Oleh: Ismet Fanany
Semasa kecil di kampung beberapa puluh tahun silam, petang Kamis-malam Jumat punya makna tersendiri bagi saya. Kebetulan hari pasar di Batusangkar, ibu kota kabupaten berjarak 2 km dari kampung saya, jatuh pada hari Kamis.
Artinya malam sebelum hari pasar itu, ibu saya kakak-beradik yang tinggal di rumah yang sama sibuk membicarakan apa yang akan mereka beli.
Kami anak-anak mereka selalu berharap dua belanjaan akan termasuk di dalam daftar mereka: pisang dan kerupuk opak-opak.
Semakin sore pada hari pasar itu, kami semakin tidak sabar menunggu mereka pulang. Alangkah gembiranya bila masing-masing kami mendapat satu pisang dan sebuah kerupuk sebesar dan sebundar piring makan.
Kami lalu turun ke halaman menikmatinya sambil duduk di bawah pohon jambu di pinggir parit. Saya tidak tahu bagaimana tradisi makan pisang bersamaan dengan kerupuk itu mulai, akan tetapi nikmatnya dan kebersamaan serta gelak-tawa yang menyertainya masih terasa kini. Kenikmatan sempurna dan murni dalam keluguan masa kanak-kanak maha indah.
Kenikmatan sempurnaan masa kecil itu muncul utuh pada petang Kamis-malam Jumat yang baru lalu, 25 Juni 2020. Pemicunya: tiga kata kunci dalam judul tulisan ini, UAS, BUAS, PUAS.
Orang Indonesia kemungkinan besar tidak akan memikirkan ‘unmanned aerial system’ (sistem penerbangan tanpa awak) bila melihat atau mendengar sebutan UAS itu.
Akan tetapi mereka akan memikirkan seorang ustadz dan pendakwah hebat, sangat populer, dan dicintai umat, yaitu Ustadz Abdul Somad. Dan memang dialah yang dimaksudkan di sini.
Ustadz Abdul Somad memiliki banyak keistimewaan dalam berdakwah. Sebagai seseorang yang memiliki pendidikan tinggi sampai ke jenjang S3 (PhD), pengetahuannya luas, bukan hanya pengetahuan Islamnya tetapi juga pengetahuan umumnya.
Dia memiliki penguasaan bahasa yang menakjubkan dalam beberapa bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Arab, dan juga beberapa bahasa daerah.
Sangatlah memukau melihat dia dalam berdakwah meloncat-loncat dari satu bahasa ke bahasa lainnya dengan lincah, bagaikan seekor murai batu yang tak pernah tergelincir meloncat dari dahan, ke ranting, ke batu-batu licin.
Pengetahuan agama, pengetahuan umum, dan pemahamannya yang tinggi tentang pendengarnya yang selalu berobah dari satu dakwah ke dakwah lainnya, membuat ceramah dan dakwahnya memukau, menarik dan enak dan nyaman didengar UAS juga lihai menyelipkan lelucon-lelucon segar dan ringan dalam dakwahnya.
Lalu apa hubungannya dengan sifat BUAS dan perasaan PUAS?
Seperti UAS, BUAS dan PUAS di sini juga singkatan.
BUAS adalah kependekan dari Burmalis Ilyas. Setiap orang Minang yang menggunakan berbagai media komunikasi, termasuk media sosial, mengenalnya.
Burmalis Ilyas memiliki sosok tubuh yang mengintimidasi orang yang melihatnya, bukan karena wajahnya bengis atau menakutkan. Bukan. BUAS berperawakan tinggi, gagah, dengan wajah yang memancarkan kecerdasan dan keseriusan.
Semua itu disertai pula dengan ketidak-kikirannya bersikap ramah. Dia seorang pengusaha yang berhasil. Kecekatan dan staminanya dalam berpikir dan berbuat segera kelihatan oleh siapa saja yang berhubungan dengannya.
Semua ciri itulah yang diperlihatkannya sebagai Direktur Eksekutif Jaringan Perantau Minang Sedunia yang lebih dikenal dengan singkatan bahasa Inggrisnya, MDN-G (Minang Diaspora Network-Global).
Walaupun MDN-G baru berdiri tahun 2018, banyak sekali hasil yang telah dicapainya melalui berbagai kegiatan dalam bidang pendidikan, sosial budaya, kesenian, filantrofi, dan sebagainya yang melibatkan masyarakat Minang di seluruh dunia.
PUAS memerlukan sedikit penjelasan. Huruf P berarti Pengurus dan boleh juga Panitia atau keduanya. Huruf U dan A mewakili dua huruf hidup dalam kata Surau, sedangkan huruf S kependekan dari Sydney.
Jadi PUAS di sini berarti Panitia atau Pengurus Surau Sydney. Bangunan Surau Sydney belum ada. Akan tetapi keinginan untuk mendirikannya di kalangan masyarakat Minang di Sydney sudah lama ada.
Dalam lima tahun terakhir ini keinginan itu semakin punya bentuk dan arah. Bulan Oktober 2018 yang lalu, kegiatan usaha mendirikan surau itu menajam.
Pada bulan itu, MDN-G diresmikan pengurus perdananya oleh Gubernur Sumatera Barat Prof. Dr. H. Irwan Prayitno, S.Psi., M.Sc. Datuak Rajo Bandaro Basa dalam sebuah acara khusus di kampus Deakin University di Melbourne, Australia, yang dihadiri oleh ratusan orang Minang dari Ranah dan Rantau di beberapa negara.
Pada waktu itulah kerjasama diantara PUAS dan MDN-G terjalin dan BUAS menerkam usaha besar itu.
Akan tetapi mendirikan sebuah surau di rantau bukanlah pekerjaan mudah atau tanpa tantangan. Apalagi kalau rantau itu di luar Indonesia seperti Sydney itu dengan masyarakat Minangnya yang jauh lebih kecil dari banyak daerah perantauan Minang di Indonesia.
Kalau di Sydney jumlah masyarakatnya berbilang ratusan saja, di Jakarta, misalnya, jumlahnya mencapai lebih satu juta. Banyak kota besar di Indonesia menjadi tempat bermukimnya ratusan ribu atau puluhan ribu perantau Minang.
Tidak satupun masyarakat perantau di kota-kota itu yang mendirikan surau. Tidak satupun. Padahal hampir semua orang Minang berpikir bahwa surau itu penting sekali sebagai tempat mengajarkan agama Islam dan akhlak Islami, mewariskan adat dan budaya mereka, dan tempat belajar bahasa Minang bagi generasi Minang yang lahir dan besar di rantau.
Malah, banyak orang Minang yang berpendapat bahwa di Sumatera Barat sendiri pun surau yang berfungsi demikian sudah tidak ada, sekalipun mereka tahu bahwa akhlak Islami, penggunaan bahasa Minang, pengetahuan adat dan budaya penduduk mereka jauh dari yang diharapkan.
Bayangkan tantangannya mendirikan surau di dalam masyarakat Minang sekecil di Sydney itu.
Di sinilah pentingnya UAS, BUAS, dan PUAS. Sejak 2018 lalu PUAS dan BUAS (MDN-G) sepakat untuk bekerja sama mencari dana yang besarnya lebih dari Rp20 Milyar untuk mendirikan surau Sydney tersebut.
Dalam bulan Ramadhan yang baru lalu mereka, dan juga Aksi Cepat Tanggap dan PDA Travel, melakukan promosi dan memasyarakatkan usaha membangun surau itu.
Puncak usaha mencari dana, mempromosikan, dan memasyarakatkan pembangunan surau itu sejauh ini terjadi petang Kamis-malam Jumat 25 Juni kemaren.
Semua kegiatan sejak bulan Ramadhan kemaren dilakukan melalui Zoom, termasuk yang tanggal 25 Juni itu. Banyak tokoh Minang yang hadir dan berbicara pada acara sore itu (sore di Sydney), termasuk dua mantan gubernur Sumatera Barat yang keduanya juga mantan Menteri, yaitu Letjen TNI Purn. Ir. Azwar Anas dan Dr. Gamawan Fauzi serta banyak tokoh Minang lainnya, baik di Ranah maupun Rantau.
UAS menjadi tamu VIP dan memberikan santapan pikiran khas UAS: bernas, lucu dan dengan bahasa yang lincah, indah dan enak didengar.
Bukan hanya itu, UAS memberikan sumbangan yang signifikan, seribu dollar Amerika. Kalau UAS mengibaratkan sumbangannya itu bagai bawaan seekor semut yang hanya mampu membawa sebutir gula, anggota masyarakat Minang dipersilahkan memaknai sendiri bawaan seperti apa yang cocok dibawa oleh orang-orang yang menurut istilah UAS bagaikan seekor gajah.
Bagi saya sendiri, UAS, BUAS, dan PUAS yang saya nikmati petang Kamis-malam Jumat yang baru lalu itu tak obahnya seperti kenikmatan masa kecil puluhan tahun silam dengan satu pisang di sebuah tangan dan kerupuk opak-opak di tangan yang satu lagi: kenikmatan yang sempurna dan murni. (***)
Melbourne, Jumat 26 Juni 2020
Prof. Ismet Fanany adalag Guru Besar Bahasa dan Budaya di Deakin University Melbourne Australia dan Pembina MDN-G (Minang Diaspora Network-Global)