Oleh : Hasbunallah Haris
Aku mendapati diriku tengah berada di dalam kamar sambil menggenggam telepon seluler, bermenung dengan larut karena seseorang baru saja menelfonku dan tanpa basa-basi sedikit pun memintaku untuk menjadi istrinya. Entah setan apa yang merasuki pria itu, dia berujar ingin menjaga hafalannya karena akan terbang ke Sudan untuk melanjutkan study S2. Namun sebelum itu, dia ingin menikah dan aku adalah calon yang diiming-imingi untuk hidup bersama di negeri antah berantah sana.
Kusadarkan diriku bahwa ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya atau siapa saja yang kisah cintanya tak lekang oleh masa. Ini sudah zaman di mana femisnisme menjadi pokok utama dan seorang wanita bisa saja menjadi presiden dan memimpin sekian juta nyawa di bawah komando telunjuknya. Aku hanya menyarankan pria itu untuk datang ke rumah dan memberikan nomor Abi, ayahku, dan seratus persen berujar dalam hati bahwa dia tak akan berani datang.
Tapi aku keliru.
“Tadi ada yang nelfon abi, Dek,” kata abi saat kami tengah berada di meja makan. Ummi yang tengah mengambilkan piring sekaligus membagikannya kepada kami diam saja, mungkin abi sudah lebih dulu menceritakannya. “Katanya dia ingin meminang kamu dalam waktu dekat, dia bilang juga udah bicara sama kamu. Siapa laki-laki itu, Dek?”
Aku bingung hendak menjawab apa. Toh, aku juga belum pernah melihat wujudnya sekalipun dalam mimpi. Dia bagaikan jelangkung, datang tanpa kuundang dan sekonyong-konyong langsung mengajakku menikah. Perempuan mana yang akan mau jika diperlakukan seperti itu? Bagiku, menikah adalah pilihan seumur hidup dan aku harus tahu bagaimana karakter orang yang akan menjadi imamku kelak. Bukan sembarang orang yang datang dan dengan mulut manisnya berujar ingin menikah dan sujud bersama di atas sajadah.
Melihatku yang diam saja, abi menambahkan keterangannya yang langsung membuatku terdiam bagai terkena sawan. “Katanya dia akan datang dua hari lagi. Menurut kamu gimana, Dek? Sholeh ngga orangnya?”
“Ya … Aini ngga tau, Abi. Aini bahkan ngga tau namanya, anak siapa, dan dapat kontak Aini dari mana.”
“Kakak kan pernah tuh nulis nomor hp di uang kertas sepuluh ribu, mungkin dari situ,” celetuk adikku yang langsung kupelototi mentah-mentah. Dia selalu saja berhasil merusak suasana hatiku yang kacau.
“Ya kita tunggu aja kalau gitu,” kata abi menyendokkan sayur ke dalam piringnya. “Kalau abi sama ummi ya setuju-setuju saja asal orangnya sholeh dan kamunya mau. Kan yang bakal menjalani semuanya itu kamu, bukan kami. Abi sama ummi dulu juga ngga dijodohin kok. Iya kan, Mi?” Abi melirik ummi untuk meminta persetujuan.
“Iya. Tadi dia juga bilang kalau boleh sehabis menikah dia bakal bawa kamu terbang ke Sudan,” tambah ummi yang bagiku terdengar bagai dentuman petir di siang bolong.
What? Emang dia siapa sampai segitunya mau mengatur hidupku? Tolong bangunkan aku jika ini adalah mimpi.
Dua hari kemudian, sekitar pukul lima sore, rumah kami kedatangan dua orang tamu laki-laki. Yang seorang sudah berumur dan berpakaian ala ustadz. Sedangkan yang seorang lagi masih muda, tinggi jangkung dan terkesan rapi. Wajahnya bersih, dengan satu tahi lalat minimalis di dekat hidungnya. Keduanya beruluk salam. Abi, ayahku yang tersayang, menyambut mereka dengan tangan terbuka.
Percakapan pun mengalir di antara mereka bertiga. Tak lama kemudian, ummi menemuiku di dapur dan memeriksa teh yang sedang kuseduh.
“Jangan terlalu kemanisan,” goda ummi padaku. “Orangnya ganteng kok, Dek. Namanya Rifqi.”
Aku tak menghiraukan godaan ummi yang kembali ke depan untuk menemui tamu kami, sedangkan aku bertugas membuatkan air minum dan menyuguhkan kue-kue kering pada mereka. Adikku datang tak lama kemudian dan langsung mengolok-olokku.
“Kalau kakak terbang ke Sudan adik bakalan happy. Ngga ada lagi yang bakal rebutan remot tv, yang bakal rebutan kamar mandi, rebutan ayam goreng dan kipas angin. Jadi, terima aja lamarannya.”
‘Enak saja mulutmu dek,’ rutukku dalam hati. Adikku masih berkicau soal rencananya yang bejibun jika aku menerima pinangan ini. Aku tak mau meladeninya. Setelah semuanya selesai aku pun membawa nampan berisi minum dan kue kering ke ruang depan dengan berdebar-debar. Jangan tanyakan padaku di mana posisi jantung dan posisi hati, aku sudah tak tahu lagi saking gugupnya.
“Nah … ini anak kami, Siti Nur Aini,” ujar Abi memperkanalkanku langsung ketika aku muncul. “Dan ini yang katanya mau datang waktu itu, Nak. Rifqi Al Mustofa.”
Hampir saja nampan itu terlepas dari tanganku. Terpujilah Tuhan Yang Maha Esa, apakah mahluk yang berada di depanku sekarang masih manusia? Dia menatapku dan sesaat kemudian tersenyum ramah, lalu beruluk salam yang kujawab dengan terbata-bata. Oh Tuhan … tolong sembunyikan rona merah di pipiku sekarang, aku tak tahan dengan senyumannya dan tatapan lembut bola matanya. Pohon-pohon Birkin seakan tumbuh di sekitarku dan aroma Vanili menyembur keluar. Aku sedang berada di sebuah taman yang di sana terbingkai seorang pria yang tatapannya mampu meredakan amukan gunung Merapi. Terpujilah Tuhan yang dengan kata Kun-Nya menciptakan manusia setampan ini. Tolong jangan bangunkan aku sekalipun ini hanya mimpi.
Kata-kata ummilah yang membuyarkan lamunanku kala itu.
“Aini, tarok nampannya di meja, Nak. Silakan tamu kita untuk minum.”
Duhai, tak pernah sepanjang hidupku aku semalu ini. Jadi sejak tadi aku hanya memandangnya dan masih berdiri sambil memegang nampan?
***
Sudan, 24 Desember
Aroma musim dingin yang lembab sudah mulai merasuk. Orang-orang El Obeit mulai mengeluarkan kembali pakaian musim dingin mereka dari rak lemari paling bawah. Saat itu aku sudah tinggal di Sudan selama dua tahun. Suamiku, yang bernama Rifqi, sedang tidak ada kuliah hari ini. Namun sejak subuh tadi dia sudah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar. Aku membuatkannya minuman cokelat panas lalu pergi ke beranda rumah untuk mengenang kembali masa-masa awal kami bertemu, melihat album foto pernikahan kami.
Setelah acara pinangan hari itu, aku memutuskan untuk menerimanya setelah tiga malam berturut-turut melakukan shalat istikharah. Aku menangis dalam sujudku karena tak tahu apa yang mesti kulakukan. Menerimanya berarti berpisah dengan orang tua, namun menolaknya adalah pilihan yang sangat berat. Hadis Nabi seolah terngiang-ngiang di telingaku. Jika ada seorang laki-laki sholeh dan baik akhlaknya datang meminangmu, maka terimalah.
Acara pernikahan kami dibuat sederhana saja, mengundang sanak famili dan hanya dilakukan dalam waktu sehari penuh. Karena keesokan harinya kami sudah harus terbang ke El Obeit, Sudan.
Tak mudah hidup di negeri orang jika tak punya tekad baja. Tapi untunglah Rifqi sangat penyabar dan berkali-kali dia menghidangkan makan malam romantis untuk kami di sela-sela kesibukannya kuliah. Aku ingat ketika kami tengah makan malam di bulan April tahun lalu, ketika aku bertanya mengapa dia memilihku di antara sekian banyak wanita yang dikenalnya? Dan dari mana dia mendapatkan kontakku?
Rifqi menjawab sambil tersenyum malu-malu. “Karena aku suka namamu. Siti adalah sayyidati, Nur adalah cahaya, dan Aini adalah mataku. Kamu adalah cahaya mataku, yang menerangi tiap alur skenario yang telah dituliskan Tuhan dengan qalam-Nya. Tanpamu, aku hanyalah Rifqi yang tak bercahaya, tak bermakna. Aku mencari-cari semua hal tentangmu selama dua bulan, bertanya pada teman-teman sekolahmu dulu, pada sahabat terdekatmu, dan setelah membulatkan tekad, aku memberanikan diri untuk menghubungimu malam itu.”
“Dan kontakku?” tanyaku lagi tak sabar. “Dapat dari mana?”
Rifqi menahan tawanya yang hampir meledak. “Dari pecahan uang sepuluh ribu rupiah,” ujarnya tanpa dosa.