Kondisi Wamena Jumat, 4 Oktober 2019
Laporan Syofiardi Bachyul Jb dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua.
Kondisi di Wamena semakin normal, terutama di tengah kota. Saya bersama Anyong (Islami Adibsubrata), wartawan Jubi di Wamena, berangkat ke Masjid Nurul Hidayah di Jalan Safri Darwin untuk salat Jumat.
Saya mengira khatib akan memberikan kutbah tentang isu kerusuhan sepuluh hari lalu. Ternyata tidak. Materi kutbah bersifat umum yang tidak menyinggung isu politik. Saya sangat nyaman mendengarnya.
Saya membayangkan, mungkin di beberapa masjid di luar Papua khatibnya sedang mengangkat isu kerusuhan Wamena. Bisa saja dengan nada membakar emosi jamaah dengan informasi yang ia serap dari pihak ketiga, media pers dan media sosial. Saya berdoa, mudah-mudahan ceramah seperti itu tidak ada.
Ya, pemuka agama mesti menjadi penenang umat ketika terjadi kerusuhan, bukan membakar emosi untuk menambah konflik. Saatnya di negeri yang heterogen ceramah agama mengedepankan sisi kemanusiaan dan hidup bersama.
Bagi kami yang berpofesi sebagai jurnalis dengan kerja sehari-hari mencari fakta, saya mengakui tidak mudah menyimpulkan suatu peristiwa. Terlebih konflik seperti Wamena.
Sejauh ini saya telah mewawancarai atau sekadar mengajaknya mengobrol sejumlah orang dari berbagai latar, termasuk saksi mata. Saya belum berani menyimpulkan apa penyebab kerusuhan tersebut.
Jadi betapa naifnya jika orang-orang yang tidak pernah menggali informasi langsung ke Wamena berani menyimpulkan apa yang terjadi. Terlebih merespon peristiwa ini dengan isu etnis dan agama. Bukan, sejauh yang saya ketahui ini tidak terkait dengan kedua itu.
Jadi, jika Anda bertanya apa penyebabnya, sabarlah menunggu. Mari kita berdoa agar para korban meninggal mendapatkan sorga-Nya dan korban luka-luka segera sembuh. Kemudian masyarakat di Wamena kembali menjalani hari-hari damai seperti biasanya. Hari-hari damai yang telah mereka hirup bertahun-tahun. Bukan kita yang jauh nun di sana.
Masjid Nurul Hidayah yang berlantai dua dengan di sampingnya Taman Pendidikan Al-Quran hanya 350 meter dari Bandara Wamena.
Di seberang masjid mata saya tertumbuk kepada tulisan di angkot putih A2 yang parkir. Pada bagian atas belakang ada tulisan bahasa Minang “Capek Pulang Yo Da” (Cepat pulang ya, Uda) dan di kanan “Gali-Gali Sanang” (Geli-geli senang). Saya ingin bercakap dengan sopirnya, tapi tidak kelihatan.
Di depan masjid terdapat Jalan Safri Darwin. Dari depan masjid kita bisa melihat gerbang Markas Polres Jayawijaya yang hanya berjarak 50 meter.
Jalan Safri Darwin ini menarik perhatian saya karena ada seorang pria 70-an tahun dari Engrekang, Sulawesi Selatan yang sudah lama menetap di Wamena menyebutkan Safri Darwin adalah orang Padang.
“Safri Darwin itu masih muda meninggal, baru tamat Akpol langsung ditugaskan di sini sebagai kapolsek dan meninggal waktu kerusuhan Wamena tahun 1977, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Wamena dan namanya dijadikan nama jalan,” kata pria tersebut.
Panjang Jalan Safri Darwin 580 meter, dari Jalan Pramuka di Polres hingga ke Jalan Patimura.
Setelah jumatan saya dan Anyong makan ke rumah makan padang yang kecil, di dalamnya terlihat menikmati makan siang empat orang asli papua dan empat orang perantau sepertinya dari Sulawesi. Selama kami makan, pengunjung datang, baik orang papua asli maupun perantau.
Rumah makan tersebut dan deretan rumah lain di jalan kecil tersebuttampak tidak terkena kerusuhan.
Usai makan saya bertemu Pak Sudirman, ketua umum Ikatan Keluarga Minang (IKM) Kabupaten Jayawijaya. Beliau memperkenalkan istrinya orang Makassar.
Pak Sudirman berasal dari Pesisir Selatan. Pada 1983, ia merantau ke Wamena mengikuti kakak laki-lakinya yang berjualan di Wamena. Setelah beberapa tahun berjualan, ia kemudian diterima sebagai staf di Kodim Jayawijaya hingga pensiun.
“Dulu saya yang mengurus administrasi prajurit di sini, ada yang saya layani sejak ia masuk jadi tentara hingga pensiun,” katanya.
Saya menanyakan tentang Safri Darwin kepada Pak Sudirman.
“Ia orang Bukittinggi, mungkin waktu itu umurnya baru 20-an ketika ke sini, baru tamat Akpol ditugaskan ke sini sebagai kapolsek, bukan Wamena tapi polsek di distrik pegunungan, ia baru bertugas sekitar setahun ketika ada kontak senjata dan meninggal,” ujarnya.
Pak Sudirman menceritakan, ia yang membersihkan dan menyemen kuburuan Safri Darwin ketika melihat tak terawat di TMP.
Saya merekam pesan Pak Sudirman kepada para perantau Minang di Wamena yang sudah mengungsi. Ia juga menyebutkan pengungsi Minang tidak ada lagi di Wamena.
“Barusan sudah berangkat 24 orang ke Jayapura dengan Hercules, itu yang terakhir,” ujarnya.
Pak Sudirman yakin tidak akan ada lagi kerusuhan di Wamena karena sudah ada pertemuan dengan tokoh-tokoh di Wamena untuk menjaga kedamaian.
Di Wamena ada istilah “Labewa” (Lahir dan Besar di Wamena). Anak-anak Pak Sudirman termasuk Labewa. Di antaranya dua pria menjadi prajurit TNI. Wamena adalah kampung halamannya Labewa.
Pamit dari rumah Pak Sudirman saya bertemu dengan Dominikus Sorabut, orang asli Papua di Wamena. Pak Dominikus bukan orang sembarangan, karena ia adalah ketua Dewan Adat Wilayah Lapago (Pegunungan Tengah Papua).
Lapago adalah wilayah adat masyarakat Papua yang mencakup beberapa kabupaten di Pegunungan Tengah Provinsi Papua, termasuk Kabupaten Jayawijaya.
“Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Sumatra Barat dan orang-orang Padang di sini, sungguh ini peristiwa yang di luar kendali kita,” katanya sebelum saya duduk di depannya.
Pak Dominikus menceritakan banyak hal terkait peristiwa 23 September 2019 itu. Ia juga menceritakan menyelematkan orang padang dan orang dari daerah lain dari amukan massa dan membawa mereka ke gereja.
Ia menyambut permintaan saya untuk merekam permohonan maaf dan jaminan keamanan para perantau di Wamena.
Permisi dari Pak Dominikus saya dibawa Anyong dengan sepeda motor berkeliling bagian kota memotret dan memvideokan bangunan-bangunan yang terbakar dan suasana Wamena.
Kota Wamena terlihat semakin ramai. Sore membawa angin dingin yang menusuk tulang. Seperti pagi yang cepat datang di Wamena, malam pun tiba sekitar setengah enam.
Semoga Wamena segera normal kembali. (***)
BACA JUGA : Perjalanan Jurnalis Asal Sumbar Melihat Kondisi Wamena 3 Oktober 2019