Oleh : Hasbunallah Haris
Saat itu tahun 1945, tahun kemerdekaan Indonesia. Aku dibebaskan dari penjara di pulau Jawa dan dipulangkan ke Sumatera dengan kapal yang, aku lupa nama kapalnya, sangat besar sekali.
Sudah dua tahun aku mendekam di penjara bawah tanah Nusa Kambangan sejak menantang serdadu Jepang di Bukittinggi. Saat itu aku berkelahi dengan beberapa orang serdadu Jepang yang memanggul sub stenggan (jenis senapan semi otomatis) yang kelihatan sangar sekali. Sebagaimana yang kita tahu, orang Jepang itu pendek-pendek dan hanya bisa carut-marut selain menodongkan sangkurnya pada pekerja romusha sambil berteriak-teriak, “Bogero … bogero, kamu orang mau mati ya?”
Awalnya aku biasa saja melihat mereka demikian kejam, toh aku juga tidak terlalu peduli dengan hidupku sendiri sejak istriku meninggal. Tapi amarahku tak dapat kutahan lagi ketika melihat teman satu barakku, Sutan Mangkudun, mendapatkan perlakuan yang demikian kejam dari keparat-keparat itu. Setan-setan itu menendangnya beberapa kali karena terlalu lambat memindahkan rel bersama tiga orang lainnya, mereka mencaci-caci sebagai pemalas dan mengancam mati seperti biasanya. Aku yang berdiri di dekat balok-balok kayu sebesar kerbau betina bunting itu mendatangi mereka dan memukul hidung salah seorang Jepang dengan tinjuku.
Jepang itu mengumpat karena hidungnya berdarah, hampir langsung menembakku seketika. Bogero! teriaknya memelototiku bagai bola matanya akan melompat keluar. “Kamu orang mau saya tembak? Kamu orang mau mati ya? Bogero!”
Tapi aku tidak peduli, aku kembali melayangkan tinju pada perutnya dan menghantamkan lututku sekali lagi ke mukanya. Dia tumbang seketika, menggelepar bagai ayam baru disembelih.
Beberapa serdadu yang lain segera mengelilingiku dengan wajah beringas dan menodongkan musser padaku. Aku berdiri dengan gagah di tengah-tengah mereka, kalau mau mati, ya aku juga tidak peduli. Tapi beberapa saat kemudian, Kari, seorang tukang masak di barak utama keluar bersama komanda Masamura dan berteriak pada koloninya.
“Tahaaan … tahaan,” teriaknya sekencang yang dapat dia lakukan. Masamura mendatangiku dan menatap dari ujung kepala. “Kamu orang mau saya kubur hidup-hidup, heh?”
Aku tersenyum miring. “Silakan saja, Kalera.”
“Kalera?” Komandan Masamura menatap Kari si tukang masak.
“Oh, itu jenis makanan, Tuan,” katanya menjelaskan dengan lugas. “Makanan khas kami di sini.”
“Seperti rendang?”
Kari mengangguk. “Tapi kalera hanya untuk orang asing saja, Tuan. Terlebih lagi bagi orang seperti tuan, orang Jepang.”
“Begitu?” sahut komandan tak yakin.
Kari mengangguk mantap, menatapku dengan pandangan seolah mengatakan, kau selalu buat masalah dengan mereka, Sud. Kalau sekali lagi kau bikin ulah aku tak akan menolongmu lagi.
Komandan Masamura mencabut pistol di pinggangnya. Menembak kakiku satu kali, rasanya sangat panas sekali, namun aku masih tetap bisa berdiri dihadapannya. Tidak sekalipun aku akan tunduk pada orang-orang yang telah merampas istriku itu, tidak sekalipun.
“Bagaimana, heh? Mau lagi”
Tapi sebelum komandan sempat menarik pelatuk pstolnya lagi, terdengar deru pesawat yang demikian rendah. Sutan Mangkudun segera berteriak, ”Peraaaang … peraaang, sembunyii.”
Semua orang kalang kabut, aku menerjang Masamura dan bergulat dengannya. Dia kuat, mungkin sedikit bisa bela diri, karena gerakannya kulihat sangat licin seperti belut. Kami saling pukul tanpa seorangpun yang melerai kami karena sibuk melindungi diri. Ada yang berlari ke dalam barak, ada yang masuk ke dalam tumpukan balok kayu, dan ada pula yang lari ke hutan.
Susah payah serdadu-serdadu Jepang itu memperingatkan. “Bogero … bogero, kamu orang diam, itu pesawat Jepang!”
Namun tak satu pun menghiraukan.
Aku menghantam Masamura dan berlari ikut berlindung, tapi dia berhasil menarik bagian belakang bajuku dan menodongkan pistolnya. Timah panas itu kembali menembus punggungku, lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika aku bangun, aku sudah berada di dalam sel dingin di Nusa Kambangan. Satu kamar dengan tikus-tikus sebesar paha yang mencicit-cicit di sudut ruangan sambil menunjukkan dua gigi depan mereka yang runcing. Aku bertanya-tanya apakah aku sudah mati? Tidak, aku meraba badanku dan masih utuh, hanya saja kakiku yang sulit digerakkan dan kepalaku yang berdengung sakit.
Hari-hari berikutnya kulewati dengan murung hingga entah di hari yang ke berapa, pasukan yang melilitkan bendera merah putih kecil di kepalanya datang dan membebaskanku.
“Bung, berbahagialah, kita sudah merdeka. Kita sudah meredeka, Bung,” katanya menepuk-nepuk pundakku dan mengajak keluar. “Kau sudah bisa pulang sekarang, Bung. Di mana kampung, Bung?”
“Sumatera,” jawabku singkat. Dia memapahku keluar penjara.
“Bung sangat beruntung. Bung masih hidup setelah keluar dari penjara ini.”
“Tahun berapa sekarang?”
“Tahun 1945, Bung.”
“Oh, terima kasih, Bung. Dudukkan aku di sini saja, pintaku ketika sudah sampai di luar. Ke mana Jepang-jepang itu pergi?”
“Wedus-wedus itu sudah pulang kampung, Bung.”
“Wedus?”
“Jenis makanan di sini, Bung.”
Aku mengangguk saja, kurang yakin dengan terjemahan yang diberitahukannya. Ketika aku bertemu dengan Parto, teman satu kapalku, aku baru tahu kalau wedus itu artinya kambing.