Oleh : Hasbunallah Haris
Petang itu ada tamu di rumahku, seorang pria jangkung dengan wajah sendu yang berstelan ala pemuda Belanda; jas cokelat susu dan topi bundar serta sepatu kets yang mengkilap. Dia duduk di teras rumah sambil sesekali memijit kepalanya, sementara topi bundarnya yang berwarna putih itu diletakkannya di atas meja panjang. Lalu tenggelam dalam lamunannya.
Saat itu aku baru baru saja pulang dari rumah Dante untuk memintanya segera mengadakan rapat konferensi karena perangai Belanda yang sudah menjadi-jadi di kampung kami. Ketika aku datang padanya, dia menjabat tanganku dengan erat bagaikan aku adalah satu-satunya orang yang dapat menolongnya. Awalnya kupikir dia akan meminjam uang padaku, tapi ternyata aku keliru.
“Sudah lama?” tanyaku ikut duduk di teras rumah. Kulihat segelas kopi hitam dan makanan kering sudah tersedia di atas meja, istriku pasti meminta pria ini menunggu karena tahu aku akan segera pulang.
“Maaf kalau datang sore-sore begini, Tuan. Aku sungguh tidak tahu lagi siapa yang bisa membantu masalahku sekarang,” katanya berusaha tersenyum sambil meremas-remas jarinya. Kuperhatikan dia memang sedang dilanda masalah, tapi aku juga tak berani untuk menanyakannya hingga dia sendiri yang membuka mulut padaku.
“Hubungan kami tidak terlalu baik akhir-akhir ini,” katanya lagi mulai bercerita. “Aku sudah membujuknya berulang kali dan bertanya apa yang sudah kulakukan hingga membuatnya begitu marah. Tapi dia selalu mengatakan tidak ada apa-apa. Ketika suatu hari tukang antar surat datang ke rumah kami, dia buru-buru berlari ke depan pintu dan mengambil paketnya dan langsung masuk ke kamar. Entah apa yang dilakukannya di sana karena pintu dikunci dari dalam dan aku tak diberikannya izin untuk masuk.”
Aku menatap pria dihadapanku dan berusaha menghiburnya. Meskipun aku belum jelas benar apa yang telah menimpanya, tapi aku cukup tahu bagaimana hubungan pria ini dengan istrinya sejak pertama kali mereka menikah, bulan September lalu.
“Kau sering memberinya hadiah?”
Pria itu mengangguk. “Aku selalu menuruti keinginannya, termasuk jadwal liburan kami yang akan datang sebentar lagi. Dia memintaku untuk mengunjungi Prancis dan berlibur di sana.”
Aku terperanjat mendengarnya, bagaimana mungkin seorang pribumi dapat menuntut demikian besar pada seorang pemuda Belanda? Dan bagaimana mungkin pria Belanda sepertinya bisa bertekuk lutut pada perempuan pribumi?
“Kausudah mendapatkan tiketnya?”
“Sudah, akhir bulan ini kami akan berangkat.”
Aku tersenyum. “Kau sangat beruntung, Jim. Bahkan aku yang sudah lama bekerja di kantorku sekarang belum mendapatkan kesempatan sebesar itu hingga kini. Berbahagialah, kau akan mengunjugi kota cinta.”
Jim mengangguk, lantas meneguk kopinya beberapa kali sebelum melanjutkan ceritanya. “Dia bahkan tidak mau bicara padaku sekarang.”
“Dia tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri?”
“Masih. Dia memasak seperti biasanya, menyiapkan air panas untuk mandi, mencuci pakaian dan membereskan segala hal yang berantakan di dalam rumah kami. Tapi melihatnya yang tiba-tiba berubah padaku, aku tak dapat berbuat apa-apa padanya. Aku juga sudah bertanya pada sahabat terdekatnya jika dia cerita apa kesalahan yang telah kuperbuat, tapi dia juga mengatakan tidak tahu apa-apa.”
Aku merenung sebentar, memikirkan apa yang biasanya wanita mau jika dia sudah diam saja pada orang yang dicintainya? Aku yakin dia pasti telah melakukan kesalahan, dan wanita itu mungkin mau dia mengetahui tanpa memberi tahu. Untuk urusan ini, wanita memang paling lihai.
“Apa kalian memperdebatkan sesuatu akhir-akhir ini?” tanyaku dengan berhati-hati, takut melihatnya makin terluka atas pertanyaanku yang mungkin terlalu berlebihan.
“Tidak ada, jawab Jim.”
“Kau sering pulang larut dari kantor?”
“Tidak juga, Tuan. Aku bahkan bekerja dari rumah akhir-akhir ini. Tuan Hautsen mengetahui masalahku dan dia memberikan kesempatan padaku untuk lebih banyak di rumah supaya kami dapat menyelesaikan masalah ini segera. Dia atasan yang pengertian. Bahkan Tuan Hautsenlah yang membantuku mendapatkan tiket ke Prancis itu.”
“Wah, kataku takjub. Sungguh beruntung, sangat beruntung sekali.”
Beberapa saat kemudian, istriku, Sarah, datang dan menawarkan apakah aku juga mau dibikinkan minum. Aku menolaknya karena sudah minum di rumah Dante. Aku menahannya untuk duduk bersama kami sebentar dan dia menurut walau dengan enggan. Istriku tidak terlalu suka duduk dengan pria, aku tahu benar tabiatnya. Namun sekarang aku memerlukannya untuk memberi nasehat pada Jim yang sedang dalam masalah ini.
Setelah aku menceritakan apa yang menimpa Jim dan apa yang membuatnya datang, istriku ikut terenyuh mendengarnya. Sebagai seorang wanita, dia pasti lebih tahu apa yang terbaik untuk dilakukan sekarang. Jadi dia memberi nasehat seperti ini:
“Biarkan dia terlebih dahulu, jangan mendesaknya dengan pertanyaan. Beri dia waktu dan ruang untuk sibuk dengan dirinya sendiri, mungkin dia sedikit jemu dengan rutinitasnya. Apakah dia yang meminta untuk liburan? Nah, dia hanya sedang bosan dan butuh sedikit melakukan perjalanan. Kau tahu, Jim, wanita itu pembosan.”
Jim diam saja, menunggu tambahan nasehat dari istriku.
“Yang perlu kau lakukan sekarang mungkin hanya bercerita padanya, Jim. Mengingatkan kembali alasan mengapa kalian dipertemukan dan bersama hingga saat ini. Ajaklah dia bercerita tentang masa-masa di mana kalian baru pertama kenal, bagaimana bahagianya kau ketika melamarnya di tepi danau itu, bagaimana pernikahan kalian yang takkan runtuh sekalipun badai itu datang. mungkin hanya itu, Jim. Perlakukanlah wanitamu dengan lembut.”
Istriku sedikit melirik padaku ketika dia mengucapkan kalimat terakhirnya. Itu adalah tamparan bagiku karena mungkin tabiatku berteriak dari kamar mandi sedikit mengganggunya. Aku belum bisa mengubah kebiasaan itu walau Sarah sudah mengingatkanku berulang kali. Dia benar-benar wanita yang penuh kesabaran.
Jim pamit beberapa saat kemudian setelah kami berbincang ringan persoalan auto dan kuda-kuda bendi yang sudah sedikit jarang terlihat. Dia menjabat tanganku dengan erat ketika hendak pulang. Kepada istriku, Jim berterima kasih dan berjanji akan melakukan hal seperti yang disarankan Sarah.
Dua minggu kemudian, aku kembali bertemu Jim di sebuah acara perjamuan makan tuan besar Belanda. Dia datang bersama istrinya dan mereka terlihat baik-baik saja, kelihatan bahagia. Kami duduk satu meja dan membicarakan apa saja yang terlintas dipikiran kami. Ketika Yasmiar, istri Jim, meminta untuk ke kamar kecil sebentar, aku menyempatkan bertanya persoalan masalahnya dahulu.
“Ah itu, ujar Jim sedikit malu-malu memberitahu kami. Istriku mengandung.”
Aku dan Sarah bertatapan sebentar, sebelum kemudian melempar senyum dan mengucapkan selamat kepada Jim dan menambahkan bahwa sebentar lagi dia akan menjadi seorang ayah. Namun air muka Jim yang berubah murung membuatku sedikit cemas, apakah dia sudah tahu mengapa istrinya berkelakuan aneh beberapa minggu lalu hingga dia datang menemuiku untuk meminta solusi?
“Jadi, mengapa dia tak menghiraukanmu dua minggu yang lalu?” kata Sarah memandang Jim dengan penasaran. Aku yang merasa terwakili memasang telinga baik-baik, takut melewatkan satu kalimatnya yang tertinggal.
“Dia tetap menjawab tidak ada apa-apa.”
“Bagaimana dengan liburannya?”
“Kami akan berangkat minggu depan. Kalian mau memesan sesuatu?”
Aku dan Sarah serentak menolak, meskipun aku tahu Sarah melakukannya dengan sedikit enggan.
“Tapi kalian baik-baik saja sampai sekarang,” “kataku. Kau tidak menanyakannya lagi?”
Jim menggeleng. “Kurasa aku belajar sesuatu dari hal ini. Wanita memang mahluk paling sulit dimengerti, bahkan dirinya sendiri juga kadang tidak mengerti apa yang diinginkannya.”
Aku terdiam seketika.