Penulis: Abrar
Menjalankan Ibadah dalam Islam harus didasarkan pada argumentasi teks suci al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah Saw yang tidak bisa diwakilkan pada rasionalitas nalar dan apalagi logika tanpa dasar.
Ali bin Abi Thalib ra. Pernah menyampaikan, “Andai agama dengan akal semata, tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap dibanding bagian atasnya, akan tetapi, sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam mengusap bagian atas kedua khuf beliau.”
Perkataan Ali itu menjelaskan tentang ketentuan membasuh sepatu sebagai ganti membasuh kaki bagi musafir dalam berwudu’. Sejatinya, menurut akal semata yang dibasuh adalah bagian telapaknya. Tetapi, karena agama punya rasionalitas dalil, maka yang dibasuh adalah punggung sepatu.
Demikian halnya dalam menentukan hukum ibadah lain secara umum. Sehingga, ulama ushul fikih membuat suatu kaedah “al ashlu fi al-ibadah al-Tauqif atau al-Ashlu fi al-ibdah al-Haram”- (dasar hukum beribadah itu adalah mengikut ketentuan Allah dan Rasul, atau pada dasarnya hukum beribadah itu adalah haram).
Kaedah ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengamalkan suatu perbuatan berbentuk ibadah di luar ketentuan al-Qur’an dan al-Sunnah. Begitu juga tidak boleh melakukan ijtihad (menemukan hukum) tanpa didasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Konsep ini dalam kajian ushul Fikih disebut dengan al-Istinbath.
Ketentuan Shalat Jumat adalah wajib dan kewajiban itu terdapat di dalam teks suci al-Qur’an dan juga Sunnah Rasulullah Saw. Agrumentasi itu sangat jelas dan tegas serta disepakati oleh ulama (ijma’ al-ulama) tanpa ada perbedaan dari mazhab manapun.
Al-Qur’an Surat al-Jum’ah (62 ) : 9 dengan lafaz perintah yang berarti wajib dan haram untuk ditinggalkan, demikian juga sunnah Rasul yang mengancam orang yang enggan dan menentang kewajiban shalat jum’at dengan ancaman yang keras bahkan sampai Nabi akan membakar rumahnya.
Mengamalkan perintah dan menghentikan larangan tentulah kewajiban mukmin mukallaf (cakap hukum). Tetapi di sisi lain perintah agama juga tidak terlepas dari kesanggupan seseorang untuk melakukannya.
Allah tidak membebani sesorang kecuali menurut kesanggupannya (La Yukallifullahu nafsan illa wus’aha. QS. al-Baqarah, 2 : 286).
Oleh sebab itu di dalam kajian ushul fikih kesanggupan menjadi salah satu syarat dalam mahkum fiih (objek hukum) itu sendiri. Allah dalam menetapkan hukum tidak pernah membebani umatnya bahkan justru memberikan kemudahan dengan kasih sayangNya. “Yuridu Allah Bikum al-Yusra wala Yuridu bikum al-‘Usra. Q.S. 2: 185).
Allah di satu sisi memberikan perintah yang tegas dan jelas kepada mukmin mukallaf dalam menjalankan perintahNya atau meninggalkan laranganNya dan sekaligus dalam waktu yang sama juga tidak memberikan kesulitan. (Ma Ja’ala Allah Alaikum fii al-Din min Haraj / Kami tidak menjadikan dalam Agama itu kesulitan untukmu, QS. al-Haj : 78).
Shalat Jum’at diperintahkan kepada setiap mukmin dengan tegas tetapi dalam waktu yang sama tidak wajib ditunaikan apabila terdapat kesulitan (al-Masyaqqah).
Al-Masyaqqah (kesulitan) yang dapat membawa kepada kerusakan pada jiwa adalah salah satu bentuk masyaqqah yang disepakati para ulama. Kesulitaan berimplikasi pada kemudahan dalam menjalankan hukum Allah, seperti penjelasan kaedah fikih Al-Masyaqqatu Tajlibu al-Taisir : Kesulitan itu memberi jalan kemudahan”
Ketetapan Allah tentang Hukum syara’ dalam kajian ushul al-Fiqh disebut ‘Azimah dan hukum Allah yang berbentuk keringanan disebut dengan Rukhshah. Kedua bentuk hukum ini adalah Hukum Allah.
Banyak contoh-contoh kewajiban hukum dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang ‘Azimah dan Rukhshah. Allah menjelaskan tentang kewajiban berwuduk untuk sempurna melaksanakan shalat, dalam waktu yang sama Allah juga memberikan keringanan dengan kewajiban bertayamum bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan yang tidak menemukan air.
Kewajiban berwudu menggunakan air adalah perintah Allah dan Kewajiban Bertayamum karena tidak mendapatkan Air, adalah sama-sama perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 6.
Begitu juga Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum-hukum sejak semula tentang Shalat dalam waktu yang ditentukan atau dalam jumlah rakaat yang jelas.
Shalat Zuhur dilakukan apabila tergelincir matahari, shalat Ashar apabila bayang-bayang sepanjang badan, Shalat Maghrib apabila datang syafa’ merah begitu juga shalat lainnya dengan waktu yang berbeda. Ketetapan ini dinamakan hukum Allah dalam bentuk “Azimah” (lihat QS Al-Nisa’ : 103, dan Hadis Riwayat Muslim).
Tetapi, dalam keadaan musafir boleh dilakukan pada waktu lain seperti shalat Zuhur dilakukan pada waktu Ashar atau sebaliknya, Isya pada waktu maghrib atau sebaliknya. Yang kedua ini disebut dengan hukum Allah dalam bentuk Rukhsah.
Begitu juga Puasa Ramadhan wajib dengan ketentuan Azimah tetapi bisa diganti di luar ramadhan atau tidak dilakukan sepanjang hidup jika ada uzur syar’i (dibolehkan hukum) yang disebut dengan hukum Rukhshah.
Wabah covid 19 telah dipastikan secara ilmu kesehatan berdampak pada sakit dan kematian yang belum ditemukan vaksin pemusnahnya. Kemungkinan besar (zhan) penyebaran virus ini sangat masif dan ditularkan dari orang ke orang tanpa diketahui.
Cara satu-satunya untuk meminimalisir penyebaran virus ini adalah dengan memutus mata rantai penyebarannya. Seperti menutup fasilitas umum semisal mall, terminal, bahkan tempat ibadah.
Pemerintah Indonesia telah meberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus menyebarnya wabah ini. Kebijakan pemerintah ini memperkuat argumentasi yang terdapat di dalam fatwa MUI yang melarang untuk melakukan shalat Jum’at bagi wilayah yang terdampak wabah Covid 19.
Mempertimbangkan situasi dan kondisi dengan tingkat penyebaran virus yang masif, maka menyulitkan bagi umat Islam untuk melakukan shalat di Masjid.
Kesulitan itu dilihat dari risiko yang akan diterima baik tertular virus atau menyebarkannya kepada orang lain.
Dalam kondisi ini Umat Islam dapat meninggalkan perintah Allah dalam bentuk Azimah tentang kewajiban melaksanakan shalat Jum’at dan menggantikannya dengan perintah Allah dalam bentuk Rukhsah; yaitu melakukan shalat Zuhur di rumah.
Kedua bentuk hukum itu adalah Hukum Allah bukan hukum yang dibuat oleh ulama dan apalagi Umara’ (pemerintah). Tugas ulama hanyalah menemukan hukum Allah yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa sedikit pun punya wewenang untuk membuatnya.
Oleh sebab itu umat Islam harus meyakini bahwa Fatwa Ulama adalah hasil Ijtihad (usaha maksimal) yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan itu adalah hukum syara’.
Ulama sebelum diberlakukannya PSBB ini telah memberikan alternatif hukum bagi umat Islam untuk melakukan shalat Jum’at. Mulai dari boleh melakukannya sampai pada keharamannya.
Saat fatwa itu diterbitkan kondisi penyebaran virus corona masih kecil dan tidak tersebar diseluruh propinsi. Tetapi hari ini penyebaran itu telah masif dan pemerintah telah menutup fasilitas umum untuk digunakan publik.
Umat Islam sejatinya memilih hukum rukhsah dengan shalat Zuhur di rumah dibanding hukum azimah untuk bertahan apalagi memaksakan shalat Jumat di masjid dalam rangka merealisasikan tujuan disyariatkannya kewajiban itu sendiri yaitu “Mewujudkan kemaslahatan”.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ushul al-Fiqhnya “Al-musytasyfa min ‘Ilmi al-Ushul” menjelaskan bahwa kemaslahatan itu adalah memelihara tujuan dari hukum syara’.
Salah satu tujuan dari hukum syara’ itu adalah memelihara jiwa dari kerusakannya baik dalam bentuk penyakit atau kematian. Penyakit dan kematian adalah bentuk kemudaratan dan kerusakan yang harus ditolak baik terhadap diri sendiri atau orang lain. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah Saw. “La Dharara wala Dhirara” tidak boleh membinasakan diri sendiri dan orang lain.
Melakukan sosial distance, Pembatasan Sosial Berskala Besar, Lockdown adalah bentuk upaya yang dilegitimasi oleh hukum Islam. Karena mewujudkan kemaslahatan syara’ adalah wajib dengan memelihara jiwa, pun sekaligus cara-cara yang dilakukan seperti memutus matarantai Covid-19 itu juga berlaku hukum yang sama, yaitu wajib seperti dijelaskan dalam kaedah fikih; amrun bi Syai’in, Amrun bi Wasailihi (perintah terhadap suatu perbuatan juga berarti perintah terhadap caranya).
Kondisi penyebaran Covid-19 menurut penulis dapat dikategorisasi kepada tiga. Pertama, keadaan normal, dimana sudah dipastikan tidak ada satu pun masyarakat yang terjangkit Covid-19 dengan memastikan melalui pemeriksaan satu persatu oleh tim kesehatan. Dalam kondisi ini umat Islam wajib menjalankan hukum asal shalat Jum’at.
Kedua, kondisi setengah normal, di mana masyarakat di wilayah tertentu tidak terdapat penyebaran Covid-19 tetapi berpotensi untuk penularannya seperti tidak ada sterilisasi di wilayah tersebut. Pelaksanaan dalam kondisi ini dapat dikategorikan makruh, dan lebih baik diganti dengan shalat Zuhur di rumah.
Ketiga, keadaan darurat, dimana penyebaran Covid-19 terjadi secara masif dalam satu wilayah dan menemukan kesulitan untuk penanggulangannya.
Bentuk ketiga ini dapat dikategorikan haram untuk melakukan shalat Jum’at di masjid, karena dapat dipastikan akan menyebarnya virus di antara para jama’ah.
Keharaman melakukan shalat Jum’at didasari oleh kepastian tertularnya Covid-19. Memelihara jiwa dari kerusakan adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi seperti terdapat dalam QS. al-Baqarah, 2: 95; “Wala Tulqu bi Aidikum ila al-Tahlukah (Janganlah kamu mencelakakan dirimu ke dalam kebinasaan).
Meskipun dalam penyelenggarakan shalat Jum’at terdapat banyak kebaikan, namun menolak Covid-19 dan memutus mata rantai penyebarannya lebih diperintahkan dibanding memperoleh kebaikan itu. Sejalan dengan penjelasan kaedah fikih : Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding meraih kemaslahaan”
Menghentikan sementara shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zuhur pahalanya sama. Rasulullah menjelaskan bahwa; “seorang yang jatuh sakit atau dalam perjalanan tetap ditulis pahala kebaikannya seperti kebiasaanya waktu sehat dan menetap” (lihat HR. al-Bukhari).
Di antara masyaqqah (kesukaran) yang dibolehkan dalam hukum Islam untuk tidak menjalankan hukum Azimah adalah; sakit, safar (dalam perjalanan) dan khauf (kekhawatiran/ketakutan).
Kekhawatiran seseorang jatuh sakit atau mati dalam keadaan lapar membolehkannya untuk memakan yang diharamkan oleh Allah swt. Seperti Babi. Memakan babi adalah hukum yang sejak semula haram ditetapkan Allah seperti halnya wajib shalat Jum’at, tetapi dalam kondisi darurat hukum memakan babi itu boleh karena menjalankan hukum Allah dalam bentuk Ruskhsan (lihat QS. Al-Baqarah ayat 173).
Bahkan al-Syathibi mewajibkan memakan babi itu dalam keadaan seseorang mengetahui bahwa kondisinya tidak bisa betahan hidup tanpa memakannya.
Demikan halnya jika diketahui dengan melaksanakan ibadah jum’at berjamaah menyebabkan tertular dan tersebarnya Covid 19, maka hakumnya adalah “haram” secara syara’.
Demikian Agama Islam sangat lentur tidak kaku, mudah tidak sulit, dan luwes tidak sempit, karena hukum itu akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi. (Taghayyuru al-Ahkam bi Tagharruyil Azman wa al-Amkan).
Apabila dalam keadaan normal hukum itu sangat ketat tetapi jika dalam kondisi sulit hukum itu akan menjadi longgar (iza Dhaqa al-Amaru Ittasa’a wa iza ittasa’a Daaqa), Sebab hukum itu ada kalau ada faktor yang membuat hukum itu ada dan sebaliknya, hukum itu tidak akan ada bila tidak ada faktor tersebut. (alhukmu yaduru ma’a al-‘illah wujudan wa’adaman”. Wallahu A’lam bi al-Shawab. (*)
Penulis adalah Dosen Politik Hukum Islam Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang dan Ketua Umum Yayayan Thawalib Padang Panjang.