Oleh : Hasbunallah Haris
Ketika aku menatap pigura yang tergantung di ruang tamu rumah, aku tak menemukan sosok dia yang telah melahirkanku. Nenek memberitahuku bahwa ibu demam tinggi ketika hari penerimaan ijazahnya. Ibuku tamatan PGA (Pendidikan Guru Agama) di Solok, tak banyak orang kampung kami yang mengenyam pendidikan setinggi ibu. Entah karena belum sadar akan pentingnya pendidikan atau biaya yang tidak punya.
Sejujurnya aku sangat menyukai ibuku, dia perempuan muda yang sangat ambisius, telaten, cerdas dan pandai mengatur segalanya. Barangkali tempaan semasa sekolah dahulu yang menjadikannya seorang perempuan yang disiplin dan penuh tekad. Setiap pagi ibu akan membangunkanku dan menarikku untuk salat ke surau, lantas tergesa-gesa meneriakiku untuk segera mandi sementara dia menyiapkan sarapan untuk kami. Jika kau datang sedikit lebih pagi ke rumah kami yang sederhana itu, kau akan mencium aroma seduhan kopi panas, bau goreng telur dadar dalam minyak mendidih, suara air mandi dan selingan teriakan ibuku memberitahukan sudah jam berapa sekarang.
Setelah mandi, biasanya ibulah yang akan mengambil alih kamar mandi sementara aku bersiap memakai seragam sekolahku yang sudah tergantung rapi di depan lemari kamar, lengkap dengan dasi dan tas sandang sampingku yang sudah terisi buku. Ibuku sangat luar biasa.
Pukul tujuh pagi, aku, ibuku, nenek dan Opi—kakakku—akan sarapan bersama. Lalu kami semua pamitan hendak ke sekolah. Ibuku menjadi kepala sekolah di SD-ku, kakakku sudah masuk SMP dan satu cawu lagi dia akan tamat. Maka tinggallah nenekku yang sudah berumur delapan puluh tahun seorang diri, bersama seekor kucing oren yang kami beri nama Opus. Pada mulanya kakakku sangat keberatan dengan nama itu, namun karena kami semua sudah memanggilnya begitu dan dia menurut, kakak jadi tak bisa berkata apa-apa lagi.
Sekolah kami juga tidak terlalu buruk. Seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan dibagi per kelas dengan pembatas seperti pembatas kedai minum Tong Toha. Aku datang dibonceng ibuku dengan sepeda ontel. Jika semua murid sudah datang dan guru-guru mulai memasuki kelas sambil memngapit buku dan membawa rol kayu yang sangat panjang, kau dapat menemukan berbagai macam merek sepeda terparkir di halaman sekolah, dijaga sepanjang hari oleh Bang Ujang di pos jaganya sambil terkantuk-kantuk.
“Nah, Afdhal, siapkan.” Bu guru Tuti masuk kelas. Beliau adalah guru BAM (Budaya Alam Minangkabau) di sekolah kami, sudah berpuluh tahun mengajar namun belum juga jadi pegawai.
Afdhal sebagai ketua kelas segera melipat tangannya rapi di atas meja, lalu berteriak, “Siap grak, hormat grak, tegak grak … berdoa mulai.”
Keenam kelas biasanya akan sahut menyahut membaca doa sebelum belajar, tergantung jam masuk gurunya. Aku yang duduk di kelas lima sangat menyukai pelajaran ini, selain untuk mengenalkan sejarah suku sendiri sejak kecil juga diajarkan bagaimana menjadi orang Minang yang sesungguhnya.
“Nah, anak-anak …” Bu Tuti seperti biasanya membuka buku besar yang entah sudah turunan ke berapa karena kelihatan sangat tua, lantas mulai berjalan pelan ke depan kelas sambil sesekali membenarkan letak kacamatanya yang sudah rapi. Beliau akan memberikan kuis singkat kepada kami sebelum belajar, pertanyaannya selalu mengenai pelajaran yang telah berlalu, inilah salah satu yang paling kusuka dari cara mengajar Bu Tuti.
Beliau berhenti di meja Abdur. “Nah, Abdur, desa apakah yang paling tua di Minangkabau ini?”
Abdur menegang seketika. Aku tahu dia semalam menonton layar tancap di kedai minum Tong Toha hinga larut dan tak akan menyentuh buku pelajaran. Ada film India bagus malam tadi, kisah tentang anak tentara yang sangat cantik jatuh hati pada bawahan ayahnya. Sang ayah yang berkumis tebal tak menyetujui hubungan itu namun anaknya yang cantik malah memilih lari dari rumah. Puncaknya ketika sang ayah menemukan calon menantu yang melarikan anak gadisnya itu dan langsung menembaknya hingga tewas. Anak gadisnya yang menyaksikan tak terima dan memilih untuk bunuh diri.Kisah yang sangat buruk sekali untuk anak kelas lima SD seperti kami.
“Abdur … ” Bu Tuti menakankan suaranya, kacamatanya melorot dan ditatapnya anak kecil yang menelan-nelan ludah itu dengan tajam. “Apa nama desanya?”
“Par … parim … bu.”
“Apa?” Bu Tuti menaikkan alis. “Ei, sejak kapan kau jadi gagap begini?”
Weni yang duduk dua deret di belakang Abdur merasa kasihan padanya, dia menunduk dan berbisik namun naas Bu Tuti mengetahuinya. Dia mendongak seketika dan berkata, “Aha, pertanyaan kedua untuk kau setelah ini, Weni. Bersiaplah.” Lalu dia kembali kepada Abdur.
“Par … pariaman, Bu.”
“Begitu?” sahut Bu Tuti menguji. Sudah yakin yang kau jawab itu benar, Abdur?
“Belum, Bu.”
“Lalu mengapa kau jawab?”
“Sudah, Bu.”
Geram Bu Tuti melihat kelakuan Abdur yang begitu. Ditanyanya sekali lagi dengan penekanan yang sangat dalam dan dijawab oleh Abdur dengan gemetar, “Pariaman, Bu.”
“Nah, siapa yang bisa jawab?”
“Aku mengacungkan tangan seketika.”
“Ya, Wahyu, apa jawabannya?”
“Pariangan, Bu.”
Tampaknya Bu Tuti sedikit terhibur dengan jawabanku, beliau mengangguk-angguk pelan sebelum kembali menatap Abdur dan memintanya untuk membuka catatannya pertemuan kemaren. Abdur menyodorkan bukunya dengan ragu. Bu Tuti segera memeriksanya dengan cermat dan memberikan buku itu lagi.
“Minggu depan kalau tidak dapat menjawab lagi berdiri di depan sana sampai pelajaran selesai. Kau dengar itu, Abdur?”
“Dengar, Bu, sangat jelas, Bu,” jawab Abdur cepat dan mengurut dada. Perasaan lega membanjiri sekujur tubuhnya karena telah lepas dari rezim pertanyaan Bu Tuti.
Kini, Weni yang menerima ganjarannnya. Dia sama sekali tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan Bu tuti mengenai macam-macam Sumando di ranah Minang, dia menunduk sambil memutar-mutar cincin di tangannya.
Lalu turunlah titah Bu tuti yang memerintahkannya mencatat di depan kelas.
Itulah guru favoritku, beliau mengajar dengan sungguh-sungguh, tak pernah memberikan hukuman fisik kepada kami para muridnya yang nakal, hukuman beliau selalu itu-itu saja; mencatat di depan kelas menggantikannya, berdiri di depan kelas, menghafal surat-surat pendek, menyiram tanaman, atau diberi tangguhan jawaban hingga minggu depan.
Lain Abdur lain pula Rusip, maskot kelas kami yang sangat percaya diri itu. Dia selalu menegakkan badan dan menjawab apa saja pertanyaan Bu Tuti dengan tersenyum, padahal jawabannya tak ada satu pun yang betul. Atau Dinah, yang ketika ditanya dia akan melolong-lolong minta izin ke kamar kecil karena mendadak sakit perut. Atau Soleh yang selalu duduk paling belakang, pria ceking yang fanatik kepada Shah Jahan itu terkenal dengan tulisan ceker ayamnya yang sama sekali tak bisa dibaca, bahkan ketika Bu Tuti menanyakan kepada Soleh apa baca salah satu tulisannya, dia pun mengeja dengan susah payah sambil membalik-balik buku itu dan terakhir akan menyerah, “Sudah lupa, Bu.” Demikian selalu jawabnya.
Itulah sekolahku, masa-masa indah sebelum polusi kendaraan merajalela dan Hp mengambil sektor pertemanan kami. Setiap sore kami akan bermain bola di lapangan bekas sawah atau bermain layang-layang, bila musim durian tiba maka kami akan berburu durian. Besok paginya Abdur akan menguap di dalam kelas karena malamnya begadang di kebun Mang Olak.
Sedangkan aku, setiap pagi akan kembali mendengar teriakan ibuku menyuruh bangun dan salat ke surau. Ibuku tersayang, jam weker yang sungguh perhatian.