Oleh : Azizan Arjun
“KUA gak terima pendaftaran nikah sampai 2021.”
Chat singkat sahabatku ini memang melulu membahas nikah. Mentang-mentang dia sudah menikah, tiap kali chat selalu menanyakan statusku yang belum berubah-ubah.
“Ditunda lagi nikahnya, ya, sabar dulu ngejomblo-ngenesnya tujuh bulan lagi, hahaha.” Iya, dia kalau tertawa memang suka paling ikhlas, apalagi mentertawakan kejombloanku yang sudah bertahun-tahun setelah aku menolak lamaran pacarku sendiri. Ya, tidak jodoh saja, kurasa.
Aku Vira Fahira, wanita 25 tahun dengan status percintaan ‘jomblo dan status pekerjaan nganggur. Pengen daftar Kartu Pra-Kerja, tapi aku bosan berurusan dengan semua berkasnya; foto, NIK, KK, ijazah terakhir, dan yang paling parah adalah CV. Curikulum Vitae memang masih jadi misteri bagiku. Walau hanya selembar, tapi untuk mengisinya aku selalu terdiam, terpaku seperti sedang menatap Oppa Korea, bukan karena beningnya, tapi karena bingungnya aku tiap mulai mengisi bagian-bagian CV. Nama, aku punya. Email, ada. Jenjang Pendidikan, aman. Lengkap dengan IPK, oke. Bagian yang membingungkanku adalah “Pelatihan yang pernah diikuti”. Haruskahku isi dengan berlatih melupakannya? atau berlatih menerima kenyataan bahwa dia bukan jodohku? Aku tidak tahu harus mengisi dengan kejujuran atau kepalsuan cinta yang selama ini kulakoni.
Setamat kuliah, aku bekerja sebagai Guru SD selama dua tahun. Kemudian kuputuskan merantau ke Ibukota, mencoba menghilang dari segala hiruk-pikuk masa lalu dan kenangan.
Di Ibukota, aku tinggal bersama Om Andi dan Tante Dian serta dua orang anaknya, Hasbi yang baru tamat SMA dan Hani yang lebih muda setahun dariku, tanpa melakukan pelatihan apa-apa. Kalau terlatih memasak untuk satu keluarga alias ibu rumah tangga, aku bisa. Tapi apa itu “Pelatihan” yang dimaksud? Jelas tidak.
Bagian lain yang membingungkanku adalah “Keahlian atau Skill”. Ya Tuhan, aku ini manusia biasa yang tak sempurna dan sering salah, namun di hatiku hanya satu, cinta untukmu luar biasa, (yang baca sambil nyanyi, kalah). Keahlianku hanya mencintaimu, Oppa Lee Min Hoo, Saranghae. Atau aku harus isi dengan pura-pura bahagia’? Ah sudahlah. Hingga dari Januari sampai sekarang, aku tidak pernah berhasil merampungkan CV-ku.
Sudah tengah Ramadhan, sisa Ramadhan ini berbanding lurus dengan sisa waktuku untuk menentukan apakah nanti setelah pulang kampung aku bisa membawa alasan kembali ke Ibukota atau kuhabiskan waktu di kampung untuk kembali berpikir aku mau jadi apa. Ternyata berada di usia dewasa itu benar-benar melelahkan.
Aku kembali terfikir tentang pernikahan. Ya, hal-hal yang membuatku jadi memikirkan pernikahan bukanlah cinta, melainkan kegalauan akan keberlangsungan hidupku nanti. Jika memang aku tidak punya pekerjaan, ya lebih baik menikah saja, setidaknya ada yang aku urus dan waktuku jadi tidak sia-sia dari sekedar memikirkan kebingunganku yang selalu buntu.
Kalian tanya calon? Ada, wong aku cantik. Namun masalahnya, jika tadi ketika aku bingung memikirkan pekerjaan, lalu aku menjadikan pernikahan sebagai pelarian, dan jika aku memang harus disuruh memikirkan pernikahan, maka yang tergambar jelas di benakku adalah trauma.
Ya, aku trauma dengan pernikahan dan segala hal mengenai pra dan pascanya. Bukan karena aku telah pernah menikah lalu gagal, tapi karena banyak pernikahan gagal yang aku temui di sekitarku, hingga aku benar-benar takut untuk melangkah ke sana.
Kadang aku sedikit bersyukur dengan adanya wabah corona ini. Setidaknya alasanku untuk belum menikah jadi logis, memang larangan pemerintah untuk tidak mengadakan acara kerumunan semacam perhelatan, seperti pernikahan. Walau tetap banyak yang mengadakan dengan alasan lebih hemat.
“Jadi, kapan kamu nikah, Ra?” Hani memulai percakapan disela masak-memasak sore itu.
“Lagi corona, nggak boleh nikah.”
“Justru bagus tahu, nikah sekarang lebih hemat, gak bakal dinyinyir kenapa gak pakai pesta, mereka bakal paham sendiri.”
“Kalau nggak pesta, ga ada tamu, otomatis nggak ada kado, kan? Niat untung malah buntung, harusnya bisa dapat kompor gas, dispenser, bed cover, televisi, Alphard ….”
“Artis kali yang kadonya segede gitu,” sanggahnya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.
“Nah, justru itu, karena kita bukan artis, makanya ngumpulin kado kecil-kecilan itu perlu.”
“Iya juga, ya.”
“Ya iyalah, ngirit pengeluaran awal berumah tangga.”
“Betul, betul, betul.” Akhirnya ia menyerah dengan argumenku.
Beberapa saat kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Eh, Ra, kalau mau keluar rumah mesti hati-hati,” katanya kemudian.
“Kenapa? karena jidat ditembak dan badan disemprot?”
“Bukan, Ra, itu mah udah biasa, mana akang yang nembaknya ganteng, gemes deh pengen ditembak beneran,” centilnya meluap.
“Terus kenapa?”
“Jadi gini, banyak preman yang malaknya sadis, Ra,” ujarnya menyipitkan mata.
“Sadis gimana? Begal gitu?” tanyaku heran.
“Ya kamu tahu kan, Ra, masa pandemi ini kita disuruh di rumah aja, pasar-pasar ditutup, jalanan sepi. Jadi preman-preman yang biasanya ngamen di pasar, mereka nggak ada pemasukan. Nah, mereka ngamuk gitu, aparat aja nggak berani ngelawan,” tuturnya.
“Sadisnya di mana?”
“Mereka bakal minta uang sama siapapun. Kalau dikasih dikit, minta banyak, kalau nggak dikasih mereka ngancam pakai benda berbau tajam, ih serem.”
“Duren maksudnya?”
“Ya ampun, Ra, pisau lo pisau, celurit, kapak, golok,” jawabnya jengah.
“Weh, serem juga ya.”
“Iya, makanya kamu hati-hati kalau belanja ke minimarket, ya, takutnya mereka udah sampai sini,” pesannya.
Selepas berbuka dan tarawih, kami duduk sembari menonton TV yang isinya berita seputar corona.
“Parah gila! Nambah lagi yang positif, gila! gila!” Selalu begitu respon Om Andi menyaksikan berita corona berseliweran.
Beberapa saat hanya suara TV yang menggebu melaporkan berita tiada henti. Entah kapan keadaan pulih kembali. Apa sebenarnya corona ini? Sudah seperti di film-film saja. Apa benar, corona ini seperti yang diberitakan? Atau bahkan lebih parah? Apa corona hanya virus atau senjata biologis untuk memusnahkan manusia secara massal? Apa benar ada hubungannya dengan kaum elit-politik global dan teori konspirasi? Benar-benar membingungkan.
“Ira, tadi mamamu nelpon Om.”
“Oh, mama bilang apa, Om?”
“Mamamu bilang, kalau sebelum lebaran ini kamu belum dapat pekerjaan yang cocok di sini, kamu pulang saja, Om antar, dan …” Om Andi menghentikan ucapannya.
“Dan?” Tanyaku kemudian.
“Ada lelaki yang datang ke rumah nanyain kamu,” jawab Om Andi dengan mata yang terus menatap TV.
Aku terdiam. Salah satu alasanku ke kota ini tahun lalu adalah menghindari pembahasan-pembahasan yang akan mengarah kepada pernikahan, dan sekarang semua tempat menjadi sama saja.
“Pernikahan itu derita. Kalau memang pernikahan itu sesuatu yang baik, laki-laki baik itu memang ada, kenapa kak Lia berantem dan nangis mulu? Kenapa kak Rindu sampai sakit dan dicerai suaminya padahal baru lahiran anak pertama? Pernikahan itu perbudakan dan derita yang disusun hari demi hari. Aku nggak percaya pernikahan!” ucapku datar namun hatiku sakit.
“Kamu jangan lihat yang gagalnya saja, Ra. Banyak pernikahan baik-baik saja sampai berpuluh tahun kok, mama dan papamu contohnya, Om dan Tante Dian. Kamu keliru kalau hanya menilai pernikahan dari yang jelek-jeleknya saja,” jelas Om Andi.
“Nggak ada yang benar baik-baik saja dalam sebuah pernikahan. Semuanya hanya luka yang coba ditekan agar tidak mengalirkan darah, namun rasa sakitnya tetap saja menikam,” bantahku.
Seketika suasana tegang, hanya TV yang berani bersuara mengabaikan luka lamaku yang kembali menganga. Aku yang hampir menitikkan air mata berjalan menuju kamar, lalu kembali dengan jaket dan tas. Kuambil kunci motor dan meninggalkan rumah dengan menahan tangis.
Masih sempat kudengar panggilan Om Andi dan Tante Dian yang melarang kupergi. Namun kuabaikan, aku tetap pergi melaju keluar gang tanpa tujuan, yang jelas keluar saja dulu, batinku.
Aku berhenti di sebuah minimarket, membeli beberapa minuman soda, karena kurasa minuman soda ampuh membuang masalah-masalah di otakku lewat sendawa-sendawa panjang berkali-kali. Aku duduk di bangku depan minimarket dengan pandangan kosong.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, hanya ada beberapa orang yang berdatangan untuk berbelanja, bisa dibilang sepi, namun kakiku masih enggan untuk beranjak pergi. Panggilan telepon dari Om Andi kuabaikan.
Aku hanya ingin tenang. Entah mengapa pernikahan begitu kelam dalam pandanganku. Rasanya aku ingin berteriak meneriaki ketakutanku atas hal yang tak wajar. Aku ingin berteriak, meneriaki pikiranku yang susah diajak kompromi untuk positif memandang pernikahan. Aku ingin berteriak, meneriaki teriakanku yang bisu.
Tiba-tiba segerombolan orang datang dan memasuki minimarket dengan wajah yang tak santai. Jumlahnya lebih sepuluh orang, tak begitu kuperhatikan karena kepalaku sudah terasa pusing. Bagaimana tidak, sudah tiga botol minuman soda yang kutenggak dalam waktu singkat, bahkan di tanganku ada botol keempat yang isinya tinggal separo. Benar-benar kembung dan teler aku dibuatnya.
Di dalam minimarket kudengar ada keributan. Kulihat wajah kasir yang ketakutan, namun aku terlalu malas untuk mengetahui apa yang terjadi. Seketika aku teringat cerita Hani tentang preman sadis, namun tak sepenuhnya aku menyadari apa yang akan kuhadapi.
“Eh, Mbak.” Tanpa kusadari dua orang preman itu sudah berada tepat di depanku. Aku linglung, kepalaku terasa sangat sakit dan pusing seperti mau pingsan.
“Beri kami uang dan Mbak boleh pergi!” ancam salah seorang preman dengan nada keras.
Aku mencoba mencerna ucapannya, namun mataku buram dan aku benar-benar merasa mau pingsan. Tiba-tiba darah segar mengalir dari hidungku.
“Loh, Mbaknya mimisan,” kata preman kedua sedikit prihatin.
“Kang, Mbak ini mimisan, dia corona,” kata preman pertama memanggil kawanannya di dalam minimarket.
Mereka berdatangan menghampiriku, tapi tidak berani mendekat.
“Ini bukan corona. Lihat tuh, kebanyakan minum minuman soda mbaknya ini, makanya mimisan,” jelas preman keempat dengan yakin.
“Mungkin mbaknya banyak masalah kali, ya,” tebak preman lain. Aku mengusap darah di hidungku dengan mata meram-melek menahan sakit di kepalaku.
“Mbaknya bisa dengar kami, gak?”
Melihat keadaanku yang sudah sangat teler, preman ketiga mencoba menyadarkanku, tapi terlambat, aku sudah pingsan duluan.
Beruntungnya, para preman itu membawaku ke rumah sakit terdekat dengan mengabaikan physical distancing karena menurut mereka aku mimisan akibat banyak minum minuman soda.
Besok harinya, dokter malah menvonis aku positif corona. Bagaimana nasib preman itu, ya? Semoga imunitas tubuh mereka kuat dan coronaku tidak menular ke mereka dan mereka tidak menularkan ke orang lain. Kalau menular dan mereka positif juga, kan bahaya.
Bisa-bisa Om Andi akan bilang “Gila! Nambah lagi yang positif, parah gila!”
Tapi setidaknya di ruang isolasi ini tidak ada pembahasan seputar pernikahan yang kudengar. Telingaku aman. Tapi, nyawaku? Entahlah.
Biodata Penulis.
Kenalan yuk sama kak Nur Azizah. Azizan Arjun adalah nama pena. Ia berasal dari kaki Gunung Marapi di pedalaman Sumatera Barat, tepatnya daerah Kabupaten Tanah Datar, dan berdomisili di Data, Nan II Suku Salimpaung, Kec. Salimpaung, Kab. Tanah Datar, Sumatera Barat. Kesenangannya dengan dunia tulis-menulis terlihat sejak kecil dan pernah rutin belajar di Rumah Puisi Taufik Ismail semasa SMA. Telah menerbitkan beberapa Antologi puisi dan cerpen dari beberapa lomba sastra yang pernah diikutinya.