Oleh : Hasbunallah Haris
Jalanan lengang, hanya sesekali terdengar gonggongan anjing liar yang memecah kesunyian. Rajah baru saja keluar dari sebuah bar tempat biasanya menghabiskan hari sebagai seorang pecandu nerkoba. Dia berjalan terhuyung-huyung di sepanjang gang sempit sambil meracau tak jelas. Baru beberapa meter dari bar tersebut, Rajah tersandung batu dan terjerembab ke dalam selokan. Umpatan paling keji segera terlontar dari mulutnya.
“Bangsat …” Rajah mencoba bangkit. Namun yang di dapatinya adalah sebuah uluran tangan dari seorang laki-laki yang sebaya dengannya.
“Kau tampaknya memang butuh pertolongan, Teman,” ujar pria bertopi fedora yang mengulurkan tangan. Rajah menyambut uluran tangan itu dengan jengkel.
“Mau apalagi kau?” bentak Rajah setelah mencoba kembali berdiri dengan tenang. “Aku sudah berkali-kali memperingatkanmu, Time. Jangan mendekatiku lagi, lupakan soal naskah yang selama ini kau sanjung-sanjung, aku bukan penulis yang sedang kau cari.”
Time mengangkat bahu, keduanya berjalan beriringan.
“Aku tidak sedang membahas tentang naskahmu kali ini, Teman. Santai saja, aku datang karena ingin bertanya padamu mengenai masalah yang sedang aku hadapi akhir-akhir ini.”
“Aku tidak peduli dengan masalahmu, Time. Aku tidak akan pernah peduli.”
“Yeah … itu terjadi karena kau sudah hidup seperti Joker untuk waktu yang cukup lama,” keluh Time melepas topinya. “Tapi aku punya tanggungan berupa seorang istri dan dua orang anak yang masih kecil. Kau tahu, Teman, sangat tidak menyenangkan jika hidupmu terikat dengan sesuatu. Jadi, aku hanya ingin mendengar jawabanmu mengenai masalahku ini dan aku akan membayarmu dengan harga yang pantas.”
Rajah bersiul. “Berapa yang kau tawarkan?”
“Lima Ratus Dolar untuk setiap jawaban.”
“Kau punya berapa pertanyaan dalam kepalamu?”
“Tiga.”
Rajah tersenyum dalam gelap, deretan giginya yang menguning seakan menitikkan air liur saking tidak sabarnya.
“Jadi, apa masalahmu?”
Beberapa saat Time menghempaskan napas berat sebelum kemudian membuka mulutnya.
“Aku sedang dilanda kecemasan. Siang tadi aku baru pulang dari sebuah rumah sakit ternama, rumah sakit pribadiku. Aku selalu mengecek kadar gulaku setiap sepekan sekali ke sana, tapi akhir-akhir ini aku sering makan di luar dan mengabaikan banyak peraturan.” Time mengangkat bahunya sekaligus menggeleng pelan. “Akhirnya Dokter Stefan dengan amat menyesal mengatakan bahwa hidupku hanya tinggal tiga hari lagi.”
Hening beberapa lama. Rajah berjalan makin pelan dan di bawah sebuah emperan toserba, keduanya berhenti. Mereka duduk di sebuah bangku besi yang dingin. Time menunduk menatap topi di tangannya.
“Jadi, apa pertanyaan pertamamu?” Akhirnya Rajah bertanya.
“Aku, um … maksudku, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus memberitahu istri dan anak-anakku segera dan membuat kami diliputi kesedihan?”
“Oh kau sangat kejam, Time,” jawab Rajah dengan penuh penekanan. “Kau tidak perlu melakukan itu!”
“Jadi, apa yang harus kulakukan pada hari pertamaku besok?”
“Melihat-lihat foto pernikahan kalian, memasaklah untuk istri dan anak-anakmu, kau harus berada di rumah sepanjang hari. Kau tentu bisa melakukan banyak hal dengan mereka, asal kau mengesampingkan segala masalahmu dan bersikap seolah tidak akan terjadi apa-apa di antara kalian. Bahagiakan istrimu dengan membantunya memasak, bahagiakan anakmu dengan mengajaknya bermain game dan catur.”
“Lalu, hari kedua dan ketiga?”
“Pergilah piknik di sebuah taman yang dekat dengan danau, memancinglah di sana dan kembalilah memasak bersama, kau juga dapat menerbangkan layang-layang dan bermain bola kaki bersama anakmu yang masih kecil. Dan pada hari ketiga, tulislah surat pada istrimu sebagai permintaan maaf, katakan bahwa kau telah banyak membuat kesalahan dan kau meminta maaf dengan tulus padanya. Belikan dia hadiah, tapi jangan yang mewah. Kau bisa membelikannya pakaian baru yang cocok untuknya, makanan kesukaannya, atau jam tangan yang sederhana. Kau dapat melakukan itu, Time?”
Time mengangguk.
“Bagus. Pada hari ke empat, temui aku di sini tepat seperti sekarang. Jangan lupa untuk membawa uangmu, Time, itu akan sangat membantuku.”
Empat hari kemudian, Time duduk di depan toserba yang sama seperti tiga malam yang lalu dengan air muka tidak sabar. Namun pria pemabuk itu tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi bahkan setelah empat jam berlalu. Ketika Time beranjak hendak pulang karena sudah merasa dibodohi, seoang anak yang sebaya dengan putranya berlari dan memanggil.
“Pak Time … Pak Time, tunggu. Aku punya surat untukmu.”
Anak tersebut menyerahkan surat bersampul ungu ke genggamannya dan kembali berlalu. Time segera merobek amplop ungu tersebut dan berjalan ke lampu jalan yang menyala redup, di sana tertulis.
Untuk temanku, Time.
Aku yakin kau pasti datang empat hari kemudian, makanya aku menitipkan surat ini pada anak jalanan di St. Petrus. Bagaimana perasaanmu sekarang, Time? Kau bahagia? Sekarang kau sadar, bukan? Tidak penyakit gula yang akan membunuhmu, tapi kesendirian. Aku yakin saat kau membaca suratku ini kau akan paham bahwa aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku punya hutang Seribu Lima Ratus Dolar pada pemilik bar tempat biasa aku minum, dan pada malam saat kita bertemu kemaren, itu adalah malam terakhir yang aku punya. Terima kasih untuk uluran tanganmu malam itu, Time, jangan lupa serahkan uangnya dan lunasi hutangku.
Salam, Rajah.