Oleh : *) Miko Kamal, SH, LL.M, Ph.D
Tiga menteri terlongsong. Mereka menyikapi keluhan orang tua Jeni Cahyani Hia, siswi SMKN 2 Padang, secara berkelebihan. Elianu Hia (orang tua Jeni), hanya mempermasalahkan anaknya yang non-muslim disuruh berkerudung di sekolah.
3 Menteri, melalui SKB 3 Menteri, justeru mengeluarkan kebijakan lain. Lebih dari yang diminta. Dalam praktik di dunia hukum, kolega saya sering menyebutnya _Ultra Petita_.
Tak percaya? Bacalah dengan agak cermat Diktum KETIGA Surat Keputusan 3 Menteri yang dikeluarkan tanggal 03 Februari 2021 itu.
Agar lebih cepat paham, biarlah Saya bantu mengutipnya : _’Dalam rangka melindungi hak peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau atau melarang penggunaan pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu’._
Diktum ke 3 ini hadir dengan maksud melindungi hak peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Hak apa yang dilindungi? Jawabannya ada di Diktum KEDUA, yaitu hak kebebasan memilih seragam dan atribut yang diinginkan. Apakah pakaian seragam dan atribut itu dengan kekhasan atau tidak dengan kekhasan agama tertentu (Diktum ke SATU).
Agak rumit ya, kalimat-kalimat Saya di atas? Supaya lebih jelas, Saya beri contoh saja.
Kepala sekolah di sebuah SMA Negeri adalah seorang pemeluk Islam. Agak taat beragama. Sekitar 95% murid, pendidik dan tenaga kependidikannya beragama Islam. Karena kepala sekolah paham dengan adab berpakaian menurut tuntunan syariah yang benar, beliau membuat himbauan.
Imbauannya, semua muslimah di lingkungan sekolahnya agar berkerudung ke sekolah. Menurut 3 Menteri, himbauan itu salah. Tidak dibolehkan. Sebab, dengan himbauan itu para perempuan muslimah di lingkungan sekolah sedang dilanggar hak mereka. Hak untuk tidak berkerudung ke sekolah.
Sudah jelas keterlongsongan Menteri Nadiem, Menteri Tito dan Menteri Yaqut kan?
Jika masih ragu-ragu juga, mari lebih Saya sederhanakan; mereka bertiga tidak hanya melarang kepala sekolah untuk mengimbau (apalagi mewajibkan, memerintahkan dan mensyaratkan) perempuan-perempuan non-islam di sekolahnya untuk berkerudung (sebagaimana tuntutan Elianu Hia), tapi juga melarang kepala sekolah mengimbau muslimah berpakaian sesuai syariah ke sekolah.
Perlu juga dipahami, beleid ini tidak hanya berlaku untuk sekolah-sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah. Tapi juga berlaku bagi sekolah agama negeri serupa Madrasah Tsnawiyah Negeri atau Madrasah Aliyah Negeri.
Mungkin ada yang bertanya; tidakkah mungkin ketiga menteri itu hanya dikerjai anak buahnya (misal, mereka juga menjalankan prinsip _I do not read what I signed_) ketika menandatangani beleid itu?
Menurut Saya tidak. Sebab, ketiga menteri itu dengan sadar menjadikan seragam dan atribut sekolah sebagai salah satu perwujudan moderasi beragama dan toleransi keragaman agama sebagai konsep dasarnya. Bacalah poin c konsideran menimbang SKB 3 Menteri itu.
Sekarang apa akal lagi? Kita umat berbagi tugas saja. Bagi yang sedang memegang kuasa, silakan gunakan kekuasaannya.
Para wakil rakyat (di pusat maupun di daerah) silakan bersuara sekeras-kerasnya. Karena gaji dan tunjangan yang anda terima saban bulan memang untuk itu.
Kalangan eksekutif tingkat bawah juga silakan berjuang sesuai porsi masing-masing.
Lingkungan keluarga juga begitu. Kepala keluarga harus semakin ketat menjaga perempuan-perempuan mereka. Sebab, ada atau tidak ada SKB 3 Menteri ini, kewajiban utama menjaga para perempuan memang ada di keluarga masing-masing.
Selagi berkerudung ke sekolah belum dilarang, ketatkanlah aturan internal di rumah masing-masing.
Saya juga berjuang. Melalui tulisan. Di atas sedikit perjuangan selemah-lemahnya iman.
Satu hal yang harus dipahami, dalam konteks SKB 3 Menteri ini, Pemerintah sekarang memang kurang suka dengan hal-hal yang berbau syariah.
Hanya Provinsi Aceh yang dikecualikan; dibolehkan bersyariah dalam berseragam dan beratribut. Itu fakta. Kecuali soal waqaf. Mau apa lagi.
Satu lagi, terakhir, mungkin banyak pembaca yang tidak familiar dengan diksi terlongsong.
Saya maklum. Ini bahasa kampung Saya yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia resmi. Artinya terlebih atau terlampau. Elianu Hia minta 1, 3 Menteri justeru memberi lebih.
— habis —
Padang, (07/2/2021)
*). Legal Governance Specialist