Kendala utama yang menyebabkan belum optimalnya pengelolaan peternakan sapi Air Runding adalah keterbatasan lahan hijauan pakan ternak yang dimiliki/ dikuasai kembali oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
“Semakin luas lahan peternakan yang bisa dikuasai, akan beriringan dengan peningkatan kapasitas tampung (carrying capacity) sapi, sekaligus akan berbanding lurus dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor peternakan,” jelas M. Kamil seperti yang diterima media ini.
Menurutnya, persoalan pada peternakan sapi Air Runding tidak hanya sebatas persoalan tata kelola, namun mesti ditelaah secara komplek dan mendasar.
“Termasuk bagaimana sejarah keberadaan peternakan ini dengan berbagai dinamikanya sehingga tetap bisa bertahan,” ujar jebolan Fakultas Kesehatan Hewan Universitas Syiah Kuala Aceh itu.
Secara mendetail dijelaskan bahwa lahan UPTD Ternak Ruminansia merupakan bekas Stasiun Pembibitan Ternak milik Area Development Project (ADP) yang merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Jerman Barat pada tahun 1982 silam.
“Kerjasama ini berlangsung selama lima tahun dan berjalan sukses, sapi yang dimiliki saat itu lebih kurang sebanyak 500 ekor dengan areal seluas 2.000 Ha,” jelasnya.
Pada tahun 1988, setelah kerjasama berakhir, lahan tersebut diserahkan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pemprov Sumbar. Namun dengan keterbatasan SDM dan anggaran ketika itu, terjadi kemunduran yang menyebabkan seluruh sapi habis tak bersisa sehingga mengakibatkan lahan tidak lagi termanfaatkan.
“Kevakuman ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan menguasai lahan secara sepihak guna perkebunan sawit, ini dari tahun 2001,” ungkapnya.
Menyikapi hal ini, pada tahun 2006 lahirlah Keputusan Gubernur Sumatera Barat tentang Penetapan Peruntukan Tanah Eks. Area ADP dengan pembagian, masing-masing 500 Ha dikuasai oleh Pemprov Sumbar dan Pemkab Pasbar, sisanya 1.000 Ha untuk masyarakat.
Akan tetapi faktanya ketika itu seluruh lahan sudah dikuasai masyarakat.
“Kami menyadari terdapat potensi yang luar biasa besar pada peternakan sapi Air Runding ini, kenapa Jerman bisa sukses dengan memilih lokasi ini, tentu kajian mereka sudah lengkap dari seluruh aspek,” terangnya.
Untuk itu secara bertahap, Dinas Peternakan mulai melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada masyarakat sehingga saat ini Pemprov Sumbar telah menguasai kembali seluas 20 Ha lahan.
“Dari 500 Ha peruntukan, 480 Ha lagi masih dikuasai masyarakat dan telah dijadikan kebun sawit,” ujarnya.
Disinggung mengenai jumlah sapi, M. Kamil menuturkan anggaran pengadaan sapi sebanyak 400 ekor pada tahun 2015 tidak seiring dengan anggaran pengolahan Hijau Pakan Ternak (HPT) seluas 100 Ha yang merupakan daya tampung ideal.
“Ditambah adanya wabah penyakit jembrana bercampur penyakit parasit darah yang mengakibatkan banyaknya kematian sapi ketika itu, lebih kurang 197 ekor,” tuturnya.
Dikatakan bahwa jumlah ternak saat ini tercatat sebanyak 374 ekor, dengan jumlah ternak yang dijual sejak tahun 2016-2019 sebanyak 49 ekor dan semuanya masuk PAD Sumbar.
“Semenjak tahun 2016 hingga akhir bulan Mei 2020 total PAD yang dihasilkan mencapai Rp.333.100.000,-, termasuk hibah kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sebanyak 10 ekor,” ungkapnya.
Untuk itu M. Kamil menyampaikan harapannya, agar seluruh pemangku kepentingan dapat berdiskusi, bersinergi dan berkolaborasi untuk mengembalikan kejayaan masa lalu peternakan sapi Air Runding, khususnya terkait upaya mengembalikan penguasaan lahan 500 Ha untuk digarap secara penuh oleh UPTD Ternak Ruminansia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa Dinas Peternakan Sumbar melalui koordinasi dengan Kementerian Pertanian juga terus menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Negara Australia dan Spanyol, meski ketersediaan lahan tetap menjadi persoalan utama.
“Target kami lahan dikuasai kembali dan masyarakat setempat kita berdayakan secara proporsional, ayo optimalkan potensi besar ini,” pungkasnya. (HA)