Penulis: Eka Putra Wirman
(Rektor UIN Imam Bonjol Padang)
Sejak awal penetapan keputusan pelarangan sementara melaksanakan kegiatan di rumah ibadah untuk membatasi penyebaran virus korona, polarisasi telah terjadi di tengah masyarakat. Di satu sisi ada individu-individu yang atas dasar rasa dan nama kepatuhan kepada Tuhan menolak segala bentuk penghentian kegiatan di rumah ibadah. Individu-individu ini ada pada masing-masing agama. Di sisi lain, ada kelompok yang menyatakan dan bertindak sesuai protokol kesehatan. Di dalamnya ada pemerintah, MUI, wakil rakyat, aktifis, dan akademisi.
Belakangan, MUI Sumatera Barat berputar arah dari pendiriannya yang semula. Melalui surat nomor B.017/MUI-SB/V/2020 tanggal 12 Mei 2020 yang dialamatkan kepada Gubernur Sumatera Barat dan Bupati/Walikota selingkup Provinsi Sumatera Barat, MUI meminta pemerintah tertuju untuk memfasilitasi pelaksanaan kembali ibadah umat Islam di masjid. Membendung kerinduan terhadap syi’ar dalam waktu yang lama kini, oleh sebab-sebab tertentu, dianggap tak lagi relevan.
Ada dua dalil yang menjadi sandaran MUI dalam meminta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk memfasilitasi umat Islam kembali melaksanakan kegiatan keagamaan di masjid.
Dalil Pertama
Adalah kaedah yang disadur dari kitab Qawa’id Al-Ahkam yang disusun Al-‘Izz ibn Abd Al-Salam: “setiap tindakan atau keputusan hukum yang tidak menghasilkan tujuannya, maka ia batal dengan sendirinya.” Di sini MUI menjustifikasi PSBB sebagai keputusan yang gagal mecapai visinya. Dengan demikian, keputusan itu dengan sendirinya batal.
Justifikasi gagal atau tidaknya PSBB saat ini jelas sangat debatable. Perlu data komprehensif untuk menyimpulkan itu. Pemberlakuan ‘strategi perang’ tersebut masih dalam tahap proses dan rutin dievaluasi. Kita bisa memainkan logika sederhana, jika dengan menerapkan PSBB saja Sumatera Barat telah masuk dalam daftar 10 besar konfirmasi pasien positif nasional, bukankah akan lebih darurat jika kebijakan tersebut tidak diterapkan? Jika dengan menerapkan PSBB saja kurva kian hari masih menunjukkan penambahan angka yang relatif stabil, bagaimana mungkin dengan tidak menerapkannya kurva tersebut dapat melandai?
Di sini akan terlihat bahwa pelarangan berkumpul dalam kegiatan agama di masjid, secara ‘aqli (logika) dan waqi’i (realita), akan mendatangkan hasil. Secara ‘aqli, tidak ada satu alasan rasional yang mengatakan strategi itu gagal dan tidak ada hasil. Para pakar medis yang otoritatif di bidangnya sudah memastikan proses penyebaran adalah melalui droplet dari pembawa kepada penerima. Ini adalah waqi’. Maka semakin arus yang memungkinkan terjadinya proses tersebut ditekan, persebaran akan semakin berkurang. Tidak mungkin sebaliknya.
Anggapan bahwa pemerintah masih setengah hati atau gagal dalam menjalankan PSBB tidak dapat dijadikan alasan untuk melangkahi realitas ‘aqli dan waqi’i di atas. Menjadikan fakta masih adanya pasar yang beroperasi sebagai pintu untuk menjebol masjid menjadi tidak berterima dalam konsepsi logika. Hukum menjadi tidak lagi berlandaskan pengetahuan dan pemahaman, namun disetir oleh persepsi massa.
Sementara Allah swt menghendaki kita senantiasa berada dalam hidayahnya. “…tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat hidayah…” (Al-Maidah:105).
Kita terhindar oleh bahaya karena memperoleh hidayah pengetahuan dan pemahaman, meskipun orang lain berjalan ke arah yang salah. Benar terjadi kesalahan dan kecolongan saat terdapat pasar yang masih beroperasi, tapi tidak ada kaedah istinbath hukum yang membenarkan kesalahan tersebut sebagai batu loncatan untuk mengalihkan interpretasi dalil. Mengetahui dan memahami prilaku penyebaran virus adalah salah satu hidayah, maka tetaplah kita bersikap dalam domain yang digariskan oleh hidayah itu.
Sebagai lembaga otoritatif, MUI idealnya bersikap di atas pondasi pemahaman dan pengetahuan tersebut. Tidak boleh ada sikap yang berasal dari kekecewaan pada langkah pemerintah yang dianggap inkonsisten. Sebagaimana juga tidak lazim memunculkan argumen yang berasal dari dorongan umat. Dalam keawaman mereka terhadap kaedah-kaedah ilmu agama, umat dapat dengan mudah mengklaim para ulama di MUI menghambat mereka menuju Allah Sang Pencipta dan Penyembuh Penyakit. MUI, dengan ilmu dan pemahamannya, harus mengutamakan maqashid al-syari’ah yang dijadikan sandaran maklumat sebelumnnya dari pada suara-suara lantang tersebut.
Dalil Kedua
Adalah kaedah al-maslahah al-rajihah yang dikutip dari Zad Al-Ma’ad karya Ibn Al-Qayyim: “sesuatu yang diharamkan karena dzari’ah (menjadi wasilah kemudharatan), dibolehkan karena kemaslahatan yang kuat.”
MUI memposisikan kaedah ini secara tidak tepat dan argumen ini begitu lemah. Jika kita berbicara tentang al-maslahah al-rajihah, maka al-rajahah (pendapat otoritatif) dalam hal penyebaran virus korona adalah vonis yang di’fatwa’kan dokter. Mereka adalah ahlinya. Kita tidak bisa menetapkan suatu perkara sebagai al-maslahah al-rajihah dengan mengira-ngira dan tanpa dilandasi kaedah keilmuan relevan yang memadai.
Faktanya, jamak dokter dan tenaga kesehatan sepakat tentang cara mengatasi penyebaran virus korona. Menggunakan masker, menjalani physical distancing, cuci tangan, stay at home, dan sebagainya. Inilah al-rajahah itu, yang dihasilkan dari penelaahan saintifik yang terukur. Sikap MUI sebelumnya sudah sejalan dengan al-rajahah, sealur dengan dalil. Tapi sikap MUI yang terakhir bertentangan dengan kaedah al-rajahah itu sendiri.
Sikap MUI berpotensi menabrak kaedah fiqih al-dharar la yazalu bi al-dharar ‘suatu kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang lain’. Berkumpul dalam jumlah banyak telah memuat dharar (kemudharatan) yang tsabit (kokoh), baik secara ‘aqli (logika), waqi’i (realita), maupun itsbati (ketentuan) -sebelumnya, MUI dan pemerintah menjadi elemen penting itsbat tersebut. Pelarangan berkumpul dalam jumlah banyak juga telah memuat wiqayah (pemeliharaan) yang tsabit (kokoh). Maka membuat keputusan baru yang berbahaya untuk mengantisipasi potensi bahaya yang ditimbulkan oleh kebijakan lain adalah melanggar kaedah fiqih tersebut.
Akomodasi ala Pemprov Sumbar
Pada tanggal 13 Mei 2020, Menteri Agama mengeluarkan Surat Edaran terbaru tentang perpanjangan masa work from home hingga 29 Mei 2020. Regulasi yang lahir dari proses evaluasi situasi yang kontinyu ini sealur dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aneh jika MUI mengambil sikap berseberangan karena adanya kelemahan dari berbagai pihak dan dorongan individual umat. Saat pemerintah serius memberlakukan sanksi bagi mereka yang melanggar peraturan PSBB, tak selayaknya MUI mengeluarkan sikap yang dapat menegasikan jerih payah aparat. Saat situasi medan perang kian membuncah, tak selayaknya MUI melemahkan militansi berbagai elemen yang telah komit untuk berjuang.
“…Jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…”. MUI, Pemprov, dan Pemkab/Pemkot sebagai pemangku kebijakan semestinya menjadi pihak yang paling konsisten mengawal kebijakan tersebut. Respon Pemprov terhadap permintaan MUI melalui surat Gubernur nomor 360/117/Covid-19-SBR/V-2020 tanggal 13 Mei 2020 dapat dilihat sebagai upaya silat lidah. Permintaan MUI terkesan diakomodir namun dengan syarat-syarat yang secara faktual tidak mungkin dipenuhi saat ini.
“Alhukmu yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman”. Hukum itu ditetapkan karena ada ‘illah (konteks) yang melatarinya. ‘Illah (konteks) yang melatari penerapan PSBB adalah penyebaran virus korona yang kian masif di seluruh wilayah provinsi Sumbar. Peningkatan angka konfirmasi pasien positif bahkan mencapai angka puluhan setiap harinya. Bagaimana bisa hukum diubah dan dilonggarkan saat ‘illah masih ada dan bahkan kian mengganas. Celah yang dibuka Pemprov melalui surat tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai alat oleh pihak-pihak tertentu untuk bermain-main dengan PSBB. (***)