Oleh : Hasbunallah Haris
Dua orang itu duduk berhadap-hadapan, yang seorang sudah kepala empat, yang seorang lagi lebih tua dari itu, mungkin sekitar enam puluhan. Keduanya sedang bersantai sore di balai-balai rumah berdinding papan tepi danau, sesekali mengunyah ubi rebus yang dibikinkan istrinya, Jamilah.
Kalau Tuan sampai pula ke kampungku, Tuan pasti akan menemukan sebuah rumah tua di pinggiran danau, dekat sebuah surau yang sudah doyong. Tempat itulah yang dahulunya kami gunakan untuk mengaji pada Angku Lawik, sesepuh kampungku yang tinggal di surau sejak masa mudanya.
“Pada sangkaku,” ujar yang seorang memulai pembicaraan sambil menggoyang-goyangkan lututnya. “Memang sudah jauh sekali anak-anak kita sekarang dari agama. Lihatlah! Pukul berapa anak sekarang baru pulang sekolah? Belum lagi PR dan tugas lainnya yang akan mereka kerjakan untuk malam? Bila lagi mereka akan mengaji? Bila lagi mereka akan mempelajari sumbang karenah tatanan adat Minangkabau? Patutlah anak sekarang banyak yang tidak pandai memasak, tidak hormat dan suka melawan. Entah berapa yang masih pandai menyalakan kompor minyak.”
“Itulah, Mamak,” jawab yang seorang pula. “Berlain sekali perangai anak sekarang! Padahal, segalanya sudah tersedia dengan baik, zaman makin canggih, ilmu pengetahuan semakin maju. Tapi di mana letak kelemahannya sampai membuat anak zaman kini begitu sulit di atur? Kehendaknya harus dapat? Ah … tidak ada kena-mengenanya dengan zaman kita dulu.”
“Itulah yang sedang kupikirkan, Samsir. Anak sekarang sudah pandai pula melawan, jika tidak kita iringi keinginannya, tiada pula dia hendak bersekolah lagi. Bak makan buah simalakama saja kita orang tua ini. Jika kita berikan, bisa lalai mereka dan dipergunakan pada tempat yang salah, jika tidak diberikan, lain pula yang terjadi. Tidak mengikuti zamanlah, ketinggalanlah, macam-macam! Pening kepalaku jika memikirkan ini.”
Keduanya diam beberapa lama, saling bergelut dengan pikiran masing-masing. Yang bernama Samsir, mengenakan pakaian kemeja batik berlengan pendek sambil menyulut rokoknya, janggutnya yang tumbuh liar dibiarkannya panjang tanpa pernah dicukur, begitupun dengan kumisnya yang melintang bagaikan jalan semut hitam, tak ada yang dipedulikannya.
Sejak kematian istrinya dua tahun yang lalu, dia hidup sebatang kara di atas rumah rumpun bambu di ujung kampungku, sehari-hari hanya menanam jagung dan kacang tanah, dia terbilang rajin bersembahyang ke surau bila sudah maghrib. Tapi sekarang sejak surau itu hanya diisi kelelawar dan burung hantu, ditambah lagi bangunan itu sudah roboh, tak ada orang di kampungku yang beramai-ramai bila maghrib datang, semuanya sibuk mengurung diri di rumah masing-masing sambil menyalakan tv sekencang-kencangnya.
Yang seorang lagi, yang sudah lebih tua daripada Samsir, bernama Haji Rojab, dengan anak delapan orang yang sudah besar-besar, hanya tinggal si Rahmi dan Daniar saja yang masih SMP, biasanya tiap-tiap sore ada saja orang yang datang bertandang ke rumahnya di tepi danau. Mengadu perkara ayam yang hilanglah, atau sawah yang dirusak babi hutan, kacang tanah yang gagal panen, macam-macam. Hal itu maklum saja karena Haji Rojab adalah kepala kampung kami.
Sore itu juga aku lewat di depan rumah Haji Rojab hendak ke kedai kopi, anakku tidak mau makan kalau tidak minum kopi lebuh dulu, aneh-aneh saja kelakuannya. Ketika aku lewat, Samsir memangggilku, aku menghampirinya dan duduk bersama mereka sebentar, dia menawariku ubi rebus di atas meja, sekaligus meletakkan sebungkus rokok di hadapanku.
“Hendak ke mana waang?” tanya Haji Rojab padaku.
Kujawab saja hendak ke kedai kopi, tapi ditahannya aku di sana dan diutarakannya masalah yang sedang mereka rundingkan. Masuk juga bagiku pemikiran serupa itu.
“Bagaimana jika kita bangun kembali Surau Tuo dahulu, Mamak,” usulku. “Boleh tiap-tiap sore anak-anak mengaji di sana sampai malam, kita bisa juga sembahyang lima waktu beramai-ramai.”
Mengangguk-angguk keduanya. “Betul itu, tapi siapa yang akan jadi garin di sunau nanti? Siapa orang yang mau serupa Angku Lawik dahulu?”
Haji Rojab mendecap-decapkan bibirnya, aku menunggunya memberikan jawaban, orang tua ini selalu punya cara untuk memberikan solusi bagi permasalahan yang terjadi di kampungku. Ada dahulu ketika musim tikus, Haji Rojab juga yang punya solusi memberantas tikus-tikus itu dengan menggali liangnya di setiap pematang sawah, sejak itulah dia diangkat menjadi kepala kampung kami hingga sekarang.
“Kita bisa menyewanya,” kata Haji Rojab akhirnya. “Kalau suraunya sudah kita bangun kembali, masalah garin itu mudah saja. Yang jadi persoalan kita kini, di mana kita akan membangun surau itu? Bagaimana bahan-bahannya?”
“Di tanah dahulu juga,” jawab Samsir bersemangat. “Kalau mamak mau, kita bergotong royong membangunnya, boleh ambo berjalan memberikan kabar, hari apa baiknya?”
“Minggu depan kita bisa bermusyawarah dahulu dengan semua warga, persoalan kayu atau apalah itu, kita menyumbang saja sedikit-sedikit, takkan susah membangunnya jika kita bersama-sama.”
Aku mengangguk, sudah terniat dalam hatiku untuk menyumbangkan sebatang kayu sengon di ladangku untuk dibuatkan papan surau itu nanti. Maka selepas berbasa-basi, aku melanjutkan perjalanan ke kedai kopi.
Dua bulan kemudian, bangunan surau lama dibongkar, atap-atapnya yang sudah rapuh dikumpulkan dan dikubur, begitu pula dengan papan-papan bekasnya yang sudah dimakan bubuk.
Ketika aku membersihkan kolong bawahnya dengan kait panjang, tak kusangka aku menemukan surat lamaku dengan Rapiah dahulu, ketika kami sama-sama mengaji di surau dengan Angku Lawik. Surat itu kutemukan di balik tumpukan kaleng bekas roti dan terompah yang sudah usang, terselip diantara papan kering dan plastik kacang. Keadaannya meski tak lagi utuh, namun aku masih bisa membaca beberapa kalimatnya dengan susah payah, tulisan ceker ayamku yang mungkin saat itu masih berumur lima belas tahun.
Pekerjaan membangun surau baru itu membutuhkan waktu empat minggu baru selesai hingga ke atapnya. Bangunannya dibikin sama persis seperti surau lama dahulu; tiga tingkat, semuanya dengan kayu, dan pada bagian atasnya bergonjong bagaikan akan menjuluk langit. Bagian depannya diberi banyak jendela dua pintu, tempat berwudhu dengan pancuran betung sebesar betis, dan tempat suluk untuk bagian paling atasnya.
Untuk garinnya Samsir sendiri yang dipilih oleh kami bersama, dengan alasan dia sudah lama tinggal di kampung kami, rajin, dan tidak lagi memiliki keluarga, dia tentu akan leluasa tinggal di surau. Kami membangunkannya sebuah rumah petak di tepi surau untuknya, dan tiap-tiap sore anak-anak kami datang untuk mengaji.
Kini, aku seakan melihat masa mudaku bersama Rapiah. Kami dahulu sering pulang bersama dengan obor di masing-masing tangan, sesekali aku dan kawan sepembujangan mengejutkan anak perempuan di tikungan jalan sana, mereka lari terbirit-birit sambil menarik-narik kain telekung masing-masing, bakan ada yang tersandung sampai berguling-guling masuk danau. Zaman itu … ah, ketika kami tidak terikat dengan dunia maya, berkomunikasi lewat surat yang dititipkan pada temannya, tersenyum malu-malu ketika bertemu, saling lirik ketika mengaji, sama-sama terkana hukuman karena tidak memperhatikan. Sangat menakjubkan sekali.
Kini, aku kembali menyaksikannya pada anakku yang pertama. Aku dan Rapiah, istriku, turut senang dengan dibangunnya surau baru itu. Tiap hari jemaahnya bertambah ramai juga. Aku tidak tahu apakah memang surau itu yang membawa berkah atau gema suara azan Samsir yang mengelu-elu menarik mereka. Tiap-tiap pekan kami beramai-ramai membersihkannya, Haji Rojab mengusahakan membeli satu paket rebana untuk anak mengaji, seperti kataku dahulu, kayu sengon itu telah menjadi dinding surau kami yang baru.
Kalau sekarang Tuan datang, Tuan akan menemukan surau itu masih berdiri kokoh, pada bagian belakangnya dibuat pula dua petak kolam ikan, lalu airnya dialirkan ke sawah Khatib Sulaiman dan terus ke rumah-rumah lainnya. Bagian depan surau juga dibuat kolam yang sangat lebar, tapi bukan untuk ikan, tiap-tiap petang anak-anak mandi di sana beramai-ramai, sedangkan ibu mereka membawa kain kotor untuk dicuci bersama-sama.
Itulah surau kami, tempat menyatukan masyarakat yang sudah jauh dari kebiasaan keagamaan. Dengan slogan yang tertulis kembali ke surau.