Terkait berkembangnya rumor telah mengambil tanah Kota Solok, Walinagari Aripan Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok, Irwan mengatakan itu tidaklah benar. Namun untuk memperjelas batas-batas wilayah Nagari Aripan adalah salah satu misi walinagari dalam memperjuangkan harapan masyarakat Nagari Aripan.
Hal itu dikatakan oleh Walinagari Aripan Irwan, dan didampingi oleh Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Aripan Herman Datuak Batuah, saat didatangi oleh TopSumbar.co.id di Kantor Walinagari Aripan Sementara, Rabu (24/2/201).
“Sebagai walinagari dan yang telah diamanatkan oleh masyarakat Aripan, kita telah bersepakat bersama Ketua KAN Aripan untuk ‘mangameh an nan tacicie, mangumpua an nan taserak’. Artinya jika hak kami, maka kembali ke kami namun kami juga takkan mengambil hak orang lain,” kata Irwan.
Irwan menegaskan, jika itu hak kami, “tanah sabingkah rumpuik sahalai” akan kami perjuangkan dan tidak ada niat untuk menghilangkan hak orang lain. Melalui waris yang kami terima dari tetua, berdasarkan data dan fakta, jauh bisa ditunjukkan dekat bisa diperlihatkan.
“Tidak ada sejengkal tanah pun di Ranah Minang ini yang tidak ada pemiliknya, dan tentunya pemiliknya adalah kaum di bawah kepemimpinan datuak atau penghulu suku,” jelasnya.
Lebih lanjut Irwan menyebutkan, terkait untuk memperjelas batas wilayah dengan Kota Solok, kami sudah berkoordinasi dengan KAN dan seluruh niniak mamak dalam Nagari Aripan beserta dengan yang punya tanah ulayat.
“Seperti yang termasuk kedalam persoalan sekarang ini tanah kepunyaan Kaum Datuak Parpatieh yang dibuktikan dengan adanya surat pada tahun 1964, dimana diterangkan dalam surat tersebut berjualbeli dengan Salim Panji Alam, orang tua dari Amnasmen Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat (Sumbar),” ungkapnya.
Beliau masih hidup, lanjutnya, dan beliau mengakui serta buktinya pun masih ada sampai sekarang. Kami bukan mengklaim ataupun mengambil tanah Kota Solok seperti yang diisukan sekarang, dimana Walinagari Aripan merampas tanah kota dan segala macamnya itu tidaklah benar.
“Kami ingin memperjelas hak kami, malah orang yang dari kota tersebut datang ke Aripan seperti Mariadi dengan disertai surat keterangan darinya dimana surat itu menyebutkan bahwa ia telah menempati tanah tersebut sejak tahun 1940, dimana Indonesia belum merdeka dan dia sudah tinggal disana bersama orang tuanya,” ungkapnya lagi.
Diterangkan Irwan, Mariadi datang ke Aripan dan menyatakan sejak tahun 1940 sudah tinggal disitu dan tidak bisa membuat sertifikat dikarenakan orang Kota Solok mengatakan tanah tersebut tanah “rakauldasi” sebanyak 240 hektar. Ditambah dengan yang menyuruh tinggal di tanah tersebut adalah Angku Imam Ja’u pada tahun 1953, dimana pada tahun tersebut Angku Imam Ja’u menjabat sebagai Walinagari Aripan.
“Jadi tidak ada Walinagari Aripan mengambil tanah Kota Solok, malah terbalik dimana yang terjadi sekarang ini tanah di Wilayah Aripan yang diambil oleh kota. Namun yang terjadi dimasa lalu biarlah berlalu, tapi untuk sekarang ini harus kita perbaiki,” tutupnya.
Kami telah menyurati Pemerintah Kota (Pemko) Solok, insya Allah secepatnya diadakan pertemuan dan duduk bersama. Ini harus diselesaikan secara baik-baik dan kekeluargaan serta harus dengan berkepala dingin.
Pada kesempatan itu, Ketua KAN Aripan Herman Datuak Batuah juga mengatakan jika kita membicarakan tapal batas, “sepanjang pusako ditarimo warih nan dijawek”, daerah yang dikuasai secara “ganggam lah baruntuntuak dari dahulu sampai kini, itu jauah bisa ditunjuak an dakek bisa diliek an san dikakok”.
“Aue Baririk, Banda Balantai, Banda Tatagak Ujuang Karang itu sangat kuat dan dikuasai sampai sekarang ini. Dalam sawah taruko niniak kami Angku Imam, ado Talago Duo Rimbo Rangik, sedangkan Transad itu tempat aslinya bernama Tabek Sianik,” terang Herman Datuak Batuah.
Dijelaskannya, Transad itu adalah Transmigrasi Angkatan Darat, dan yang menyerahkan tanah di Transad itu adalah Kaum Suku Jambak dibawah Datuak Tampatiah termasuk juga orang tua Amnasmen tersebut.
“Di Minang indak ado harato tunjuak, tandonyo kito ado bungkuih kasan pangabek, jajak kasan panunggu tando basasok bajarami ado sawah kami di situ yang ditaruko oleh niniak kami dimano ado nan basah dan ado nan kariang,” sebutnya.
Kami tidak ada maksud untuk mengusir saudara-saudara kita berada disitu, paparnya, baik pun itu datang dari Jawa ataupun dari daerah lain. Namun, tentang hak kami ini harus dijelaskan, bahwa di Minangkabau ini tidak ada “harato tunjuak”, dan terkait masalah administrasi kabupaten kota itu urusannya lain pula.
“Yang jelas secara adat di Minangkabau ini yang namanya ‘Sako dan Pusako’ itu tidak bisa dibagikan ataupun diturunkan begitu saja,” pungkasnya. (Syafri)