Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri Puti Reno Nilam dan Puan Maharani (Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik dan Keamanan) tentang Pancasila dan masyarakat Sumatera Barat yang akhirnya memicu kontroversi di Ranah Minang dan tanah rantau, tak semestinya melebar jauh. Pernyataan keduanya seharusnya dimaknai sebagai otokritik sesama urang awak.
Demikian ditegaskan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (IPPMI), M Rafik Perkasa Alamsyah melalui pernyataan tertulis, Jumat (04/09/2020). Rafik mengungkapkan, terminologi urang awak itu dipakainya karena darah minang mengalir di tubuh Megawati maupun Puan Maharani.
“Bundo Megawati dan Uni Puan, bukan lah orang lain bagi masyarakat Minang. Baiknya, otokritik yang disampaikan Ibu Megawati dan Uni Puan itu, diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai kearifan budaya Minang,” harap Rafiq.
Fatmawati, ibunda dari Megawati Sukarnoputri adalah anak Hasan Din dan Siti Chadijah yang merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Darah minang itu makin kental di tubuh Puan Maharani, karena ayahnya, Taufik Kiemas, juga berdarah Minang bahkan bergelar adat, Datuk Basa Batuah dari Kanagarian Sabu, Batipuh Ateh, Tanahdatar.
Menurut Rafiq, unsur tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin beserta bundo kanduang di Sumatera Barat, selayaknya segera mengajak keduanya berdialog, terkait pernyataan mereka yang kutipannya tampak menggantung dilansir media massa.
“Bundo Megawati dan Uni Puan, merupakan tokoh nasional yang menerima beragam informasi tentang Sumatera Barat. Jika mereka menyimpulkan sesuatu yang berbeda dengan pandangan umum masyarakat Sumatera Barat, maka ajaran Islam yang dianut masyarakat Minang, memerintahkan kita untuk ber-tabayun,” urai Rafik.
“Mari kita selesaikan sesuai nilai-nilai kearifan masyarakat Minang. Mari ajak dunsanak kita itu berdialog dalam biliak ketek. Begitu nilai-nilai adat Minang mengajarkan,” tukas dia.
“Mari kita berpikir positif. Pernyataan beliau berdua, dalam bingkai kritik. Orang mengkritik itu tanda peduli,” tegasnya.
Rafiq mengakui, gejala sekelompok urang awak yang tak sepakat dengan Pancasila itu memang nyata.
“Saya salah satu saksi hidup yang terlibat pembicaraan dengan salah satu kelompok di Sumbar yang mengatakan Pancasila itu tidak sesuai dengan Islam. Walau kelompok ini terbilang kecil, tetap saja ini mengkhawatirkan kita semua, terlebih bagi saya sebagai salah satu aktivis pemuda di nasional,” terangnya.
Rafiq melihat, pernyataan politik Uni Puan dan Bundo Mega itu, juga tak lepas dari informasi serupa yang diperolehnya itu. “Sebagai seorang adik, saya juga mengkritik pernyataan keduanya karena dilakukan dalam momen yang tak sesuai. Terlebih, aroma panas Pilpres 2019 kemarin kembali menghangat pada pemilihan serentak 2020 ini,” tukasnya.
Menghangatnya kontestasi pada pemilihan serentak 2020 ini, dinilai Rafiq, membuat pernyataan Uni Puan dan Bundo Mega, mulai dimanfaatkan sekelompok orang jadi komoditas politik.
“Pernyataan itu tampak mulai digoreng. Mari kita selesaikan dalam biliak ketek rumah gadang sesuai ajaran adat kita, Minangkabau,” tukasnya.
Puan Maharani dilahirkan 6 September 1973 di Jakarta. Tahun lalu, Puan Maharani dilantik jadi Ketua DPR RI periode 2019-2024. Ini merupakan perempuan Minangkabau pertama yang menjabat sebagai ketua lembaga tinggi negara tersebut.
Sementara, Megawati Soekarnoputri Puti Reno Nilam adalah presiden kelima Republik Indonesia. Artinya, Megawati dan anaknya Puan Maharani adalah penerus sejarah ketokohan Minangkabau di pentas Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ha/Rls)