Perbedaan UU ITE dan UU Pornografi

Catatan : Kamsul Hasan, SH

Kasus pornografi yang melibatkan anak harus menjadi perhatian kita semua. Sukses polisi dalam mengungkap pornografi berbayar dengan melibatkan anak, harus menimbulkan efek jera.

Berita Kompas di bawah ini hanya mengatakan mereka yang menjadi tersangka dikenakan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/10/15563631/3-pemuda-ditangkap-buat-grup-berbayar-jual-pornografi-anak-anak

Saya menyebutnya itu pasal borongan, artinya semua tersangka diancam dalam satu sanksi. Padahal perbuatan mereka juga diatur oleh UU Nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi.

Berbeda dengan UU ITE yang pasalnya borongan. UU Pornografi mengancam pelaku tindak pidana pornografi sesuai dengan perannya dalam kejahatan.

Sebab itu penyidik harusnya split perkara/memisahkan terhadap tersangka sesuai dengan peran dalam tindak pidananya.

Mereka yang memproduksi atau memenuhi unsur Pasal 4 Ayat (1) ancaman berbeda dengan tersangka yang hanya memberikan jasa sebagaimana Pasal 4 Ayat (2).

Paling penting dalam kasus ini siapa ‘dalang’ yang menjadi fasilitator atau pemodal sebagaimana diatur Pasal 7 dan Pasal 33 yang ancamannya sampai 15 tahun penjara.

Berikut pasal-pasal dalam UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.

BAB II
LARANGAN DAN BATASAN

Pasal 4
(1) Tidak seorang pun boleh memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, mendistribusikan, menerbitkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit berisi :
a. Senggama, termasuk senggama menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan ketelanjangan yang mengesankan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan layanan pornografi yang:
a. Menampilkan ketelanjangan secara eksplisit atau tampilan ketelanjangan yang mengesankan;

b. Secara eksplisit menampilkan alat kelamin;
c. Mengeksploitasi atau menunjukkan aktivitas seksual; atau
d. Menawarkan atau mengiklankan layanan seksual secara langsung atau tidak langsung.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, mendistribusikan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama. 12 tahun (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah).

Pasal 30
Setiap orang yang memberikan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan / atau denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000,00 (tujuh milyar lima ratus juta rupiah).

Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, dan rehabilitasi kesehatan fisik dan mental kepada setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan, dan rehabilitasi kesehatan sosial, fisik, dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Bagian Kedua
Peran dan Masyarakat

Pasal 20
Masyarakat dapat berperan dalam mencegah pembuatan, penyebaran, dan penggunaan pornografi.

Pasal 21
(1) Peran dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan oleh :
a. Melaporkan pelanggaran UU ini;
b. Mengajukan gugatan perwakilan di pengadilan;
c. Mensosialisasikan hukum yang mengatur pornografi; dan
d. Melakukan pembangunan komunitas atas bahaya dan efek pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Setiap orang yang mengikutsertakan anak dalam suatu kegiatan dan/atau benda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah. 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana maksimum.

Pasal 38
Barang siapa membujuk, membujuk, mengeksploitasi, mengizinkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa seorang anak untuk menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

(Jakarta, 13 Agustus 2020)

Kamsul Hasan merupakan Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen Lisip, Jakarta dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014.

Pos terkait