Penulis: Letkol Laut (KH) Gentio Harsono
Hujan deras yang terjadi pada Selasa sore, 31 Desember 2019 hingga Rabu pagi, 1 Januari 2020 yang mengguyur wilayah Jabodetabek menyebabkan banjir yang tak disangka-sangka. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, sampai dengan pada Rabu, 1 Januari 2020, terdapat 19 RW yang terendam banjir dan tersebar di beberapa kelurahan. Sementara itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merelease jumlah korban jiwa akibat banjir sampai dengan 05 Januari 2020 bertambah menjadi 60 orang, bahkan dua orang masih dinyatakan hilang.
Bahkan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memperingatkan bahwa cuaca ekstrem belum selesai. Analisis BMKG terhadap kondisi dinamika atmosfer menunjukkan masih adanya potensi hujan lebat di wilayah Indonesia untuk sepekan ke depan. BMKG pun tetap mengimbau agar warga waspada terhadap dampak yang timbul akibat hujan lebat ini.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan selama Desember hingga Februari sebenarnya sudah mafhum, karena wilayah Indonesia berada di lintasan Monsoon Asia. Secara periodik Desember hingga Februari adalah musim dimana umumnya sebagian besar wilayah Indonesia adalah musim penghujan, dan Juni hingga Agustus adalah musim kemarau. Selain monsoon, karena Indonesia berada diantara dua samudera (Hindia dan Pasifik), maka sifat-sifat cuaca dikedua samudera tersebut juga menyumbang pengaruh karakteristik pola cuaca di Indonesia, yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudera Hindia dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari Samudera Pasifik.
Selain itu, terdapat fenomena atmosferik yang dikenal dengan Madden Julian Oscillation (MJO). Meskipun analisis kondisi atmosfir oleh BMKG pada dasaharian pertama menunjukkan status IOD adalah negatif (suhu permukaan laut di timur laut Samudera Hindia lebih dingin dari normal yang mengurangi jumlah pembentukan awan di selatan wilayah Indonesia) dan ENSO berada pada even normal, namun pada kenyataannya curah hujan di Jakarta berdasarkan pantauan BMKG pada tanggal 31 Desember 2019 berada lebih dari 150 mm per hari.
Mengutip apa yang disampaikan BMKG (Kompas.com,3 Januari 2020), bahwa curah hujan ini merupakan tertinggi selama lebih dari 150 tahun (1866-2015) sehingga dikatakan sebagai kondisi ekstrim. Bahkan curah hujan di Halim Perdana Kusuma tercatat 377 mm/hari pada hari yang sama. Disebutkan bahwa catatan data selama 43 tahun terakhir, curah hujan harian tertinggi tahunan wilayah Jabodetabek menunjukkan adanya tren kenaikan intensitas 10-20 mm per 10 tahunan. Ini artinya ada peningkatan sebesar 2-3 persen, jika dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu. Hujan besar yang dulunya jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini. Inilah bukti bahwa perubahan iklim telah berimbas pada terjadinya cuaca ekstrim di Jabodetabek.
Gejala-gejala alam ekstrem ikutannya dalam skala yang lebih luas pun muncul, jika di Indonesia terjadi cuaca ekstrim yang mengakibatkan banjir, maka di daratan benua Australia kita lihat bersama terjadi kebakaran skala besar karena kekeringan yang mengakibatkan bencana badai api (bushfires) yang menyebabkan kebakaran hutan di daratan Australia menjadi lebih luas. Badai api tersebut tumbuh akibat kobaran api membuat cuaca panas dan naik ke udara, selanjutnya membentuk pusaran angin dan menghisap api yang sedang membara. Akibat badai ini juga membentuk awan yang disebut pyro-cumulonimbus setinggi 16 kilometer di pantai timur Ausrtalia, Queensland. Awan tersebut lantas membuat kondisi cuaca di sebuah lokasi berubah drastis dan sulit diperkirakan. Bahkan, dari awan tersebut bisa muncul kilat (dry lightning) meski tidak terjadi hujan.
Teori Konservasi Energi dan Kedaulatan Alam
Teori Kekekalan Energi atau sering disebut Konservasi Energi, menyatakan bahwa jumlah total energi dalam suatu sistem terisolasi (baca: bumi dan atmosfer di atasnya) adalah kekal sepanjang masa. Dalam suatu sistem terisolasi seperti halnya di sistem atmosfir bumi, energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah dari satu sifat ke sifat lainnya, karenanya jumlah energi akan selalu tetap (konservasi).
Jika dikaitkan fenomena yang terjadi di atmosfer, terjadi berbagai perubahan bentuk energi dapat terjadi seperti energi laten yang terbentuk akibat perubahan fase air menjadi uap atau es, energi kinetik seperti angin, siklon, pergerakan awan dan uap air, sedangkan energi potensial seperti air yang jatuh sebagai hujan dan lain sebagainya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, proses interaksi lautan-atmosfer akhir-akhir ini menjadi terganggu akibat meningkatnya suplai bahang (kalor) di atmosfer dari sisa energi hasil pembakaran fosil seperti halnya minyak dan batu bara yang dibuang ke atmosfer. Contoh kecil saja, pernahkan kita berpikir sepeda motor yang setiap hari kita kendarai, semua bahan bakar terpakai untuk menghasilkan tenaga motor?, kemana sisa panas hasil pembakaran bahan bakarnya. Bagiaman dengan turbin pembangkit listrik menggunakan batu bara? minyak bumi? atau nuklir sekalipun?, tentu saja mudah jawabannya, ke atmosfir. Inilah yang menyebabkan meningkatnya suplai bahang ini memberikan surplus energi pada sistem atmosfer di bumi.
Jika semula sumber energi utama atmosfer adalah radiasi matahari, sekarang ada peranan baru yang kekuatannya semakin besar, yaitu energi dari sisa pembakaran fosil. Proses ini diyakini sebagai triggerterhadap ketidakstabilan pola temporal iklim dan cuaca. Sisa energi dari hasil pembakaran fosil yang terbuang ke atmosfer juga akan membentuk gas-gas rumah kaca, menyerap energi matahari dan menyimpannya di atmosfer. Energi panas yang tersimpan pada gas-gas di atmosfer ini akan menambah panasnya atmosfer bumi.
Meskipun laut mempunyai kemampuan dalam menyerap energi melalui proses fotosintesis pada tumbuhan pada lapisan atasnya, namun laut juga mempunyai kemampuan yang terbatas bila energi berlebih ini terus meningkat. Proses ini pun diperparah dengan ketidakmampuan buffer dalam menyerap surplus energi ini seperti berkurangnya luasan vegetasi akibat alih fungsi hutan yang selama ini berfungsi penyerap karbon (panas) serta rusaknya ekosistem laut akibat ekspansi budi daya manusia.
Sesuai dengan teori konservasi, energi yang berlebih di atmosfer tersebut akan berubah bentuk menjadi energi lainnya. Salah satu bentuk energi yang mungkin terjadi adalah perubahan energi panas yang terkandung di atmosfir menjadi energi kinetik yang berbuntut pada perubahan pola cuaca seperti hujan ekstrim, angin kencang yang menimbulkan puting beliung dalam skala lokal serta akibat meningkatnya energi yang beredar di atmosfer, memungkinkan terjadinya siklon tropis dengan energi yang lebih besar dari kondisi normalnya baik intensitas maupun frekuensinya. Dalam hukum kekekalan energi hal ini merupakan konsekuensi logis, agar jumlah total energi di atmosfer adalah tetap sehingga tetap konservasi.
Kuatnya penyerapan uap air dan awan pada lokasi terjadi hujan ekstrim, tentu saja berakibat pada pengurangan drastis jumlah awan dan uap air pada daerah yang jauh (remote area) dengan berkurangnya curah hujan sehingga mengalami kekeringan.
Hujan ekstrim dan kemarau ekstrim adalah kedaulatan alam, hitung-hitungan Sang Pengatur Jagat Raya yang pasti. Jika disatu sisi terjadi hujan ekstrim, maka sebaliknya di tempat lain pastilah terjadi kemarau ekstrim juga. Tergantung pada manusia yang menghuni jagat ini bagaimana memperlakukan bumi sebagimana manusia mengasihi sesamanya. Mari peduli alam sekitar kita, jika kita ingin bumi berbalas baik pada kita. (***)