beberapa berkas dan potret orang-orang yang harus kuselidiki. Namun sebelum itu, dia meneriaki kopral yang menjaga pintu kantornya. “Carikan Houtman, suruh dia kemari sekarang juga.”
Setelah kopral itu hormat dan melompat keluar, tiga buah potret sudah terkembang di atas mejanya. Aku memerhatikan satu-persatu, menyingkirkan gelas teh ke tepi.
“Apa yang diperbuat orang-orang ini?” tanyaku.
“Yang ini.” Tangannya menunjuk potret yang pertama. Orangnya tegar, dengan rambut lurus berbonggol-bonggol dan sorot mata liar. Keningnya bersih licin seperti memancarkan keilmuan di dalamnya, alis matanya tebal menunjukkan kegigihan. “Namanya Sutan Ibrahim, lulusan Rijks Kweekschool, belum menikah. Dia membenci budaya Belanda setelah terpengaruh oleh paham komunis yang diajarkan Rusia. Tergila-gila oleh Jerman, awasi dia.” Lalu tangannya berpindah kepada potret yang kedua. “Yang ini namanya Muhammad Said, sekarang tak jadi soal lagi, sudah tak terlalu berbahaya.” Dimundurkannya potret yang satu itu, dan dimajukannya potret yang ketiga. “Yang sekarang harus diawasi ini, anaknya. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.”
Aku mengamati potret yang ketiga, hampir saja tertawa. Sejak kapan Kompeni (kupakaikan sebutan orang-orang Batavia kala itu) takut dengan seorang wanita? Apalagi wanita muda, bertudung kepala dan tampak layu pula.
“Namanya Rasuna Said, sampai sekarang hanya itu yang baru diketahui.” Dilipatnya potret itu kembali dan dimasukkan ke dalam amplop. “Hanya sebagai laporan saja, tidak perlu untuk mengambil tindakan. Namun jika kondisi berbahaya seumpama dia menyusun pasukan, bungkam segera. Sekarang kita masuk kepada pekerjaan yang utamanya.”
Aku mengangguk, berusaha menutupi keherananku. Baru saja aku sampai, sudah dipaksakan kerja seperti ini, laporan yang harus kubuat nanti pasti akan sangat panjang, ditambah lagi dengan pekerjaan utamaku ke Hindia Belanda ini. Meskipun hanya mengambil waktu dua bulan saja, pasti akan sangat melelahkan. Tapi apa mau dikata, tak ada harapan untuk mundur lagi, jika pada akhirnya aku harus mati di ujung tombak para penggerak kemerdekaan itu, apa mau dibaca.
Omong-omong soal Houtman itu, orang macam apa pula dia? Jangan menyerahkan seorang yang lembek padaku, habis kutembaki dia nanti. Apalagi bukan orang Belanda.
“Sejak Hendrik de Greve menemukannya, kita menjadi sangat diuntungkan. Insinyur bawahannya memprediksikan sepuluh tahun lagi akan mampu memenuhi 90 persen dari energi di Hindia belanda ini, betapa berpotensinya tambang itu. Kita tidak mau menyia-nyiakannya.”
“Jadi apa yang harus kulakukan?” tanyaku segera, tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu membahas hal itu lebih jauh lagi. Aku ingin menjelajahi Batavia sebelum berangkat ke Sumatra.
Pria di hadapanku melintir kumisnya. “Sangat mudah, hanya mengawasi perkembangan pengerjaannya. Akan kita pekerjakan para pembangkang dari Jawa ini, Sulawesi dan Medan. Catat semua itu dan berikan laporan, jika ada pemberontakan habisi saja.” Lalu pria itu mengangkat telunjuknya. “Tapi selain itu, untuk tugas yang sangat penting sekali, dan ini sangat rahasia. Cari tempat-tempat terbaik yang dalam kurun waktu lama masih ada dan tidak akan berubah, lalu laporkan dan kekayaan Belanda akan kita kubur di sana. Atasan sudah memiliki mimpi bahwa kekuasaan Belanda akan segera berakhir dalam beberapa tahun ke depan.”
Aku terkejut mendengar hal itu. “Hindia Belanda akan merdeka?”
Pria itu menggeleng. “Melihat gejolak sekarang, Jepang mulai melirik ke seluruh Asia, mencari pasokan bahan mentahnya. Tapi ya sudah, jangan dipikirkan, kerjakan saja tugasmu dengan baik. Itu belum tentu akan terjadi, yang ada sekarang saja kita urus dengan benar.”
“Siap, Meneer.”
“Ada pertanyaan?”
“Ada, alamat orang-orang tadi.”
“Ah, ya. Di Agam, tak berapa jauh dari Bukitinggi juga Sawahlunto, gunakan semua sarana yang ada, PID diberikan kewenangan khusus. Terlebih lagi untuk tugas yang terakhir, harus siap dalam dua bulan. Begitu, kan? Jangan coba-coba untuk membocorkannya dengan siapapun, kamu pasti lebih tahu hukumannya.”
Pintu kepang dua itu sudah terbuka lagi dan kopral masuk dengan seorang pria ceking yang berpakaian putih gading. Tubuhnya yang kecil itu seperti kurang makan, tatapannya keras dan tulang pipi menyembul dari wajahnya. Tipikal perokok berat.
“Oh, Houtman, ini orangnya,” ujar pria di belakang meja menyambut. “Nah, Alex, Houtman akan melanjutkannya. Dia orang kepercayaan saya.” Lalu dia berdiri, menyilakanku keluar setelah memberikan amplop kuning berisi pedoman pekerjaan itu.
“Ah ya, apa mau Inlaid sebagai oleh-oleh? Mau yang model apa?”
Aku berdiri, hormat. “Tidak usah, Meneer. Saya sudah membawa senjata sendiri.”
Aku lalu keluar dari ruangan itu bersama Houtman, laki-laki bermata tajam itu.
(Bersambung …)