Catatan : Kamsul Hasan, SH, MH
Ada empat hal soal anak berhadapan dengan hukum (ABDH) yang belum dipahami masyarakat pers.
Sejak lama masyarakat pers memahami definisi anak dari KUHP, peninggalan Belanda dan dijadikan landasan etik.
Jadilah saat merumuskan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada tahun 2006 digunakan KUHP dan UU Perkawinan.
Definisi anak pada Pasal 5 KEJ adalah ;
1. Usia belum genap 16 tahun.
2. Belum pernah menikah
3. Sebagai pelaku tindak pidana
4. Masih hidup
Pasal 5 KEJ ini, digigit gigi geraham sangat keras menjadi pegangan newsroom dan wartawan.
Itu terlihat sampai saat ini bila membaca media arus utama mengenai anak yang tewas setelah makan sate.
Padahal Dewan Pers pada HPN, tanggal 9 Februari 2019 sudah tetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), koreksi Pasal 5 KEJ.
Inti dari PPRA yang bersumber dari Pasal 19 Jo. Pasal 97 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah ;
1. Usia anak 0 sampai belum genap 18 tahun, bukan 16 tahun seperti KUHP.
2. Meski sudah menikah, bahkan memiliki anak bila belum genap 18 tahun tetap mendapatkan hak sebagai anak.
3. Status hukum anak bukan hanya sebagai pelaku tetapi juga korban atau saksi tindak pidana (Anak Berhadapan Dengan Hukum).
4. Baik masih hidup atau pun sudah meninggal dunia.
Saat perumusan menjadi perdebatan panjang, “Kenapa anak yang sudah meninggal dunia, masih tetap dilindungi ?”
Akhirnya tim perumus yang merupakan konstituen Dewan Pers dan uji publik pada masyarakat luas menyetujui identitas anak yang sudah meninggal pun dilindungi.
Dasarnya adalah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sejak dalam kandungan (0 tahun) sampai belum genap 18 tahun.
Sosialisasi PPRA dan pidana UU SPPA masih perlu dilakukan seperti pada foto ilustrasi di atas !
(Jakarta 16 Ramadhan 1412 H – 28 April 2021)
Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014.