Catatan: Kamsul Hasan, SH, MH
Akhir pekan ini saya menerima sejumlah pertanyaan dan atau konsultasi atas pemberitaan yang dilaporkan ke polisi.
Wartawan atau media tidak perlu khawatir bila ada yang melaporkan ke polisi. Asalkan proses kerja jurnalistik sudah ditempuh sesuai etika dan berbagai rambu.
Tidak perlu juga menyalahkan polisi yang menerima laporan masyarakat. Hal itu memang sudah menjadi tugas dan kewajibannya, melayani masyarakat.
Setelah menerima laporan masyarakat polisi melakukan penyelidikan dan atau penyidikan untuk menentukan apakah laporan masyarakat itu bisa ditindaklanjuti.
Penyelidikan, biasanya untuk mencari dua alat bukti dengan memeriksa sejumlah orang. Bila dua alat bukti tidak ditemukan, penyidik akan hentikannya dan keluarkan SP3.
Sebaliknya bila dua alat bukti ditemukan laporan masyarakat itu akan ditingkatkan ke penyidikan. Jadi, tergantung hasil penyelidikan dan gelar perkara.
Ada dua petunjuk yang dimiliki polisi dalam menangani sengketa pemberitaan dan ini akan saya bahas pada kesempatan lain setelah memberikan materi HUT Koran Satu yang dipimpin Om Kadir Monas, awal Oktober.
Dua petunjuk itu adalah SE 06 Kapolri tentang Ujaran Kebencian dan MoU Dewan Pers dengan Kapolri. UU atau hukum mana yang akan digunakan, tergantung hasil penyelidikan awal dan gelar perkara.
Bila keterangan ahli Dewan Pers mengatakan alat buktinya adalah produk pers berbadan hukum Indonesia, biasanya digunakan mekanisme UU Pers, seperti hak jawab, mediasi sampai pidana pers.
Seandainya medianya tidak berbadan hukum perusahaan pers, diproses sesuai SE 06 Kapolri tentang Ujaran Kebencian maka digunakan KUHP, UU ITE dan lainnya.
Sejumlah media saat ini dilaporkan pasal pencemaran nama baik gunakan media elektronik. Terkait penerapan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) harus merujuk pada Pasal 310 KUHP.
Pasal 310 KUHP terdiri dari tiga ayat, yaitu ;
Ayat (1) pencemaran secara lisan.
Ayat (2) pencemaran dengan tulisan. Media cetak atau media online biasanya dikenakan pasal ini kemudian dilapisi UU ITE, khususnya pasal 27 Ayat (3).
Ayat (3) bukan pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud ayat (1) atau ayat (2) apabila hal itu untuk membela diri atau kepentingan publik.
Berdasarkan hasil yudisial review MK, pemerintah dan DPR RI saat amandemen ancaman Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 UU ITE, sanksinya turun dari 6 (enam) tahun penjara dan atau denda satu milyar rupiah menjadi 4 (empat) tahun penjara dan atau denda tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
Itu artinya penegak hukum tak boleh melakukan penahanan terhadap tersangka dan atau terdakwa karena delik aduan ini ancamannya di bawah 5 (lima) tahun, sampai inkracht.
Agar sangkaan atau dakwaan bisa dihadapi, media yang dilaporkan dan diproses dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE harus memiliki bukti bahwa pemberitaan itu untuk kepentingan publik dan proses konfirmasi maupun keberimbangan sudah dilakukan.
(Jakarta, 19 September 2020)
Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen LISIP, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014.