Oleh : Hasbunallah Haris
Tidak ada yang istimewa saat Kartika menginjak usia tujuh belas tahun. Hidupnya selalu berkutat dengan tugas sekolah dan banyak pekerjaan sampingan yang memang sudah biasa dilakukannya sejak sang ibu wafat. Sang ayah yang berprofesi sebagai bos di kantornya pun lebih sering pulang larut dan kadang dinas luar kota hingga berhari-hari.
Tak ada yang istimewa dari kehidupan seorang Kartika sampai pria itu datang dalam hidupnya, seorang pria yang dengan tulus mengajarkan Kartika bahwa hidup adalah seni menjalani. Dialah seorang Nizam Alfajri, santri tulen pindahan dari sebuah pondok pesantren salafi di Tuba.
Siang itu terik, tak setitik pun awan di atas sana, langit biru membentang sejauh mata memandang. Kartika sedang duduk di depan kelasnya bersama beberapa orang teman.
Saat itulah dia melihat seorang pria berpakaian dalam sedang berjalan di koridor sekolah. Penampilannya yang agak janggal dan langkahnya yang sedikit bingung membuat perhatian Kartika memudar pada teman-temannya. Dilihatnya pria itu memegang selembar kertas dan berjalan sambil celingak-celinguk di setiap pintu kelas yang dilewatinya.
“Kenapa lo?” tegur Nayla yang sempat melihat Kartika.
“Ngga, ngga kenapa-napa.” Kartika berdiri. “Gue mau ke kelas duluan ya, ada urusan.”
Susan dan Nayla langsung bangkit, tapi Kartika menahan mereka dengan cepat, memamerkan senyum terindahnya.
“Eit … gue bisa sendiri, oke. Jadi kalian lanjutin aja, gue ada urusan bentar.”
Nayla dan Susan saling pandang, heran melihat tingkah aneh Kartika yang tidak biasanya. Pasalnya, mereka sudah berteman sejak lama, rahasia Kartika yang mana lagi yang belum mereka ketahui selama ini?
“Lo … murid baru ya?” sapa Kartika yang berhasil menyusul pria yang tadi dilihatnya. “Lagi cari kelas?”
Pria di depan Kartika mengangguk. “Iya, Mbak. Saya lagi cari kelas.”
“Sini, biar gue bantu, dan gausah panggil gue mbak.” Kartika langsung merebut kertas yang berada di tangan pria itu. “Oh, lokal B-1 juga, berarti kita sekelas. Kenalin, gue Kartika Jaya Puspita, santai aja, yuk ikut.”
Uluran tangan Kartika tidak disambut, malah pria di depannya tersenyum dan menyebutkan nama. “Aku Nizam, makasih udah bantu.”
Sejak pertemuan yang janggal dan aneh itu. Keduanya sudah bagaikan langit dan bumi. Kartika yang terbiasa bergaul dengan banyak teman pria dan wanita, yang biasa asal bicara dan pergi ke sana-kemari sesuka hatinya, tak peduli soal waktu dan kadang sering bolos sekolah, bertemu dengan Nizam yang pendiam dan rajin, tidak pernah melanggar peraturan dan sangat ketat manjaga pergaulannya.
Ketika tugas kelompok diundi, malang benar nasib Nizam dapat satu kelompok dengan gadis itu. Sementara Kartika bukan main girangnya karena dengan begitu dia dapat mengenal Nizam lebih jauh lagi. Bahkan di antara teman-teman Kartika banyak yang heran melihat gadis cantik itu sangat agresif terhadap Nizam, tapi semuanya dianggap angin lalu saja. Bahkan Nayla dan Susan juga tidak dapat mencegah kelakuan absurd Kartika tersebut.
“Lo naksir ya sama tuh anak?” ujar Susan suatu hari, ketika mereka tengah duduk-duduk di kafe langganan mereka.
“Ngga kok,” kelah Kartika cepat. “Siapa juga yang suka sama anak begituan.”
“Lah trus lo ngejar-ngejar kayak nenek lampir gitu buat apa, hah? Sampai lakuin kecurangan segala.”
“Maksud lo apa?”
Susan memajukan wajahnya, bicara lebih dekat dan suara yang dipelan-pelankan. “Lo sengaja kan minta bu Marina jadiin lo sekelompok sama Nizam. Ngaku aja lo.”
“Lho, bukannya itu diundi?” Nayla ikut berkomentar.
“Iya diundi, tapi kan dalam botol itu namanya Kartika ada sepuluh. Sedangkan nama yang belum keluar cuma Dani, Rian, trus Amanda. Lo tau kan nama Nizam selalu jadi kebanggan guru-guru dan si kulkas itu diberi kebebasan khusus buat ngga masuk ke dalam tabung undian.”
Kartika mengangkat bahunya dengan enteng. Emang gue peduli.
Di lain waktu, Kartika pernah mencegat Nizam di depan gerbang sekolah. Dia beralasan bahwa sopirnya tidak datang, dan dia meminta Nizam untuk mengantarkannya pulang. Namun jawaban Nizam malah membuat Kartika jengkel.
“Naik aja sama taksi, aku mau ke rumah tahfidz dulu.”
“Kalo gitu gue ikut sama lo.” Kartika bersikeras.
“Aku di sana sampai malam, kamu naik taksi aja, insyaallah aman kok.”
Kartika langsung naik ke motor Nizam dan duduk bagaikan tak melakukan kesalahan apapun. Alhasil, Nizam terpaksa menyeret Kartika turun dari motornya. Kejadian itu disaksikan oleh hampir seluruh warga sekolah yang terheran-heran melihat tingkah Kartika yang nekat.
“Awas aja lo ntar!” teriak Kartika setelah melihat Nizam meninggalannya. “Lo bakal nyesel. Titik.”
Hari mengerjakan tugas kelompok pun tiba, Nizam sudah mendiktekan tempat pertemuan mereka dengan banyak peraturan di dalamnya. Nizam mengharuskan tempat mengerjakan tugas adalah tempat yang ramai, dikerjakan di siang hari, Kartika harus berpakaian sopan, tidak boleh terlambat, tidak boleh bertanya selain menyangkut tugas sekolah, dan bla bla bla lainnya hingga Kartika pun sakit kepala membaca peraturan yang ditetapkan Nizam untuknya. Tapi anehnya Kartika dibalik kutuk mautnya pada Nizam, dia mematuhi peraturan itu, setengah jam sebelum jam pertemuan, Kartika sudah duduk di bangku kafe yang mereka tetapkan sebagai tempat mengerjakan tugas. Itupun setelah perdebatan yang panjang dengan Nizam.
“Sorry aku agak terlambat,” ujar Nizam pertama kali dan menarik kursi di depan Kartika.
“Lo ngga telat kok.” Kartika melirik arlojinya. “Masih ada waktu lima menit sebelum jam yang lo tentuindi daftar. Lo bawa semuanya, kan?”
Nizam mengangguk. “Laptop, buku catatatn, buku referensi, lengkap.”
“Ini apa?” Kartika mengangkat sebuah buku bersampul putih dari dalam tas kecil yang dibawa Nizam. Namu dengan cepat segera direbut kembali.
“Itu buku harian aku,” ujar Nizam jujur.
“Lo nulis diary? Cowok? Sumpah, lo tu cowok paling aneh yang pernah gue temuin, Zam. Tiap istirahat ke mesjid, pulang sekolah selalu ke rumah tahfidz. Emang lo cari apaan sih di mesjid?”
Nizam menghentikan pekerjaannya dan menatap Kartika lekat-lekat. Wajah bersih yang mulus, alis mata lentik dan tatapan berbinar yang anggun, apa sebenarnya yang kau pikirkan Kartika? Kenapa gadis seanggun dirimu malah bersembunyi di balik keingintahuan yang dibuat-buat?
“Zam … Nizam?!” Kartika mengibaskan tangannya. “Ya elah malah ngelamun, lo udah makan? Yaudah kita pesan makanan dulu baru bikin tugas.”
Nizam kembali menundukkan pandangannya dan beristighfar berkali-kali, sementara Kartika mengangkat tangan memanggil pelayan untuk memesan makanan.
“Lo belum jawab pertanyanan gue tadi,” ujar Kartika sambil meneguk jusnya, setelah beberapa saat hanya saling diam. “Lo cari apaan di mesjid?”
Sulit bagi Nizam untuk menjelaskan pada Kartika bahwa dia mencari ketenangan di dalam mesjid. Dia tahu Kartika bukan orang yang mudah diberi pemahaman seperti itu, jika itu tidak sesuai dengannya, Kartika akan mati-matian membela argumennya dan menindas lawannya habis-habisan. Dan Nizam sudah pernah merasakannya ketika debat kelas berlangsung dua minggu yang lalu.
Nizam menunduk. “Aku cari Tuhan di mesjid.”
“Emang Tuhan cuma ada di mesjid?” tatang Kartika.
Nizam mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum. “Ngga, cuma aku nyaman aja kalau dalam mesjid, apalagi pas shalat. Rasanya tenang gitu.”
“Lo kan udah shalat wajib, ngapain juga harus shalat siang.”
“Dhuha, shalat dhuha namanya.”
“Iya, terserah lo deh apa namanya, pokoknya lo ngerti apa yang gue omongin.”
“Ya gimana ya, kalau kamu mencintai seseorang pasti ingin berlama-lama di dekatnya, kalau kamu mencintai seseorang pasti ingin terus di dekatnya. Iya kan? Nah, aku juga gitu sama Tuhan, aku mencintainya dan aku harus sering nemuin Tuhan karena aku kangen.”
“Segitunya ya?” Suara Kartika terdengar mengejek.
“Kalau ngga percaya kamu coba aja sendiri. Kebanyakan orang beribadah karena ingin pahala yang besar. Namun mereka lupa, seharusnya beribadah itu karena ingin terus bersama Tuhan dan dalam dekapannya. Mudah, kan?”
Kartika diam beberapa saat. Bersamaan dengan itu pelayan kafe juga datang membawakan pesanan mereka.
“Zam.” Kartika menatap Nizam yang sedang menyendok makanannya. “Kalau gitu lo harus bantu gue jatuh cinta sama Tuhan. Titik.”
Nizam terdiam.