Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian dua)
Link bagian satu : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu/
Ketika tangan takdir menitahkan perjalanan, maka pasti tragedi sudah pula dia siapkan.
Cik Maryati menguap, lantas matanya mengerjap menatap kertas yang disodorkan Syamil padanya. Sementara suaminya, Pak Cik Kasman, hanya melirik sebentar sebelum kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan rokok.
“Oh, kita sudah sepakat tidak akan ada rokok selama di dalam mobil, Bii,” gerutu Cik Maryati.
“Kalau begitu, biar aku yang duduk di tepi jendela,” pinta suaminya. Namun Cik Maryati tak menghiraukan, dia kembali memeriksa beberapa halaman selanjutnya dari profil komunitas yang ditunjukkan Syamil.
Hujan bertambah deras, alunan musik mobil tertimbun oleh deru hujan. Saat itu mobil sudah menuruni jalan berliku dekat air terjun, sebentar lagi mungkin mereka akan melintasinya. Sayang sekali pemandangan itu tak akan terlalu jelas karena kaca mobil berubah seputih salju. Orang-orang yang duduk di deretan bangku depan sudah banyak tertidur, ada beberapa yang masih bangun namun tentu tak melakukan apa-apa, satu dua sibuk dengan handphone dan yang lainnya memilih untuk memperhatikan tasbih gantungan di bagian depan mobil yang bergoyang. Melamun.
“Menarik,” ujar Cik Maryati pertama kalinya, dia mengembalikannya kepada Syamil. “Apa yang tadi? Ah, ya. Mungkin kita bisa bercerita sedikit sebelum sampai ke Kota Padang. Ini mungkin cerita lama, tapi amat bodoh orang-orang yang melupakan sejarah. Kau siap?”
Syamil mengangguk.
“Saat itu musim dingin di Belanda, suhu selalu dibawah sepuluh derajat, seorang pemuda yang berusia dua puluh tahun tengah duduk di dalam Hooglandse Kerk. Kau tahu apa yang kusebut barusan, Syamil?”
Syamil menggeleng. “Terdengar seperti nama gereja.”
“Benar, bangunan gereja yang dibangun tahun 1314 sebagai gereja anak perusahaan dari gereja peroki Leiderdrop.” Cik Maryati menggeleng, tatapannya jauh ke masa lalu. “Tapi kita tak akan membahas gerejanya, karena kita dapat melihat anak muda itu tengah duduk dengan tenang, matanya tertutup, bibirnya menggumamkan sesuatu. Dia tengah berdoa.
“Itu adalah tahun-tahun terindah dalam hidupnya. Setelah pulang dari kantor, dia singgah di Hooglands Kerk sebelum pulang ke rumah dan mengabarkan ayahnya apa yang baru saja dia terima. Dia bernama Alex van Helsing, anak satu-satunya yang sangat berharga. Seorang PID …”
“Politie Inlichtingen Pienst,” potong Pak Cik Kasman. “Anggota intelijen Belanda.”
Cik Maryati mengangguk. “Sebuah surat bersampul cokelat digenggamnya dengan erat. Seusai berdoa, kembali dibacanya surat itu untuk yang ke sekian kalinya, lantas disimpannya di balik pakaian musim dingin yang tebal. Sepatu yang dikenakannya sepatu gunung, dan dari balik jaket wol tebal buatan Australia itu, kerah seragam PID dengan corak kehijauan sedikit mencuat, membuatnya makin bangga. Dia akan ditugaskan di Hinda Belanda mulai pekan depan, itulah yang membuat hatinya berbunga-bunga.
“Pada masa itu, banyak orang-orang Belanda berpendidikan rendah mencari kehidupan baru di tanah jajahannya. Tapi juga banyak yang datang secara terhormat untuk mengurus urusan pemerintahan. Alex misalnya, dia akan ditugaskan di Sumatra Barat untuk menyelidiki wilayah pertambangan batu bara di Ombilin, Sawahlunto. Pada masa itu, Belanda sedang menggencarkan sektor industrinya dan mengesampingkan sektor pertanian terlebih dahulu, potensi batu bara jauh lebih menjanjikan daripada kina dan kulit manis. Pembangunan Emmahaven …”
“Sekarang pelabuhan Teluk Bayur,” potong Pak Cik Kasman untuk yang kedua kalinya. Namun malah mendapat sorotan tajam dari Cik Maryati.
“Apa? aku hanya mencoba membantu,” kata Pak Cik Kasman membela dirinya.
“Iya, tapi dengan begitu konsentrasiku jadi terganggu.”
“Kalau begitu baiknya aku diam saja.” Lalu pandangannya dialihkan kepada Syamil. Berbisik, “Kisahnyaa akan panjang sekali kalau Cik Ati yang menceritakan, kalau mau diringkas aku akan menceritakannya padamu.”
Syamil hampir tertawa melihat tingkah dua orang yang baru dikenalnya itu, karena sesaat kemudian Pak Cik Kasman sudah mengaduh karena dijewer istrinya.
“Ya sudah, aku mau tidur saja.” Akhirnya Pak Cik Kasman sedikit menggeser duduk, memakai penutup kepala jaketnya dan mulai memejamkan mata. Namun Syamil yakin laki-laki itu sama sekali tidak ingin tidur, sekalipun dia telah mengetahui ceritanya.
“Alex sudah lama terpesona dengan tanah Hindia Belanda.” Cik Maryati kembali melanjutkan, suaranya jelas meski hujan turun dengan deras. “Alex van Helsing telah mendengar cerita dari pamannya dulu bagaimana orang-orang di sana bersosialisi. Tapi, Syamil, apa kau tahu dengan aturan nama Belanda?”
Syamil tidak mungkin menggeleng kali ini, dia pecinta sejarah kelas pemula. “Um, kalau tidak salah van mengisyaratkan kepada tempat asal atau leluhurnya, seperti Ludwig van Beethoven, Rembrandt van Rijn dan lainnya. Masih ada aturan lain seperti pendidikan semisal van Tra. Tidak terlalu mengerti, hanya sekilas saja,” ujarnya.
“Bagus, itu sudah membantu. Jadi, pemuda Belanda itu lalu pulang menemui ayahnya dan memberikan surat cokelat itu.
“’Ke Hindia belanda?’ ulang ayahnya seakan tak percaya setelah membaca surat itu.
“’Pekan depan, dengan kapal berkekuatan 17 knot,’ jawab Alex sambil menghempaskan diri duduk di kursi dekat perapian. Dibiarkannya ayahnya membaca surat itu sekali lagi sementara dirinya sibuk mengambil satu buku dari rak buku milik ayahnya. Sebuah buku yang sangat berharga. Ditulis oleh orang Belanda, namun isinya membela orang-orang Hindia Belanda itu. Aneh.
“’Alex,’ ujar ayahnya. ‘Ini bukan kabar baik, jika kau pergi ke negeri yang jauh itu dan melaksanakan tugas, aku tidak dapat menemukan dalam surat ini kapan kau akan dipulangkan. Bisa jadi berminggu-minggu, bisa jadi bertahun-tahun.’
“’Ayah tidak perlu merisaukan itu, keperluan ayah akan dijamin oleh kerajaan, juga kehidupanku di sana nantinya. Tugasku tidak terlalu susah, mengingat tingkat kecerdasan orang-orang Hindia Belanda itu.’
“Ayahnya menggeleng. ‘Aku tidak ingin menyerahkan anak satu-satunya yang kumiliki kepada kerajaan. Kau sudah tahu itu sejak lama, Alex. Selain itu, pertunangan kau dengan Annie juga akan dilaksanakan dua bulan lagi. Apa yang sebetulnya sedang kau cari?’
“’Aku hanya ingin mencari pengalaman saja, Ayah. Tiga bulan lagi aku akan pulang, menikahi Annie dan kami akan kembali ke Hindia Belanda jika keadaannya lebih baik di sana. Kita bertiga juga bisa berlayar bersama ke tanah itu, tanah yang diibaratkan sebagai jambrut katulistiwa oleh pengarang buku ini.’ Alex mengangkat buku bersampul cokelat susu di tangannya, buku yang sudah lama disanjungnya sebagai bahan pertimbangan siapa yang akan dia bela kelak. Itulah buku Max Havelaar yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan nama samaran sebagai Multatuli.
“Ayahnya mendesah, meletakkan surat di atas meja pendek dan melemparkan beberapa potong kayu ke dalam perapian. ‘Apa kau tahu mengapa kau kuberi nama sebagai van Helsing?’ ujarnya.
“Alex mengangguk. ‘Ayah memberiku nama demikian karena terinspirasi dari novel Gothic Dracula tahun 1897, Abraham van Helsing, seorang dokter Belanda dan pemburu vampir.’
“’Benar, tapi tidak sampai di situ saja. Pekerjaan berbahaya sedang menantimu, Alex. Kau memaksaku untuk memilih sesuatu yang tak dapat kupilih. Pulanglah dengan selamat, sudah kudengar kabar belakangan ini orang-orang Hindia Belanda yang bersekolah mulai membangun organisai-organisasi cinta tanah air. Merhati-hatilah, mereka mungkin sedang berusaha untuk membebaskan diri setelah lama dijajah.’ Ayahnya berhenti bicara sebentar. ‘Kembalilah sebelum tanggal yang sudah kita tetapkan. Apakah kau sudah memberitahu Annie?’
“Alex mengangguk. ‘Aku sudah memberitahunya. Kami sepakat setelah menikah nanti juga akan berlayar ke Hindia Belanda.’
“Ayah Alex memeluk anaknya, menepuk pundaknya dengan lembut, merelakan anak satu-satunya melaksanakan tugas mulia yang dia tidak mungkin bisa mencegahnya. ‘Tuhan memberkatimu, Alex. Tuhan memberkatimu,’ ujar ayahnya berulang kali. Tak terasa air mata orang tua itu tumpah dari kulitnya yang keriput. Entahlah, dia merasa bahwa itu adalah kali terakhir dia memeluk anaknya.”
Cik Maryati terdiam, ditariknya napas dalam-dalam lalu dihempaskannya dengan gusar. Apakah yang di maksudnya dengan mengulang kisah lama tadi? Apakah Syamil telah salah memintanya bercerita? Tidak, meskipun berat harus mengulangnya lagi, perempuan itu telah berdamai dengan hatinya.
Saat itu mobil sudah habis melewati kawasan Lembah Anai, jalan lurus di Sicincin menanti mereka. Hujan pun sudah sedikit jarang, namun di kiri kanan jalan, di depan toko-toko, masih banyak pengendara motor yang berteduh.
“Masih sanggup?” Tiba-tiba Pak Cik Kasman bersuara. “Sejujurnya cerita itu, ‘kan, yang selalu kita pertanyakan?”
Cik Maryati diam saja. Lalu berpaling kepada Syamil. “Jika mau, datanglah ke Gandoriah minggu depan, Syamil. Aku akan menceritakan selengkapnya kisah ini. Terlalu berharga untuk kuceritakan sebetulnya, tapi apa boleh buat, setelah melihat profil komunitas yang tadi, aku jadi tergerak untuk menceritakan kisah lama itu. Siapa tahu suatu hari nanti dia akan abadi.”
Syamil sedikit heran dengan pernyataan dua orang itu. Namun dia tak boleh menebak-nebak, diberikannya nomor hanphone dan dia bertanya sedikit-sedikit mengenai Alex yang baru saja diketahuinya.
“Apakah Alex akan membela Hindia Belanda seperti Douwes Dekker?” tanyanya.
“Ah, rupanya kau orang yang tidak sabar juga, Syamil. Minggu depan, minggu depan akan kuceritakan.”
(Bersambung …)