Dengan keluarnya pernyataan “Berakhir sudah masanya Sumatera Barat makan uang senang dari Pajak Air Permukaan (PAP), waduk Koto Panjang” dari salah satu pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau di media setempat. Hal tersebut mendapatkan protes keras dari DPRD Sumbar khususnya Komisi III, yang membidangi keuangan.
Ketua Komisi III DPRD Sumbar Afrizal dalam acara Rapat Kerja (Raker) di Ruang Khusus II Gedung DPRD Sumbar, Kamis (30/7/2020), bersama mitra kerja mengatakan, pernyataan pimpinan dewan di media setempat itu sangat melecehkan serta menjatuhkan harga diri masyarakat Sumbar.
“Itu bukan uang senang, itu uang yang diatur berdasarkan hasil kajian dan Undang-undang (UU) Nomor 28, 29 tentang pajak dan retribusi. Pimpinan DPRD yang mengeluarkan pernyataan tersebut mungkin tidak tau sejarahnya,” kata Afrizal.
Kita tau betul sejarahnya, dilanjutkan Afrizal, dan saya juga pelaku sejarah disana. Kita menyesalkan pernyataan yang mengatakan Sumbar terima uang senang 1,7 miliar.
“Kalau hari ini kita rencanakan DID terhadap irigasi teknis Limapuluh Kota, dan Kota Payakumbuh dan kita dam lagi, Riau mau apa?. Sumbar itu siap dengan Riau dengan cara apapun dan tidak pernah takut,” ujarnya.
Menurutnya, selaku pimpinan DPRD, harus bicara baik-baik. Ia juga mengatakan uang 1,7 miliar itu tidak ada apa-apanya dibandingkan APBD, tapi harga diri masyarakat Sumbar sangat dilecehkan oleh pernyataan pimpinan DPRD itu.
“Makanya kita nyatakan protes keras secara tertulis terhadap pernyataan salah satu pimpinan DPRD Riau itu. Jika ia tidak mau meminta maaf, kita lihat tanggal mainnya dan ini bukan ancaman,” tegasnya.
Kita lihat DID APBD Sumbar pasti kita nyanyikan disana, imbuhnya, kita bikin dam baru di PLTA Koto Panjang dan kita lihat juga siapa yang rugi.
“Ini pernyataan resmi Ketua Komisi III, DPRD Sumbar terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu pimpinan DPRD Riau, yang dinilai sangat melecehkan harga diri Sumbar,” pungkasnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Komisi I DPRD Sumbar Nurnas menyebutkan, masyarakat, khususnya DPRD dan pemerintahan Riau harus ingat 78 persen daerah genangan Koto Panjang adalah milik Sumbar. Kemudian harus ingat juga sejarah, zaman dan tahun kapan dimulainya pembangunan waduk Koto Panjang itu.
“Pertama keinginan Jepang memberikan bantuan, dan pemerintahan Riau jangan pernah beranggapan pembangunan waduk Koto Panjang itu tidak adanya perjuangan Sumbar. Jika tidak ada kesepakatan Sumbar, waduk Koto Panjang itu tentunya tidak bisa dibangun,” tutur Nurnas.
Ia juga menjelaskan bahwa waduk Koto Panjang itu fungsinya tidak hanya mendapatkan energi, tapi juga menjadi keuntungan oleh Riau sampai hari ini dengan amannya daerah Kampar dan Bangkinang. Tapi mereka lupa dengan Koto Panjang adalah musibah bagi Sumbar.
Jadi hari ini harga diri Sumbar yang diinjak-injak. Tulang belulang, tanah ulayat Luhak Limapuluh, khususnya Tanjung Balik yang dikorbankan dan pimpinan bilang menerima uang senang. Ini tidak benar, hal ini juga direspon Gubernur Sumbar.
Kita minta jadwal yang terukur, dan protes keras ini harus disampaikan ke pemerintah Riau dan kapan perlu ke Kemendagri untuk meminta PLN pusat melalui PLN daerah untuk tidak merealisasikan periodisasi perbulan untuk Riau yang katanya 100 persen milik Riau. (Syafri)