Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian enam)
Link bagian lima : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-5/
Karena ulahmu, cinta itu telah berubah menjadi racun paling mematikan.
Jangkrik berderik-derik di halaman, tingkah-meningkah dengan debur ombak. Sehabis makan malam, Syamil duduk-duduk di beranda rumah sambil menikmati udara malam. Rumah penginapan Ruben dan Bibi Lie adalah rumah batu yang memiliki beranda dan tempat duduk yang luas, menghadap lurus ke garis pantai. Pemiliknya adalah seorang yang ramah, sekaligus pemilik kedai kopi.
“Lebih suka Latte, Syamil?” tanya si empu rumah meletakkan secangkir kopi di hadapannya. Yang laki-laki namanya Idhar, namun Syamil memanggilnya dengan sebutan Ajo, panggilan khas Pariaman. Sedangkan istrinya, Dini, dipanggil Uniang, artinya kakak, juga panggilan khas Pariaman.
Syamil menyeruput kopinya, mengangguk. “Kopi apa ini, Ajo?” tanya Syamil. “Enak benar rasanya.”
“Itu Java Robusta, dari Malang kirimannya, baru seminggu yang lalu sampai di sini.”
“Tidak ambil di Otten?”
“Wah, tau Otten juga rupanya?” Ajo duduk di hadapan Syamil, di bangku dari rotan dan bambu, belum ada pelanggannya yang datang.
“Tau, dulu pernah riset juga sedikit-sedikit. Tapi, Ajo beli yang sudah disangrai kopinya?”
Laki-laki umur empat puluh tahun itu mengangguk. Wajahnya yang sedikit bulat dengan mata sedikit cekung itu menunjukkan keramahan. Ajo tidak terlalu kurus, juga tidak terlalu gemuk, sedang-sedang saja. Mungkin karena kebanyakan merokok yang membuat badannya begitu-begitu saja. Dia merokok dengan cara yang sangat kuno sekali, menggunakan pipa.
“Lebih enak yang sudah disangrai,” jawab Ajo. “Tidak capek-capek lagi, kita tinggal bikin kopinya saja.” Lalu dikeluarkannya pipa rokok dari saku yang serupa leher angsa itu, meliuk-liuk, antik benar kelihatannya.
“Ini namanya Horn, sudah jarang sekarang yang jual,” terang Ajo tanpa diminta. “Ah, sebentar, ada yang datang.”
Syamil tinggal sendiri, kembali menyeruput kopinya. Sejatinya bagi para pecinta kopi kelas atas, Espresso adalah segalanya, atau tidak, mungkin dengan membuat varian baru yang lebih enak lagi. Tapi bagi Syamil, dia memilih Latte karena susunya sangat banyak daripada kadar kopi dan crimie nya.
Sekarang baru pukul sepuluh, sejak tadi belum dilihatnya Bibi Lie dan Ruben. Mungkin masih dalam kamarnya masing-masing. Sedang memikir-mikirkan itu sambil memandang Ajo yang asyik dengan grinder elektriknya, hp Syamil bordering, telepon dari Arbi.
“Di mana?” katanya setelah mengangkat telepon.
“Masih di Gandoriah, menginap. Kau sendiri sudah di mana?”
“Ah, cuacanya bagus, besok pagi saja aku naik ke Merapi, mau tidur di pulau. Kau tidak jadi datang, Syamil?”
Syamil terdiam sebentar. “Urusan di sini belum siap, lain kali saja aku datang.”
Terdengar dengus kecewa di seberang sana. “Ah, sayang sekali, padahal aku dapat tangkapan besar. Ya sudah, aku mau menyimpan pancing sebentar.”
Telepon dimatikan, dari pintu depan, kaluar Bibi Lie dan Ruben, di tangan Bibi Lie ada sebuah peti kecil yang terbuat dari kayu berukir, berwarna merah dan hitam. Syamil yakin itu adalah peti naskah yang di maksudkannya.
“Wah, wah, sudah duluan rupanya. Di mana, Syamil?” Bibi Lie melirik peti di tangannya.
“Di sini saja juga tidak apa, asal Pak Cik dan Cik juga duduk di sini.”
Keduanya mengangguk. Peti kayu itu diterima Syamil dengan berdebar. Ruben langsung menghampiri Ajo, memesan dua cangkir kopi dan kembali duduk di kursi rotan itu.
“Pukul sepuluh lewat sedikit, apa dua jam selesai.”
“Ah, jangan memburunya,” bela Bibi Lie yang duduk di seberang meja. “Kita tunggu sampai jam berapa siap saja. Ajo juga baru akan tutup pukul dua nanti.”
Ruben tak menanggapi lagi. Syamil meletakkan peti itu di atas meja, dekat cangkir kopinya yang hanya tinggal separuh. Diangkatnya pengunci peti itu dan terlihatlah isinya yang sangat berharga. Berlembar-lembar kertas kuning yang sangat tua, disatukan dengan jahitan tali berwarna putih, juga ada beberapa yang tercerai dari jahitannya. Sudah terlalu tua.
Syamil memasukkan tangannya dan mengangkat naskah itu perlahan. Tulisan huruf-huruf menggunakan mesin ketik membuatnya bersemangat. Sebentar lagi dia akan mengetahui banyak sekali rahasia.
Sebelum membuka ke halaman pertama, dipandangnya Ruben dan Bibi Lie. Perempuan itu mengangguk, juga Ruben, berarti dia sudah boleh memulai debutnya.
Syamil meluruskan punggungnya pada sandaran kursi, lantas mengangkat naskah dalam pangkuannya. Namun sesaat kemudian, suara Bibi Lie mengejutkannya.
“Aha, kami hampir lupa, Syamil. Ujian terakhir yang harus kau jawab.”
Syamil menengadah, matanya menunjukkan keheranan. Ujian yang ana lagi?
“Jawaban pertanyaan siang tadi hanya sampai kau bisa melihat dan memegang naskah itu, namun untuk membacanya, sekaranglah saatnya.”
Ruben menerima dua cangkir kopi dari Ajo. Melihat tamu penginapannya yang sedang bicara serius itu, dia pun urung mendekat dan memutuskan untuk mengobrol dengan pelanggan yang lain.
“Baiklah. Apa ujiannya?” tanya Syamil yang sudah merasa dipermainkan. Padahal dia hampir saja membaca baris pertama yang ditulis oleh Alex van Helsing.
Bibi Lie menatapnya dengan tajam. “Katakan padaku sekarang, Syamil, dengan sebenar-benarnya dari lubuk hatimu. Apakah kau membenci orang-orang Belanda?”
“Tidak,” jawab Syamil cepat. “Tapi aku benci imperialisme dan kolonialisme. Aku membenci orang-orang Belanda yang melakukan itu.”
“Berarti kau membenci nenek moyangku?”
“Bukan berarti semua orang Belanda adalah nenek moyang, Cik. Banyak orang zaman dulu yang dekat dengan orang Belanda, dalam catatan sahabat, bukan sebagai mata-mata.”
Alis mata Bibi Lie hampir tertaut mendengar jawaban Syamil. Matanya nyalang menatap Syamil menunjukkan kegeramannya. “Apa kau tahu dengan peristiwa Jan Pieterzoon yang membantai para penduduk Banda hanya gara-gara menjual buah pala mereka kepada Inggris?”
Syamil menghirup napasnya dalam-dalam. Ini bukan soal main-main seperti siang atau dalam telepon lagi, saat ini Bibi Lie benar-benar menguji rasa cintanya pada tanah leluhurnya, bumi di mana dia dilahirkan, cintanya kepada Indonesia.
“Aku tahu,” ujar Syamil dengan suara yang jelas.
“Apa kau membencinya?”
“Jika ada kata-kata kasar di atas kutuk dan benci, di atas itulah kata yang harus kukalungkan padanya.”
“Apa kau pikir Indonesia sudah merdeka tahun 1945?”
“Merdeka secara kata tentu sudah, namun merdeka secara keseluruhan masih belum.”
“Apa maksudmu, Syamil? Sudah jelas-jelas Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Belanda juga sudah pulang ke negerinya. Hanya tinggal Indonesia saja. Agresi Militer Belanda I dan II sudah punah, Indonesia tinggal Indonesia. Soekarno sudah membacakannya dan semua orang juga sudah meneriakkan Indonesia Merdeka!”
Syamil merasakan darahnya mendidih ke otak. Gejolak darah mudanya begitu terpancing mendengar kata-kata Bibi Lie yang mengingatkannya kepada penjajahan Belanda zaman kolonial. Dikatupkannya giginya dengan keras, tangannya kuat mencengkeram naskah yang ada di genggamannya. Ruben hendak menengahi perseteruan mereka namun dihalangi oleh Bibi Lie dengan tatapan tajam.
Ditentangnya mata perempuan itu dengan berani. “Belanda sama sekali tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan memicu perang berdarah-darah,” jawab Syamil dengan nada yang berat. “Belanda benar-benar tak menghormati kemerdekaan Indonesia. Tahun 1949, ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan itu, namun itu bukanlah akhir dari segalanya. Belanda memaksa pemerintah Indonesia untuk membayar hutang kolonial sekitar 4,5 miliar gulden. Negaraku, negaraku … NEGARAKU SUDAH MELUNASI SEBAGIAN BESAR HUTANG ITU SAMPAI TAHUN 1956. TAPI APA?” Syamil mulai meninggikan suaranya, dia mendesis mengeluarkan kata-kata dengan cepat. “Tahun 1967, mereka membuat perjanjian baru, dan membuat Indonesia harus membayar lagi 600 juta gulden untuk mengganti perusahaan-perusahaan Belanda. Hingga pembayaran terus dilakukan sampai tahun 2002. Malang. Sungguh malang nasib negeriku ini, bagaimana dia akan maju sementara tekanan masih saja berlanjut!”
Bibi Lie tak mengatakan apa-apa lagi. Ketiganya diam sesaat, hanya gelak tawa dari meja lain yang sesekali terdengar ditingkah debur ombak yang bersahut-sahutan. Bagaikan merintih gemanya.
Hingga entah berapa menit lamanya keduanya masih saling bertatapan, lalu jatuhlah air mata Syamil ke pipinya. Bukan, bukan karena kemarahannya barusan. Namun demikian kuatnya rasa cinta itu hingga jatuh kepada kasihan. Jatuh kepada kasihan yang teramat sangat kepada orang-orang Indonesia di masa dulu. Kepada pahlawan di masa dulu. Kepada pejuang di masa dulu. Sementara dia, yang tinggal hidup enak tak menghargai kemerdekaan itu. Itulah yang ditangisinya.
Bibi Lie mengangkat tangan dengan spontan, jiwa keibuannya terjaga seketika. Dihapuskannya air mata anak muda itu dengan lengan bajunya, kemudian dia tersenyum.
“Aku akui,” katanya berubah ramah. “Kau cinta tanah airmu. Mungkin itu juga alasanmu mempelajari sejarah selama ini. Ingin menguak apa yang terjadi di masa lampau dan memutuskan orang-orang mana saja yang harus kau kutuk dan kau sanjung. Bukan kebetulan kita bertemu di dalam mobil Sinamar itu, Syamil. Aku hanya menguji batas kecintaanmu pada Indonesia, karena di dalam naskah itu, kau akan banyak menemukan kekejian yang serupa. Pembunuhan dan perilaku bejat lainnya. Aku sungguh berharap padamu, Syamil, ketika nanti kau menuliskan kisah itu kembali, janganlah jadi berat sebelah. Katakan saja apa yang terjadi dan mungkin ada beberapa hal yang memang harus disembunyikan.”
Syamil mengangguk, lalu menunduk. “Maaf ….”
“Tidak ada yang salah, Syamil. Indonesia punya pahlawan yang layak dibanggakan. Dan negeri kita Indonesia ini, tak pernah menindas bangsa lain, itulah yang harus kau ingat. Bangsamu bukan bangsa yang rakus, hingga harus menjajah tanah orang lain. Kau boleh baca naskahnya sekarang.”
Syamil mengangkat kepalanya, dia mencoba kembali mengatur napas. Ruben tersenyum padanya. Kemudian berbisik pada Bibi Lie, “Kau mengadakan pertanyaan dadakan padanya, itu tak pernah ada dalam rencana kita.”
Namun Bibi Lie hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. ‘Well, demikianlah perempuan’, mungkin begitu maksudnya.
(Bersambung …)