Oleh : Hasbunallah Haris
Danil baru saja pindah rumah ke dekat sudut desa Urban ketika dia bertetangga dengan seorang pria tua aneh. Seorang kakek yang sudah ubanan dan terlihat kurus kering. Namun selama dia tinggal di sana, diperhatikannya gerakan kakek itu yang masih sangat bertenaga. Pada malam hari, sang kakek naik ke atap rumahnya sambil membawa sebuah teleskop sebesar betisnya dan asyik meneropong ke sana-sini dengan sangat bergairah. Dia dapat bertahan hingga fajar datang dengan benda aneh itu. Jika malam hari di musim dingin, ketika salju tebal turun dan Saturnus tidak muncul, sang kakek asyik menulis di kamarnya. Hal itu selalu diperhatikan Danil dari balik jendela kamarnya yang menghadap langsung ke kamar kakek.
Apa yang dilakukan kakek itu? Apakah dia lebih peduli dengan melihat planet dari pada memangkas rumput di halaman rumahnya yang sudah bisa untuk menyembunyikan telur Dinosaurus itu? Apakah dia tidak perlu makan dan mengistirahatkan dirinya yang sudah renta? Di mana anak-anaknya? Cucu-cucunya? Dan semua jawaban dari pertanyaan yang banyak berkeliaran dalam benak Danil baru terjawab ketika dia dengan nekat keluar rumahnya pada suatu malam di musim semi untuk menemui sang kakek.
Danil membawa sekantong roti giling tepung dengan beberapa minuman kemasan. Setelah memakai sweeter tebalnya, Danil keluar rumah dengan wajah gembira, malam ini dia harus menanyakan langsung pada si kakek.
Pintu depan rumah besar namun kumuh dan berantakan itu sama sekali tidak dikunci, Danil dapat masuk begitu saja karena dia tidak menemukan adanya bel di dekat kosen pintu untuk mengabarkan kedatangannya. Dia memanggil-manggil kakek dengan setengah tegang namun tak mendapatkan sahutan.
Apakah malam ini kakek ada di rumah?
Di ruang depan, yang mungkin dulunya digunakaan sebagai ruangan keluarga, Danil menemukan banyak sekali barang-barang rongsokan yang sudah sangat tua. Dia menemukan TV antena, parabola kawat, handie talkie, kacamata renang dan sofa yang sudah robek-robek, beberapa ekor tikur sebesar kepalan tangan mencicit-cicit keluar dari liang sofa ketika Danil datang.
Danil terus berjalan ke sebuah pintu yang sudah terbuka, ada sinar yang cukup terang menyemburat dari sana, bergoyang-goyang. Dia langsung berpikir bahwa sang kakek sedang menyalakan perapian dan duduk di kursi lengannya sambil menuliskan sesuatu.
Ketika Danil mendorong pintu lebih lebar, ternyata benar. Orang tua itu sedang duduk menekur ke kertas yang sedang sedang ditulisnya. Malam itu kakek memakai busana yang cukup eksentrik, topi pez berwarna merah di kepalanya yang ubanan, jubah lengan panjang yang menyembunyikan kekurusannya, terlihat terlalu kebesaran, dan celana longgar yang mungkin terbuat dari dasar katun yang cukup kasar, berwarna cokelat tua.
Kakek menghentikan pekerjaannya karena menyadari ada yang masuk ke rumahnya, dia berbalik dan menunjukkan wajah, berusaha tersenyum kepada tamunya yang berdiri dengan canggung, Danil.
“Um, saya sudah mengetuk pintu dan tidak mendapatkan jawaban,” ujar Danil ragu-ragu. “Jadi saya pikir Anda mungkin sedang berada di kamar.”
Namun kakek mengangguk, menaikkan kacamata tebal yang melorot di hidung tuanya dan menyuruh tamunya untuk duduk di dekatnya. Dengan segara Danil menerima tawaran kakek dan mengeluarkan makanan yang dibawanya.
“Kakek tidak alergi telur, kan?” Danil menata roti di atas meja kecil, memberikannya pada kakek.
“Terima kasih,” jawab kakek langsung melahap roti tersebut tanpa menghiraukan pertanyaan Danil.
“Sudah berapa lama kau jadi tetanggaku, Danil?”
Danil terkejut karena ternyata kakek mengetahui namanya. “Sudah dua tahun, kakek.”
“Bolgo, panggil saja aku Bolgo,” ujar kakek. “Dan tentu saja aku tahu namamu, kau bekerja di NASA, kan? Ah, kau pasti sangat sibuk sekali.
Danil hanya mengangguk, mengigit rotinya besar-besar.
”Mau melihat bintang bersama?” Bolgo lagi, mengedipkan mata. ”Sepertinya malam ini cukup cerah, kita bisa melihat Venus jam empat nanti, bagaimana?”
Meskipun Danil sudah pernah melihat Venus dari teleskop Huble di kantornya, tapi dia terlalu segan untuk menolak tawaran kakek. Danil juga penasaran dengan tipe teleskop yang biasa digunakan kakek.
”Aku hidup seorang diri,” ujar Bolgo menyudahi makannya dan menggapai-gapai minum di atas meja. ”Mereka meninggalkanku karena tidak mengerti dengan apa yang kulakukan dan malah menganggap aku gila. Aku pernah ditempatkan di panti jompo beberapa kali dan beberapa kali itu pula aku melarikan diri. Setelah itu aku membuat perjanjian bahwa tidak akan keluar rumah dan tidak akan mengacau. Dan yeah, sampai sekarang itulah yang sedang kulakukan, berteman dengan alam dan masa bodoh dengan hiruk-pikuk dunia yang makin bodoh.”
Bolgo minum sebentar, lalu kembali melanjutkan. ”Orang-orang bodoh yang tak menyukai ilmu pengetahuan akan hilang terkikis zaman. Siapa yang masih menyebut-nyebut Galileo sampai sekarang? Da Vinci, Bernini, Kepler, Nowton, Copernicus, dan sekumpulan orang-orang lainnya yang bernasib sama. Sama-sama melarat di akhir hayat. Van Gogh yang memotong telinganya sendiri, Mona Lisa yang misterius, The Last supper yang dianggap sebagai hari terakhir Yesus, dan perkumpulan-perkumpulan rahasia yang penuh konspirasi.” Tiba-tiba kakek berpaling pada Danil. ”Sebenarnya untuk apa kau hidup di dunia ini, Anak muda?”
Baru saja Danil membuka mulut dan akan menjawabnya, Bolgo sudah kembali melanjutkaan cerita dengan suara yang makin meninggi.
“Apa kau sadar bahwa kau hanya pion Tuhan? Kau hanya memiliki sedikit kuasa atas dirimu sendiri. Seperti aku yang tak sanggup mencegah uban di kepalaku. Lalu orang-orang yang bodoh itu mengira dia akan mampu melawan apa yang dinamakan dengan takdir Tuhan, mereka mambuat regenerasi sel yang bisa mempermuda sel-sel mereka dan membuat tidak pernah menua … kau misalnya, Nak. Bekerja di NASA dan meneliti banyak sekali benda-benda langit yang sedang menari itu. Apakah kau berpikir ada kehidupan di luar sana? Uh, jika kau hidup di zaman Bruno, kau pasti sudah di bakar di jalanan Roma.”
Danil dapat mengetahui ke mana arah pembicaraan kakek. Sedikit banyaknya dia tahu persoalan sejarah panjang ilmu Astronomi. Bahkan semenjak Tuhan berfirman pada Abraham untuk menghitung jumlah bintang di langit.
Bolgo kembali dengan materinya, tak membiarkan Danil larut dalam pikirannya sendiri. Kali ini Bolgo menjelaskan mengenai cikal bakal sains modern, gravitasi, relativitas, rotasi bumi dan berakhir dengan penjelasan mengenai dunia paralel.
“… terlanjur mati, Nak. Mereka terlanjur mati sebelum sempat mewujudkan semua mimpi itu dalam wujud nyata. Bahkan ada beberapa berkas yang hilang begitu saja setelah kematiannya, diamankan oleh orang-orang organisasi yang kusebutkan tadi. Seperti rancangan Tesla Deathray yang sampai sekarang tak ditemukan lagi. Lalu ada Antichitera Mecanism, komputer analog yang ditemukan jauh sebelum komputer tercipta. Apa kau kira dunia sesederhana yang terlihat ini?”
Danil merinding mendengarkan penjelasan Bolgo. Meskipun dia juga sudah mengetahuinya, namun dengan hanya berupa cahaya perapian dan diceritakan oleh orang tua bersuara parau kesan kisahnya bagaikan memiliki horor tersendiri.
Terakhir, Bolgo mendecap-decapkan bibirnya dan memandang ke langit-langit kamarnya. ”Sudah waktunya, ikutlah denganku ke atas.”
Danil beranjak, dia mengikuti langkah pelan Bolgo menaiki tangga spiral, menuju ke atap rumahnya yang besar itu. Beberapa kali lagi tikus mencicit-cicit di dekat kakinya, membuat Danil kadang terkejut. Dia memandang arlojinya dan ternyata sudah pukul empat dini hari, langit sangat bersih kala itu.
”Lihatlah,” ujar Bolgo memberikan kesempatak kepada Danil untuk mengamati langit dengan teleskop miliknya. ”Namanya Venus, Dewi cinta bagi orang Romawi. Orang-orang Yunani menyebutnya dengan Aphrodit, Kukulcan oleh orang-orang Maya, dan Tlahuizcalpantecuhtli oleh orang Aztec. Tapi bagiku, dia adalah Safira,” tambah Bolgo malu-malu mengatakan kalimat terakhirnya.
Danil mendekatkan matanya ke mulut teleskop, memandang Venus tak berkedip. Kesannya selalu sama jika sedang melihat planet di malam hari; Puji Tuhan. Planet seputih susu itu tampak anggun dalam balutanpekat di sekelilingnya, Danil memandangnya cukup lama.
”Puas?” tanya Bolgo yang sekarang sudah duduk di belakang Danil sambil memandang ke arah langit. ”Safira, kau tanya padaku apa beda kau dengan langit, ketahuilah saat aku memandangmu, aku lupa tentang langit.”
“Nizar Qabbani” jerit Danil seketika. “Anda pasti penggemar sastra yang hebat.”
Setelah fajar datang dan mereka berbincang lagi, walau hanya Bolgo yang kelihatan banyak bicara, Danil pulang ke rumahnya dengan imajinasi baru di kepalanya, dia akan menemui atasannya dan meminta Bolgo untuk bekerja secara resmi di NASA.
Dua hari berlalu, ketika Danil sampai di kantornya. Hari itu hari rabu, matahari musim semi cukup lembut dan angin menerbangkan daun-daun kuning wallace dan mempermainkannya dengan anggun. Atasan Danil, Pak D, mendatanginya dengan murung di lapangan parkir. Dia menggeleng beberapa kali dihadapan Danil.
“Sudah tidak ada lagi,” kata Pak D padanya dengan prihatin.
“Maksud Anda?”
“Orang yang kau rekomendasikan itu, dia sudah tidak ada.”
Danil terhenyak seketika. “Tapi tadi malam kami masih bicara, dia bahkan memberikan sebuah buku tua Astronomi padaku.”
“Yeah, siapa yang tahu waktu kematiannya sendiri?” ujar Pak D bijaksana. “Tim kami menemukannya dua jam yang lalu di rumahnya, dia meningal sambil menggenggam pena bulu angsanya, menulis kalimat terakhir dalam bukunya yang diberi judul Safira.”
“Anda bercanda,” ejek Danil berusaha bersikap santai, dia tahu Pak D bukanlah orang yang terlalu serius dalam berbagai hal, kecuali pekerjaan. Dia sering melakukan kejutan di kantornya.
Pak D menggeleng tegas, kali ini dia kelihatan serius. “Untuk malam-malam yang terlalu panjang dalam kesendirian, akhirnya perjalananku dimulai, sampai jumpa kembali, Kekasih,” ujar Pak D penuh penghayatan. “Begitulah yang tertulis di kalimat terakhir bukunya. Tim memeriksa buku sastra itu dan berencana menerbitkannya, kau akan menjadi penanggung jawab atas naskah itu sekaligus ahli warisnya. Dia menuliskannya di secarik kertas bahwa semua barang-barangnya diwariskan padamu.” Pak D menghempaskan napas berat. “Yeah, siapa yang tahu jadwal kematiannya sendiri.”
“Apakah kau tahu satu faktanya?”
“Apa?”
“Bolgo sudah tuli sejak dia berusia sepuluh tahun.”
Danil ternganga. Pantas saja Bolgo banyak bicara padanya dan baru mengerti ketika dirinya mengangguk, dan Bolgo tak pernah menjawab pertanyaannya secara langsung. Danil segera berlari ke mobilnya dan menekan pedel gas dengan kencang, dia harus melihat surat wasiat itu dengan mata kepalanya dan memeriksa pohon keluarga Bolgo.
Seminggu kemudian, penelitian Danil selesai dan hasilnya sangat mengejutkan. Bolgo adalah kakeknya sendiri. Dengan begitu dia memang ahli waris yang sah, dia juga baru ingat dengan nama neneknya yang selama ini tak disadarinya.
Safira Venusuella.