Oleh: Taufiq Lamsuhur *
Tanggal 15 September 2019 adalah momen yang bersejarah buat saya karena untuk pertama kalinya berkunjung ke Auschwitz – Birkenau, salah satu camp konsentrasi Jerman terbesar pada Perang Dunia kedua.
Lebih dari satu juta orang meninggal di camp ini dengan berbagai penderitaan yang dilalui, kekurangan makanan, kedinginan, penyakit, kekerasan dan gas beracun.
Kamp konsentrasi Auschwitz, lengkapnya disebut Auschwitz – Birkenau atau seringkali disebut Auschwitz-1 dan Auschwitz-2, berjarak sekitar 2 km satu sama lain.
Berawal dari camp militer, camp ini kemudian berubah fungsi menjadi tahanan yang diperuntukan bagi tahanan politik, para penjahat, para homoseksual dan kelompok masyarakat yang dianggap harus “dimusnahkan” oleh pasukan Jerman.
Berangkat lebih awal dari Ibukota Warsawa, kami (kami bertiga) tiba di Auschwitz sekitar pukul 10.00 pagi.
Rasa mencekam mulai terasa saat memasuki kawasan Auschwitz karena rumah-rumah penduduk setempat yang sepi dan jaraknya jauh satu sama lain.
Pikiran nakal saya berujar, mungkin hal ini karena masyarakat setempat memilih tinggal di kota lain karena masih trauma atau diganggu oleh hantu gentayangan dari jasad-jasad korban kekerasan di kamp konsentrasi.
Berharap dapat masuk lebih awal, rupanya setelah antri sekitar 30 menit dan beli tiket, hanya kebagian tur yang baru dimulai pukul 12.00. Harga tiket sekitar $25/pengunjung.
Tur dimulai dengan melewati sebuah gerbang camp yang bertuliskan “Arbeit Macht Frei” (bahasa Jerman yang artinya “work sets you free”). Tanpa kita sadar suasana “mencekam” mulai terasa karena terbayang suasana bagaimana rasa takut dan cemas yang dialami para tahanan pada periode 1939-1945, saat mereka mulai dipisahkan satu sama lain menjadi kelompok wanita, pria dan anak-anak di saat proses registrasi dan memasuki kamp.
Terdapat sekitar 40 bangunan di Auschwitz-1, dan hanya sekitar 8 – 10 gedung yang dapat dimasuki dengan panduan guide.
Saya tidak ingat persis bangunan mana saja yang kami dapat akses untuk masuk. Pada awal tour, gedung yang dimasuki hanya memuat photo-photo sejarah yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat menggiring pengunjung memahami sejarah Auschwitz-1 yang awalnya dibangun sebagai kamp militer, kemudian menjadi kamp konsentrasi dengan berbagai masalah kemanusiaan yang terjadi di dalamnya.
Gedung berikutnya adalah gedung dimana proses registrasi dilakukan terhadap semua tahanan, pemberian pakaian dengan warna tertentu dan nomor urut dalam bentuk tatto di setiap lengan tahanan.
Sekitar 2.000 foto-foto para tahanan, masih tersimpan baik dan disusun di dinding gedung.
Photo bagian atas tubuh ini juga memuat nama, nomor registrasi, waktu masuk kamp dan tanggal kematian yang bersangkutan.
Selanjutnya, diperlihatkan bangunan yang dengan fasilitas umum tahanan, seperti tempat tidur (dipan, jerami), kamar mandi, tempat cuci pakaian, toilet dan alat-alat yang digunakan saat antri makanan.
Berikutnya ke bangunan yang menyimpan barang-barang pribadi para korban kemanusiaan, seperti : sepatu anak-anak, sepatu orang dewasa, koper-koper pakaian, mainan anak-anak, kacamata dan yang paling memilukan adalah rambut-rambut tahanan (yang total beratnya mencapai 8 ton, para tahanan laki-laki digundulin).
Lalu, berpindah ke gedung lain dimana terjadi pembunuhan para tahanan dengan menggunakan gas beracun.
Di saat kami dibawa ke ruang-ruang bawah tanah di mana para tahanan harus menghirup gas beracun yang dialirkan melalui instalasi pipa, terbayang kekejian dan ketakutan yang mungkin dirasakan oleh para tahanan.
Terdapat juga bangunan yang digunakan sebagai fasilitas pemeriksaan kesehatan para tahanan sekaligus sebagai laboratorium “kelinci percobaan” para dokter dan ahli kesehatan Nazi dengan memanfaatkan para tahanan, namun gedung ini tidak boleh dimasukin hanya bisa dilihat dari luar.
Tur Auschwitz-1 ditutup dengan memasuki bangunan yang berfungsi sebagai krematorium atau pembakaran jenazah para tahanan.
Suasana yang sedikit gelap, dingin dan sisa-sia peralatan yang digunakan seolah-olah bercerita dan menggambarkan kedukaaan yang mendalam yang terjadi di sana.
Berakhirlah bagian pertama dari tour Auschwitz-1. Seluruh peserta tur lalu bergerak ke pintu exit, istirahat sejenak sekitar 35 menit, sambil menunggu kelompok lainnya untuk bersama-sama naik bus ke Birkenau atau Auschwitz-2.
Di Auschwitz-2, kami dapat melihat bagian stasiun kereta api dimana para tahanan diturunkan. Mereka berasal dari berbagai negara di Eropa.
Di sini juga kita bisa lihat satu gerbong penumpang, sebagai saksi hidup sejarah kelam masa lalu.
Selanjutnya, para pengunjung menutup tur dengan fasilitas museum yang megah, dengan berbagai aksesories dan souvenir yang dapat dibeli.
Beberapa pelajaran yang mungkin dapat kita ambil dari pengelolaan situs wisata sejarah di Auschwitz adalah :
1). Pengaturan parkir, aparat keamanan, sistem pembelian tiket (on the spot, online, aplikasi di handphone) dan pengaturan jadwal kunjungan serta pengadaan guide dalam 7 (tujuh) pilihan bahasa, dilakukan secara sinergi.
Terdapat 7 (tujuh) bahasa yang ditawarkan oleh pengelola melalui guide: Inggris, Perancis, Jerman, Polandia, Spanyol, Belanda dan Italia.
Nantinya para pengunjung akan dikelompokkan sesuai bahasa pengantar yang dipilih dan maksimal 1 (satu) kelompok terdiri dari 20 orang.
2). Para kurator museum mampu menciptakan suasana mencekam sehingga para pengunjung seolah-olah merasakan sedih, sakit, pilu dan perihnya penderitaan para tahanan kamp konsentrasi tanpa harus kehilangan sentuhan sejarah.
Hal ini dilakukan sedemikian rupa dengan memilih gedung-gedung tertentu yang dapat dikunjungi secara utuh atau terbatas serta tersedianya visualisasi peninggalan nyata dari “kekejaman” masa lalu.
3). Sinergi antara pemerintah, agen perjalanan dan pengelola situs wisata sejarah mampu mendorong peningkatan jumlah pengunjung dan sekaligus pemasukan ekonomi bagi pemangku kepentingan terkait. Sebagai gambaran Auschwitz dikunjungi oleh lebih dari 1,5 juta pengunjung setiap tahunnya.
*Penulis : Counsellor Ekonomi pada KBRI Warsawa, Polandia.